My Feature News Again

Saturday, May 03, 2014


 Mengintip Sisi Lain Saku Tukang Parkir 

 
“Siapa yang tak kenal dengan ciri khasnya yang berseragam orange, berkalungkan peluit, serta mondar-mandir di area parkir? Penghasilan mereka yang jutaan, masuk ke saku siapa sebenarnya?”

 Dari pagi hingga malam hari, lelaki bermata sipit, bersepatu hitam, bertopi dan terlihat cukup rapi serta biasa disapa Suryo ini, bisa mendapatkan uang Rp. 50 ribu hingga Rp. 200 ribu per harinya. Jika dirata-rata, dalam sehari ia mendapatkan uang Rp. 100 ribu, maka sebulan total Rp. 3 juta penghasilannya.

Dengan jam kerja lebih dari enam jam per harinya, yakni dimulai dari pukul 06.00 – 08.00 dan 16.00 – 22.00 untuk hari Senin hingga Jum’at, ia bisa mengantongi uang lebih dari Rp. 50 ribu. Bahkan untuk akhir pekan dengan jam kerja yang justru extra yaitu dari pukul 06.00 – 23.00, kisaran Rp. 100 ribu pun bisa ia kantongi. Namun, uang yang telah masuk ke saku Suryo itu ternyata perlu diestafetkan lagi ke saku lain yaitu saku pemilik atas nama lahan parkir.

Ternyata ia punya saku lain untuk mengantongi uang jutaan yang bisa ia dapatkan selama lebih dari enam jam per harinya. Bahkan akhir pekannya pun ia relakan bekerja, demi mengantongi saku-sakunya yang lebih dari satu itu.


Sepulang kerja, ia harus menyetor hasil jerih payahnya dengan persentase 50 : 50 sesuai dengan sistem bagi hasil yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, yakni Suryo dan kakak iparnya yang kebetulan menjadi pemilik atas nama lahan parkirnya. Itu artinya, jika Suryo mendapatkan uang Rp. 50 ribu dalam sehari, maka senilai Rp. 25 ribu harus ia relakan untuk kakak iparnya selaku yang berhak dan legal sesuai atas nama yang tercantum. Tapi, beruntungnya Suryo bebas dari pajak, kakak iparnya bertanggung jawab penuh akan pajak tersebut. Akan lain lagi bagi tukang parkir yang lainnya, sebagian besar dari mereka harus setor setiap harinya sesuai dengan target yang telah disepakati bersama pemilik atas nama.

“Bahkan udah targetan tiap hari, harus bayar pajak juga ya ada. Jadi, masing-masing tergantung sama pemilik atas nama.” Ungkap Suryo

Lelaki paruh baya yang tinggal di Jl. Makam Arsantaka depan SMP N 3 Purbalingga ini telah beralih profesi dari seorang buruh pabrik kayu di Jetis menjadi tukang parkir. Masa pancaroba profesinya ini, nampaknya menjadikan dia jauh lebih kuat melawan sang mentari dengan balutan seragamnya yang orange dan menyilaukan itu.

Lebih dari lima tukang parkir disediakan untuk mengatur area parkir di luar lingkar alun-alun kota Perwira ini. Suryo adalah salah satu dari mereka, warga Purbalingga yang lahir di Wangon 34 tahun silam. Teriknya mentari tak membuatnya jera dengan profesinya itu, meskipun ia merasa tak mudah menjalankan job desknya sebagai tukang parkir. Tapi, berkat dukungan dari istrinya yang kini ikut menemaninya sepanjang jam kerja, rasa tak mudah itu pun kian mengikis.

Bapak muda yang belum dikaruniai anak ini,  menjadikan jantungnya kota Perwira ini menjadi jantung penghasilannya. Bahkan, istrinya yang sepanjang hari menemaninya, tak sungkan ikut membuka lapak penghasilan sembari turut serta mendukung profesi sang suami. Duduk dibawah pohon yang turut melingkari alun-alun, ia memangku loyang plastik berukuran sedang dan didalamnya terjejer dengan rapi deretan rokok yang siap dijual olehnya. Loyang plastik itu tak hanya satu, disebelahnya berjejer dan bahkan diacak sedemikian rupa minuman botol dan gelas untuk dijajakkan pula. Nampaknya peluang penghasilan yang menjanjikan pun muncul di alun-alun ini bagi istri Suryo.

*Penghasilan Tak Memandang Profesi

“Jaman sekarang kok malu, yah gak dapet duit.” Ucap Suryo.

Dengan latar belakang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan Kesekretariatan tentu membuatnya tak mudah apalagi legowo menerima profesinya sebagai seorang tukang parkir. Bukan berarti tak beralasan jika pendidikan tak pernah menjanjikan penghasilan, namun penghasilan pun tak pernah memandang profesi. Dengan modal nekat dan berani, Suryo bersedia berpenghasilan dengan profesinya meskipun sebagai tukang parkir.

Ada kalanya Suryo harus menjalin kerja sama dengan para pedagang yang kebanyakan masih berjualan di area parkir, meskipun tak bisa dipungkiri jika sebagian dari yang parkir merupakan konsumen dari para penjual tersebut.

“Kadang yaa diomong sana-sini, lha wong mau beli sebentar kok disuruh bayar parkir.” Jelas Suryo menirukan keluhan pedagang ataupun pembelinya.

Omongan bahkan cibiran dari orang-orang disekitar tak membuat garang Suryo, meski ada sedikit low mental. Namun, ia terus survive dan seiring berjalannya waktu, kondisi tesebut menjadi kondisi yang bersahabat dengannya. Ia dituntut harus pandai beradaptasi dan juga harus memiliki mental yang kuat.

Bahkan seorang tukang parkir pun sudah sewajarnya untuk bersikap ramah. Hal ini dikarenakan tugasnya, disamping bertanggung jawab terhadap kendaraan yang diparkirkan, ia pun bekerja melayani masyarakat. Adapun ketika Suryo hanya mendapatkan uang 300 rupiah untuk sekali parkir motor, ia akan tetap menerimanya tanpa meminta tambahan uang. Padahal sekali tarif parkir untuk motor adalah 500 rupiah. “Yaa terima aja.” Tandas Suryo.



No comments:

Powered by Blogger.