My Feature News Again
Mengintip Sisi Lain Saku Tukang Parkir
“Siapa yang tak kenal dengan ciri khasnya yang
berseragam orange, berkalungkan peluit, serta mondar-mandir di area
parkir? Penghasilan mereka yang jutaan, masuk ke saku siapa sebenarnya?”
Dari pagi hingga malam hari, lelaki
bermata sipit, bersepatu hitam, bertopi dan terlihat cukup rapi serta biasa
disapa Suryo ini, bisa mendapatkan uang Rp. 50 ribu hingga Rp. 200 ribu per
harinya. Jika dirata-rata, dalam sehari ia mendapatkan uang Rp. 100 ribu, maka
sebulan total Rp. 3 juta penghasilannya.
Dengan jam kerja lebih dari enam jam per harinya, yakni dimulai dari
pukul 06.00 – 08.00 dan 16.00 – 22.00 untuk hari Senin hingga Jum’at, ia bisa
mengantongi uang lebih dari Rp. 50 ribu. Bahkan untuk akhir pekan dengan jam
kerja yang justru extra yaitu dari pukul 06.00 – 23.00, kisaran Rp. 100
ribu pun bisa ia kantongi. Namun, uang yang telah masuk ke saku Suryo itu
ternyata perlu diestafetkan lagi ke saku lain yaitu saku pemilik atas nama
lahan parkir.
Ternyata ia punya saku lain untuk mengantongi uang jutaan yang bisa ia
dapatkan selama lebih dari enam jam per harinya. Bahkan akhir pekannya pun ia
relakan bekerja, demi mengantongi saku-sakunya yang lebih dari satu itu.
Sepulang kerja, ia harus menyetor hasil jerih payahnya dengan persentase
50 : 50 sesuai dengan sistem bagi hasil yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak, yakni Suryo dan kakak iparnya yang kebetulan menjadi pemilik atas nama
lahan parkirnya. Itu artinya, jika Suryo mendapatkan uang Rp. 50 ribu dalam
sehari, maka senilai Rp. 25 ribu harus ia relakan untuk kakak iparnya selaku
yang berhak dan legal sesuai atas nama yang tercantum. Tapi, beruntungnya Suryo
bebas dari pajak, kakak iparnya bertanggung jawab penuh akan pajak tersebut.
Akan lain lagi bagi tukang parkir yang lainnya, sebagian besar dari mereka
harus setor setiap harinya sesuai dengan target yang telah disepakati bersama
pemilik atas nama.
“Bahkan udah targetan tiap hari, harus bayar pajak juga ya ada. Jadi,
masing-masing tergantung sama pemilik atas nama.” Ungkap Suryo
Lelaki paruh baya yang tinggal di Jl. Makam Arsantaka depan SMP N 3
Purbalingga ini telah beralih profesi dari seorang buruh pabrik kayu di Jetis
menjadi tukang parkir. Masa pancaroba profesinya ini, nampaknya menjadikan dia
jauh lebih kuat melawan sang mentari dengan balutan seragamnya yang orange
dan menyilaukan itu.
Lebih dari lima tukang parkir disediakan untuk mengatur area parkir di
luar lingkar alun-alun kota Perwira ini. Suryo adalah salah satu dari mereka,
warga Purbalingga yang lahir di Wangon 34 tahun silam. Teriknya mentari tak
membuatnya jera dengan profesinya itu, meskipun ia merasa tak mudah menjalankan
job desknya sebagai tukang parkir. Tapi, berkat dukungan dari
istrinya yang kini ikut menemaninya sepanjang jam kerja, rasa tak mudah itu pun
kian mengikis.
Bapak muda yang belum dikaruniai anak ini, menjadikan jantungnya kota Perwira ini menjadi
jantung penghasilannya. Bahkan, istrinya yang sepanjang hari menemaninya, tak
sungkan ikut membuka lapak penghasilan sembari turut serta mendukung profesi
sang suami. Duduk dibawah pohon yang turut melingkari alun-alun, ia memangku
loyang plastik berukuran sedang dan didalamnya terjejer dengan rapi deretan
rokok yang siap dijual olehnya. Loyang plastik itu tak hanya satu, disebelahnya
berjejer dan bahkan diacak sedemikian rupa minuman botol dan gelas untuk
dijajakkan pula. Nampaknya peluang penghasilan yang menjanjikan pun muncul di
alun-alun ini bagi istri Suryo.
*Penghasilan
Tak Memandang Profesi
“Jaman sekarang kok malu, yah gak dapet duit.” Ucap Suryo.
Dengan latar belakang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan
Kesekretariatan tentu membuatnya tak mudah apalagi legowo menerima
profesinya sebagai seorang tukang parkir. Bukan berarti tak beralasan jika
pendidikan tak pernah menjanjikan penghasilan, namun penghasilan pun tak pernah
memandang profesi. Dengan modal nekat dan berani, Suryo bersedia berpenghasilan
dengan profesinya meskipun sebagai tukang parkir.
Ada kalanya Suryo harus menjalin kerja sama dengan para pedagang yang
kebanyakan masih berjualan di area parkir, meskipun tak bisa dipungkiri jika
sebagian dari yang parkir merupakan konsumen dari para penjual tersebut.
“Kadang yaa diomong sana-sini, lha wong mau beli sebentar kok disuruh
bayar parkir.” Jelas Suryo menirukan keluhan pedagang ataupun pembelinya.
Omongan bahkan cibiran dari orang-orang disekitar tak membuat garang
Suryo, meski ada sedikit low mental. Namun, ia terus survive dan
seiring berjalannya waktu, kondisi tesebut menjadi kondisi yang bersahabat
dengannya. Ia dituntut harus pandai beradaptasi dan juga harus memiliki mental
yang kuat.
Bahkan seorang tukang parkir pun sudah sewajarnya untuk bersikap ramah.
Hal ini dikarenakan tugasnya, disamping bertanggung jawab terhadap kendaraan
yang diparkirkan, ia pun bekerja melayani masyarakat. Adapun ketika Suryo hanya
mendapatkan uang 300 rupiah untuk sekali parkir motor, ia akan tetap
menerimanya tanpa meminta tambahan uang. Padahal sekali tarif parkir untuk
motor adalah 500 rupiah. “Yaa terima aja.” Tandas Suryo.
No comments: