Nomor Satu di Hidupku, Yaa Mamahku!
Tiba-tiba saja iklan di televisi itu serasa
menggodaku, terlebih tentang cokelat dan keripik singkong kesukaanku itu. Nyam-
nyam, Yummy. Enak. Tanpa sadar aku mengubah mode on dari good
mood menjadi bad mood. Teringat kegiatan study tour besok. Rupanya
aku masih dalam kategori ABG labil. Mungkin.
“Mah, cemilan buat dibawa study tour
besok apa aja?”
“Udah besar gitu, apa-apa mamah, beli sendiri
aja lah.”
“Yaah mamah, mau cemilan pokoknya. Gak mau
beli sendiri.” Aku cemberut.
Masih dengan perasaan dongkol karena belum
disediakan cemilan, aku masuk ke kamar. Wajahku cemberut memalingkan wajah
melewati mamahku yang sedang duduk di atas karpet, di ruang tengah. Sebelumnya
kami sedang asyik menonton televisi, namun pertanyaanku itu rupanya
meninggalkan mamahku dalam wajah yang cukup gelisah karena ulahku.
Empat belas tahun umurku, dan duduk di kelas 9
membuatku wajib mengikuti study tour. Kali ini tujuannya ke Jakarta.
Monas dan Kebun Raya Bogor adalah destinasi khususnya. Sejujurnya aku tak
begitu tertarik dengan acara tersebut. Sifatku yang cenderung lebih suka diam
di kelas membuatku tak memiliki banyak teman dekat yang cukup asyik. Ditambah
lagi dengan keadaan ekonomi keluarga yang tak berlimpah, mengharuskan aku untuk
bisa memilih teman yang cocok denganku. Hampir seluruh temanku, orang tuanya
adalah polisi. Memang, tak disangka meskipun aku selalu berusaha. Aku masuk
dalam kelas pilihan, dimana seluruh siswa memiliki prestasi yang rata-rata
sama, tapi lebih unggul dari sebagian besar siswa-siswi yang ada. Biasanya
disebut kelas unggulan di daerahku.
***
“Lil,berangkat ke Jakartanya kapan?” Begitu Bu
Lik menyebutku, Lil. Alila namaku.
“Besok sore Bu Lik. Kayaknya jam lima-an dari
rumah. Kenapa Bu Lik?”
“Nih, ada jajan. Bisa buat ngemil di bus,
hehe.” Bu Lik tersenyum ke arahku. Memandang wajahku. Wajahnya terlihat nyaman.
Ketulusan memang tak bisa disembunyikan.
“Bu Lik, kenapa repot-repot begini. Aduh jadi
gak enak begini.” Aku tersipu malu sambil menerima cemilan itu.
Aku hanya punya seorang Bu Lik di desaku ini.
Dia satu-satunya adik perempuan dari Ibuku. Orangnya selalu ramah, hatinya
mudah sekali tersentuh, tapi bukan tersinggung. Yang aku ingat, dia selalu
memberi kepada orang lain tanpa mengharapkan kembali. Kasih sayang kepada anak
seumuran aku tercurah pada hal-hal kecil
tapi sungguh berarti, hingga selalu mengesankan dan terukir indah di hati.
Termasuk pemberian cemilan yang tak kusangka darinya. Tak cukup cemilan,
ternyata dia juga memberiku sejumlah uang sebagai uang sakuku.
Mungkin hal semacam ini adalah lumrah, sudah
biasa. Saudara saling membantu saudara yang lainnya. Kali ini tidak bagiku. Apa
yang orang lain berikan padaku, tetap akan bersemayam di hati ini, karena
kebaikannya.
Rasa-rasanya aku menyesal tak pernah bisa
membalas setiap pemberian tulus dari orang lain selama ini. Yang kutahu hanyalah
menerima. Bahkan kepada Bu Likku sendiri, aku tak bisa. Rasa sesal itu akan aku
jadikan pelajaran berharga buatku untuk tidak mengecewakan mamah yang selama 9
bulan telah mengandungku, dan puluhan tahun bersabar hanya untuk merawat serta
membesarkanku dengan seluruh kasih sayangnya. Sudah sepantasnya aku memahami
mereka, bukan inginnya dipahami terus.
Sebulan setelah aku study tour.
Siang itu. Mungkin sekitar pertengahan Januari
2007. Bu Lik dibonceng oleh suaminya dengan sepeda bututnya. Ia tersenyum
ketika melewati kami yang sedang duduk di serambi teras rumah Budhe. Mamah,
budhe dan beberapa saudara sepupuku. Kami sedang cukup santai kala itu. Kulihat
wajah tulus itu sedikit menyimpan rasa khawatir, tapi 14 tahun umurku saat itu
belum bisa menangkap arti semua itu.
Setelah menyandarkan sepeda di halaman samping
rumah budhe, Bu Lik dan suaminya ikut bergabung bersama kami.
“Cepet banget Rah, udah pulang.” Tanya Budhe
pada Bu Likku. Sarah namanya.
“Iya. Gimana hasilnya?” Ujar mamahku,
menambahkan.
“Iya. Ini lagi cepet, soalnya tadi kebetulan
lagi gak ngantri. Dokter Widi lagi lumayan luang.”
“Terus-terus gimana hasilnya?” Budhe tak sabar
ingin tahu hasilnya.
Aku berlarian bersama saudara sepupuku, tapi
melihat budhe dan bu Lik sedang berkerumun serius, aku menghampiri mamah dan
duduk di pangkuannya. Menyandar padanya. Meskipun aku sudah diam dan sepenuhnya
konsentrasi pada apa yang sedang mereka bicarakan, tetap saja aku belum bisa
memahaminya. Aku hanya mendengar satu kata yang tak pernah bisa aku lupakan
sampai saat ini.
“Kanker.”
Kata itu muncul dari bibir seorang wanita
tulus yang pernah aku miliki. Seorang yang pernah mengajarkanku lewat
tindakannya untuk selalu menebar kasih sayang. Sekali mendengar kata itu,
rasanya jantung ini memompa lebih cepat. Lalu munculah pertanyaan-pertanyaan yang
tak diharapkan itu.
Aku tersandar di bahu mamah. Dalam seribu kebisuan aku sudah menyimpan
banyak pertanyaan yang siap akan aku lontarkan pada mamah sepulang nanti.
Setelah di dalam rumah, ternyata hal yang
membuatku penasaran justru lupa. Foto-foto kenangan study tour cukup
membius rasa penasaran di balik kata kanker yang kudengar itu. Lalu seminggu
pun berlalu tanpa menyisakan pertanyaan itu lagi. Aku lupa.
Tapi, kali ini tak bisa kulupa dan tak bisa
lengah untuk menanyakan pada mamah. Bunyi motor butut dimana asap putih
mengepul mengikuti arah motor yang melaju lewat depan rumah kami. Sebelah kanan
rumahku adalah rumah budhe, dan ke situlah arah motor itu berlabuh.
Dari ruang tamu, aku langsung menghampiri
mamah yang ada di ruang tengah.
“Mah, itu siapa? Naik motor. Tapi sebelumnya
gak pernah liat yaa mah, coba mah.” Tanganku menarik lengan mamah, berusaha
menyeretnya ke depan untuk memastikan siapa lelaki bermotor butut itu.
Akupun berhasil membawa mamah ke ruang tamu.
Kami berdiri beriringan di depan kaca jendela.
“Mana lil? Ke arah mana?” Melongok ke depan,
kanan, dan kiri, lewat kaca. Belum berani kami membuka pintu depan.
“Itu mah, yang parkir di depan rumah budhe.
Emang yang mana lagi, kan cuma ada satu motor yang kita liat. Yang di depan
rumah budhe itu lho mah. Yaaah Mamah.” Gerutuku agak kesal.
Melihat lalu memperhatikan sejenak motor butut
itu, lalu mamah memalingkan muka. Berbalik arah dari kaca jendela, lalu duduk
di sofa.
“Bu Likmu itu lagi dalam pengobatan herbal
Lil.” Suaranya lirih. Tatapannya nanar.
“Mah, ada apa sebenarnya? Kenapa Bu Lik mesti
harus dalam proses pengobatan herbal mah? Kenapa mah?”
Mendadak dada ini serasa sesak. Mata ini
serasa ingin memproduksi air mata. Tiba-tiba air liur terasa kering di lidah. Tapi
tetap aku telan. Pahit.
“Mah, kenapa dengan Bu Lik?” Aku mengulangi
sekali lagi. Seolah kami terhening dalam situasi hampa. Khawatir mendera, dan
penyakit itu sepertinya sedang menertawakan kami dari dalam tubuh Bu Likku.
“Kanker Lil. Bu Likmu kena kanker. Kanker
payudara.” Tanpa memandangku, mamah menjawab dan air mata itu seolah saling
bertemu sapa dengan air yang ikut turun dan jatuh dari mataku ini.
“Mah….” Sapaku lirih. Aku bersandar pada
lengan mamah, sementara mamah masih dalam tatapan nanarnya dan air mata yang
kian mengalir itu.
Sebenarnya
aku belum cukup paham seperti apakah penyakit kanker itu. Aku sedikit teringat
dengan pelajaran Bahasa Indonesia yang kudapat sewaktu aku kelas 7 dulu. Ada
dua jenis tumor, dan seingatku tumor yang ganas itulah yang disebut kanker.
Memang, kala itu apalagi di desa, masih sangat minim sumber informasi. Yang aku
ketahui hanyalah tak ada obat yang sanggup menyembuhkan kanker, apalagi jika
sudah masuk stadium 4, stadium akhir.
“Bu Lik pun berada di stadium itu.” Gumamku
dalam batin.
Kanker
payudara. Benarkah penyakit itu sedang menggerogoti tubuh Bu Likku, orang
berwajah tulus itu. Apakah memang benar, dalam kesederhanaannya itu, ia justru
sedang menyimpan rasa sakit yang begitu pilu. Tanpa mengeluh, tanpa berkomentar
apapun. Lalu kenapa harus ia, bukankah ia orang yang baik. Lantas kenapa
cobaannya begitu berat dan menyakitkan seperti itu. Bahkan siapa pula yang
sanggup mengurangi rasa sakit itu. Mungkin obat-obat herbal itu. Mungkin.
Sekarang
ia tak lagi di rumahnya, melainkan di rawat di rumah budhe. Tempat budhe adalah
yang paling strategis. Berada di tengah, dikelilingi oleh keluarga kami
sendiri. Uh, air mata ini terlalu menyimpan banyak gaya gravitasi bumi,
sehingga selalu turun dari mataku ini. Aku berusaha mendongakkan wajahku, tapi tetap
saja. Tak bisa kuhindarkan. Kulihat ia berbaring dalam kondisi yang bahkan tak
sanggup aku katakan. Terkadang benjolan itu semakin membesar. Kadang pula,
mengecil tapi mengeluarkan cairan nanah, atau bahkan darah.
Begitu
tulus. Baik hatinya. Tapi betapa kejamnya penyakit itu, tega melumpuhkan segala
aktivitasnya. Sosok gadis cilik berumur 6 tahun itu masih terlihat begitu
polos. Mungkin hanya bisa menangis, atau diam saja. Tapi siapa tahu, di dalam
hatinya tersimpan luapan air mata yang mengalir deras menyaksikan ibunya
tergeletak di atas kasur, tak berdaya. Mungkin rindu akan sarapan pagi yang ia
sediakan, mungkin kangen di belikan jajanan di warung, atau mungkin ingin
sekali rasanya bersandar di dalam pelukan hangatnya.
Tapi
tak bisa. Gadis cilik itu terduduk lesu. Wajahnya sendu, tak bergairah layaknya
anak-anak seumurnya. Dalam diam, seribu bahasa dalam kebisuan hanya terlontar
lewat hati kecilnya. Tak ada yang sanggup menerjemahkannya. Tak ada, dan tak
bisa.
Seringkali
kutengok kamar yang sudah seperti kamar di rumah sakit. Beberapa orang silih
berganti datang menjenguk. Beberapa hari sekali pun dokter herbal dengan motor
butut itu datang memberikan ramuan yang tak pernah kami tahu dengan jelas itu. Bu
Lik sudah terlanjur tak mau dioperasi dengan alasan takut. Karena itulah
pengobatan herbal menjadi pilihan terakhir kami.
Ingin
sekali aku mengajak gadis cilik bernama Silvi itu, kembali menemukan
kegembiraanya. Layaknya anak-anak yang lainnya. Bermain, beli jajan, atau hanya
sekedar belajar bersama. Tapi aku tak sanggup, tak bisa menyentuhnya. Ingin
sekali ku peluk erat, dan kusampaikan betapa hebatnya sosok ibumu bagi diri
yang lemah ini. Sangat menginspirasi.
Mungkinkah
ia takut. Ataukah begitulah caranya menghadapi kenyataan itu. Dan aku masih
saja dengan gadis berumur 14 tahun yang tetap tak mengerti apa itu kanker.
Apalagi kanker payudara. Gadis kecil yang di pagi ini bersembunyi duduk
meringkuk di belakang pintu kamar rumahnya, menjauh dari kebisingan
orang-orang, sangat menyentil hati yang rapuh ini. Dari pintu depan kamar, aku
pun hendak masuk, tapi kulihat bayangan gadis itu memenuhi pintu kamar sehingga
aku sadar, dia sedang ada dibalik pintu ini. Tangisnya tidak meronta-ronta.
Tapi isaknya sedu. Begitu memilukan.
Aku
mematung di depan pintu kamar tersebut. Tanpa suara apapun. Hening. Air mata
inilah yang membuat kami menyuarakan isaknya. Karena ini pula, tubuh ini serasa
lemas, tak berdaya. Begitupun dengan mamah, budhe, seluruh keluarga dan juga
semua pelayat.
Langit
merundukan pandangannya, menghormati kedatangannya. Begitulah cara langit
memberikan kehormatan kepada Bu Likku dengan segala kebaikan yang ia punya.
Hanya sepotong handuk yang pernah ku berikan lewat tanganku atas permintaannya
yang terakhir kalinya. Bukan handuk pemberianku, hanya sekedar membantu
menyerahkan untuknya.
Kemaren
sore sebelum pagi ini datang menjemput. Bu Lik memintaku mengambilkan handuk
yang tertata rapi dalam tatanan baju di atas kasur di dalam sebuah kotak baju.
“Lil, tolong ambilkan han…duk itu.” Suaranya
begitu lirih dan hampir terbata-bata.
Hanya itulah. Aku tak sanggup membalas
kebaikannya yang begitu tulus itu. Kenapa pula aku tak bisa. Lalu bahkan
menyentuh hati Silvi pun terasa tak mudah bagiku. Kasih sayangmu benar tiada
bandingannya. Tak bisa kiranya disamakan denganku yang hanyalah sebutir debu,
mudah terbawa angin.
Yang datang dari Alloh maka akan berpulang
kepada-Nya pula.
Bu Lik sudah meninggalkanku begitu banyak
pelajaran hidup yang berharga. Menjadi pribadi yang tulus ikhlas, dan berjuang
melawan penyakit. Takkan ada hari lagi untukku bisa bertemu di desaku ini
dengannya. Bahkan cemilan itu rupanya cemilan terakhir untukku. Bu Lik telah
sampai di penghujung usianya dan berada di alam abadi sang Pencipta. Hanya doa
yang akan mempertemukan kita.
Betapa beruntungnya aku, mamahku selalu ada di
sampingku. Segala usahanya hanyalah ingin membuatku jauh lebih kuat menjalankan
hidup ini, lebih mandiri. Tapi begitu aku sangat menginginkan untuk di pahami,
tanpa harus memahami. Bu Lik mengajarkanku untuk selalu bisa memahami tanpa
harus minta dipahami oleh orang lain. Begitulah seharusnya aku bersikap kepada
mamah.
Silvi, gadis cilik itu kini tumbuh menjadi
remaja yang tebal hatinya. Tujuh tahun tanpa dirawat oleh seorang Ibu, ia
justru lebih kuat. Tidak manja, tidak bergantung dan tidak banyak menuntut. Mandiri.
Meski tubuhnya jangkung dan ceking, rupanya
semangatnya gendut. Ia rajin belajar, juga tetap menjaga kesederhanaan. Tak
mudah tergoda layaknya anak remaja zaman sekarang.
Menginjak angka 21 tahun umurku. Akan selalu
tersimpan rapi pelajaran berharga itu, ditambah dengan perpaduan ilmu yang
kudapat dari pendidikanku selama ini. Bu Lik yang sudah menyentuh hatiku,
terimakasih. Bu Lik adalah Ibu terbaik yang pernah Silvi miliki.
Begitupun dengan aku. Aku pun punya mamah. Mamah
jauh sudah lama sekali menyentuh hatiku, bahkan sebelum aku terlahir di bumi
ini. Meskipun begitu, mereka adalah sosok ibu yang hadir dalam hidupku,
memberiku napas yang sungguh berarti.
“Mamah hanya ingin memberikan yang terbaik
kepada kalian, itulah hidup mamah.” Ujarnya penuh pengertian ketika aku meminta
uang pendaftaran masuk perguruan tinggi negeri 3 tahun yang lalu.
Bahkan sekuat apapun seorang anak berusaha
memahami ibunya, tetap saja seorang ibu jauh lebih memahami seorang anaknya. Bahkan
mamahku berjanji untuk selalu berjuang hidup sehat hanya demi kami, meskipun
usianya sudah tak terbilang muda seperti sedia kala. Seperti itulah mamahku,
dan aku masih senang bermanja dengannya. Tapi tidak untuk melukai hatinya.
Secerah pagi ini, kutanamkan seluruh pelajaran
berharga yang pernah kudapat. Semoga bisa menjadi bekalku menjadi seorang ibu
yang baik di kemudian hari. Saat ini aku masih harus menuntut ilmu, belajar dan
berusaha semaksimal mungkin supaya jerih payah kedua orang tua tak hanya sia-
sia semata.
“Mamah, itu apa? Hmm ada gulanya. Mamah
aaaa….” Sahutku sambil menganga minta disuap sesendok bubur sum-sum dengan gula
merah yang mengguyurnya. Biasa disebut gula jawa ditempatku.
Mamah mengulurkan tangannya yang membawa
sendok berisi bubur sum-sum bergula jawa itu. Wajahnya begitu menenangkan hati,
dan agaknya sedang sedikit menyimpan tawa. Tawa itu lepas juga dari bibirnya.
“Hehehehehe. Bubur lil. Emm. Bayi kalpak, hehehe.”
Tawanya mengundang. Kami pun tertawa bersama. “Hehehe.”
Terlihat gigi pasangan mamah yang menempel
tidak rapi di bagian depan saat sedang ketawa.
No comments: