Nomor Satu di Hidupku, Yaa Mamahku!

Friday, January 10, 2014



Tiba-tiba saja iklan di televisi itu serasa menggodaku, terlebih tentang cokelat dan keripik singkong kesukaanku itu. Nyam- nyam, Yummy. Enak. Tanpa sadar aku mengubah mode on dari good mood menjadi bad mood. Teringat kegiatan study tour besok. Rupanya aku masih dalam kategori ABG labil. Mungkin.
“Mah, cemilan buat dibawa study tour besok apa aja?”
“Udah besar gitu, apa-apa mamah, beli sendiri aja lah.”
“Yaah mamah, mau cemilan pokoknya. Gak mau beli sendiri.” Aku cemberut.
Masih dengan perasaan dongkol karena belum disediakan cemilan, aku masuk ke kamar. Wajahku cemberut memalingkan wajah melewati mamahku yang sedang duduk di atas karpet, di ruang tengah. Sebelumnya kami sedang asyik menonton televisi, namun pertanyaanku itu rupanya meninggalkan mamahku dalam wajah yang cukup gelisah karena ulahku.
Empat belas tahun umurku, dan duduk di kelas 9 membuatku wajib mengikuti study tour. Kali ini tujuannya ke Jakarta. Monas dan Kebun Raya Bogor adalah destinasi khususnya. Sejujurnya aku tak begitu tertarik dengan acara tersebut. Sifatku yang cenderung lebih suka diam di kelas membuatku tak memiliki banyak teman dekat yang cukup asyik. Ditambah lagi dengan keadaan ekonomi keluarga yang tak berlimpah, mengharuskan aku untuk bisa memilih teman yang cocok denganku. Hampir seluruh temanku, orang tuanya adalah polisi. Memang, tak disangka meskipun aku selalu berusaha. Aku masuk dalam kelas pilihan, dimana seluruh siswa memiliki prestasi yang rata-rata sama, tapi lebih unggul dari sebagian besar siswa-siswi yang ada. Biasanya disebut kelas unggulan di daerahku.
***
“Lil,berangkat ke Jakartanya kapan?” Begitu Bu Lik menyebutku, Lil. Alila namaku.
“Besok sore Bu Lik. Kayaknya jam lima-an dari rumah. Kenapa Bu Lik?”
“Nih, ada jajan. Bisa buat ngemil di bus, hehe.” Bu Lik tersenyum ke arahku. Memandang wajahku. Wajahnya terlihat nyaman. Ketulusan memang tak bisa disembunyikan.
“Bu Lik, kenapa repot-repot begini. Aduh jadi gak enak begini.” Aku tersipu malu sambil menerima cemilan itu.
Aku hanya punya seorang Bu Lik di desaku ini. Dia satu-satunya adik perempuan dari Ibuku. Orangnya selalu ramah, hatinya mudah sekali tersentuh, tapi bukan tersinggung. Yang aku ingat, dia selalu memberi kepada orang lain tanpa mengharapkan kembali. Kasih sayang kepada anak seumuran aku tercurah pada hal-hal  kecil tapi sungguh berarti, hingga selalu mengesankan dan terukir indah di hati. Termasuk pemberian cemilan yang tak kusangka darinya. Tak cukup cemilan, ternyata dia juga memberiku sejumlah uang sebagai uang sakuku.
Mungkin hal semacam ini adalah lumrah, sudah biasa. Saudara saling membantu saudara yang lainnya. Kali ini tidak bagiku. Apa yang orang lain berikan padaku, tetap akan bersemayam di hati ini, karena kebaikannya.
Rasa-rasanya aku menyesal tak pernah bisa membalas setiap pemberian tulus dari orang lain selama ini. Yang kutahu hanyalah menerima. Bahkan kepada Bu Likku sendiri, aku tak bisa. Rasa sesal itu akan aku jadikan pelajaran berharga buatku untuk tidak mengecewakan mamah yang selama 9 bulan telah mengandungku, dan puluhan tahun bersabar hanya untuk merawat serta membesarkanku dengan seluruh kasih sayangnya. Sudah sepantasnya aku memahami mereka, bukan inginnya dipahami terus.
Sebulan setelah aku study tour.
Siang itu. Mungkin sekitar pertengahan Januari 2007. Bu Lik dibonceng oleh suaminya dengan sepeda bututnya. Ia tersenyum ketika melewati kami yang sedang duduk di serambi teras rumah Budhe. Mamah, budhe dan beberapa saudara sepupuku. Kami sedang cukup santai kala itu. Kulihat wajah tulus itu sedikit menyimpan rasa khawatir, tapi 14 tahun umurku saat itu belum bisa menangkap arti semua itu.
Setelah menyandarkan sepeda di halaman samping rumah budhe, Bu Lik dan suaminya ikut bergabung bersama kami.
“Cepet banget Rah, udah pulang.” Tanya Budhe pada Bu Likku. Sarah namanya.
“Iya. Gimana hasilnya?” Ujar mamahku, menambahkan.
“Iya. Ini lagi cepet, soalnya tadi kebetulan lagi gak ngantri. Dokter Widi lagi lumayan luang.”
“Terus-terus gimana hasilnya?” Budhe tak sabar ingin tahu hasilnya.
Aku berlarian bersama saudara sepupuku, tapi melihat budhe dan bu Lik sedang berkerumun serius, aku menghampiri mamah dan duduk di pangkuannya. Menyandar padanya. Meskipun aku sudah diam dan sepenuhnya konsentrasi pada apa yang sedang mereka bicarakan, tetap saja aku belum bisa memahaminya. Aku hanya mendengar satu kata yang tak pernah bisa aku lupakan sampai saat ini.
“Kanker.”
Kata itu muncul dari bibir seorang wanita tulus yang pernah aku miliki. Seorang yang pernah mengajarkanku lewat tindakannya untuk selalu menebar kasih sayang. Sekali mendengar kata itu, rasanya jantung ini memompa lebih cepat. Lalu munculah pertanyaan-pertanyaan yang tak diharapkan itu.
Aku tersandar di bahu mamah.  Dalam seribu kebisuan aku sudah menyimpan banyak pertanyaan yang siap akan aku lontarkan pada mamah sepulang nanti. 
Setelah di dalam rumah, ternyata hal yang membuatku penasaran justru lupa. Foto-foto kenangan study tour cukup membius rasa penasaran di balik kata kanker yang kudengar itu. Lalu seminggu pun berlalu tanpa menyisakan pertanyaan itu lagi. Aku lupa.
Tapi, kali ini tak bisa kulupa dan tak bisa lengah untuk menanyakan pada mamah. Bunyi motor butut dimana asap putih mengepul mengikuti arah motor yang melaju lewat depan rumah kami. Sebelah kanan rumahku adalah rumah budhe, dan ke situlah arah motor itu berlabuh.
Dari ruang tamu, aku langsung menghampiri mamah yang ada di ruang tengah.
“Mah, itu siapa? Naik motor. Tapi sebelumnya gak pernah liat yaa mah, coba mah.” Tanganku menarik lengan mamah, berusaha menyeretnya ke depan untuk memastikan siapa lelaki bermotor butut itu.
Akupun berhasil membawa mamah ke ruang tamu. Kami berdiri beriringan di depan kaca jendela.
“Mana lil? Ke arah mana?” Melongok ke depan, kanan, dan kiri, lewat kaca. Belum berani kami membuka pintu depan.
“Itu mah, yang parkir di depan rumah budhe. Emang yang mana lagi, kan cuma ada satu motor yang kita liat. Yang di depan rumah budhe itu lho mah. Yaaah Mamah.” Gerutuku agak kesal.
Melihat lalu memperhatikan sejenak motor butut itu, lalu mamah memalingkan muka. Berbalik arah dari kaca jendela, lalu duduk di sofa.
“Bu Likmu itu lagi dalam pengobatan herbal Lil.” Suaranya lirih. Tatapannya nanar.
“Mah, ada apa sebenarnya? Kenapa Bu Lik mesti harus dalam proses pengobatan herbal mah? Kenapa mah?”
Mendadak dada ini serasa sesak. Mata ini serasa ingin memproduksi air mata. Tiba-tiba air liur terasa kering di lidah. Tapi tetap aku telan. Pahit.
“Mah, kenapa dengan Bu Lik?” Aku mengulangi sekali lagi. Seolah kami terhening dalam situasi hampa. Khawatir mendera, dan penyakit itu sepertinya sedang menertawakan kami dari dalam tubuh Bu Likku.
“Kanker Lil. Bu Likmu kena kanker. Kanker payudara.” Tanpa memandangku, mamah menjawab dan air mata itu seolah saling bertemu sapa dengan air yang ikut turun dan jatuh dari mataku ini.
“Mah….” Sapaku lirih. Aku bersandar pada lengan mamah, sementara mamah masih dalam tatapan nanarnya dan air mata yang kian mengalir itu.
            Sebenarnya aku belum cukup paham seperti apakah penyakit kanker itu. Aku sedikit teringat dengan pelajaran Bahasa Indonesia yang kudapat sewaktu aku kelas 7 dulu. Ada dua jenis tumor, dan seingatku tumor yang ganas itulah yang disebut kanker. Memang, kala itu apalagi di desa, masih sangat minim sumber informasi. Yang aku ketahui hanyalah tak ada obat yang sanggup menyembuhkan kanker, apalagi jika sudah masuk stadium 4, stadium akhir.
“Bu Lik pun berada di stadium itu.” Gumamku dalam batin.
            Kanker payudara. Benarkah penyakit itu sedang menggerogoti tubuh Bu Likku, orang berwajah tulus itu. Apakah memang benar, dalam kesederhanaannya itu, ia justru sedang menyimpan rasa sakit yang begitu pilu. Tanpa mengeluh, tanpa berkomentar apapun. Lalu kenapa harus ia, bukankah ia orang yang baik. Lantas kenapa cobaannya begitu berat dan menyakitkan seperti itu. Bahkan siapa pula yang sanggup mengurangi rasa sakit itu. Mungkin obat-obat herbal itu. Mungkin.
            Sekarang ia tak lagi di rumahnya, melainkan di rawat di rumah budhe. Tempat budhe adalah yang paling strategis. Berada di tengah, dikelilingi oleh keluarga kami sendiri. Uh, air mata ini terlalu menyimpan banyak gaya gravitasi bumi, sehingga selalu turun dari mataku ini. Aku berusaha mendongakkan wajahku, tapi tetap saja. Tak bisa kuhindarkan. Kulihat ia berbaring dalam kondisi yang bahkan tak sanggup aku katakan. Terkadang benjolan itu semakin membesar. Kadang pula, mengecil tapi mengeluarkan cairan nanah, atau bahkan darah.
            Begitu tulus. Baik hatinya. Tapi betapa kejamnya penyakit itu, tega melumpuhkan segala aktivitasnya. Sosok gadis cilik berumur 6 tahun itu masih terlihat begitu polos. Mungkin hanya bisa menangis, atau diam saja. Tapi siapa tahu, di dalam hatinya tersimpan luapan air mata yang mengalir deras menyaksikan ibunya tergeletak di atas kasur, tak berdaya. Mungkin rindu akan sarapan pagi yang ia sediakan, mungkin kangen di belikan jajanan di warung, atau mungkin ingin sekali rasanya bersandar di dalam pelukan hangatnya.
            Tapi tak bisa. Gadis cilik itu terduduk lesu. Wajahnya sendu, tak bergairah layaknya anak-anak seumurnya. Dalam diam, seribu bahasa dalam kebisuan hanya terlontar lewat hati kecilnya. Tak ada yang sanggup menerjemahkannya. Tak ada, dan tak bisa.
            Seringkali kutengok kamar yang sudah seperti kamar di rumah sakit. Beberapa orang silih berganti datang menjenguk. Beberapa hari sekali pun dokter herbal dengan motor butut itu datang memberikan ramuan yang tak pernah kami tahu dengan jelas itu. Bu Lik sudah terlanjur tak mau dioperasi dengan alasan takut. Karena itulah pengobatan herbal menjadi pilihan terakhir kami.
            Ingin sekali aku mengajak gadis cilik bernama Silvi itu, kembali menemukan kegembiraanya. Layaknya anak-anak yang lainnya. Bermain, beli jajan, atau hanya sekedar belajar bersama. Tapi aku tak sanggup, tak bisa menyentuhnya. Ingin sekali ku peluk erat, dan kusampaikan betapa hebatnya sosok ibumu bagi diri yang lemah ini. Sangat menginspirasi.
            Mungkinkah ia takut. Ataukah begitulah caranya menghadapi kenyataan itu. Dan aku masih saja dengan gadis berumur 14 tahun yang tetap tak mengerti apa itu kanker. Apalagi kanker payudara. Gadis kecil yang di pagi ini bersembunyi duduk meringkuk di belakang pintu kamar rumahnya, menjauh dari kebisingan orang-orang, sangat menyentil hati yang rapuh ini. Dari pintu depan kamar, aku pun hendak masuk, tapi kulihat bayangan gadis itu memenuhi pintu kamar sehingga aku sadar, dia sedang ada dibalik pintu ini. Tangisnya tidak meronta-ronta. Tapi isaknya sedu. Begitu memilukan.
            Aku mematung di depan pintu kamar tersebut. Tanpa suara apapun. Hening. Air mata inilah yang membuat kami menyuarakan isaknya. Karena ini pula, tubuh ini serasa lemas, tak berdaya. Begitupun dengan mamah, budhe, seluruh keluarga dan juga semua pelayat.
            Langit merundukan pandangannya, menghormati kedatangannya. Begitulah cara langit memberikan kehormatan kepada Bu Likku dengan segala kebaikan yang ia punya. Hanya sepotong handuk yang pernah ku berikan lewat tanganku atas permintaannya yang terakhir kalinya. Bukan handuk pemberianku, hanya sekedar membantu menyerahkan untuknya.
            Kemaren sore sebelum pagi ini datang menjemput. Bu Lik memintaku mengambilkan handuk yang tertata rapi dalam tatanan baju di atas kasur di dalam sebuah kotak baju.
“Lil, tolong ambilkan han…duk itu.” Suaranya begitu lirih dan hampir terbata-bata.
Hanya itulah. Aku tak sanggup membalas kebaikannya yang begitu tulus itu. Kenapa pula aku tak bisa. Lalu bahkan menyentuh hati Silvi pun terasa tak mudah bagiku. Kasih sayangmu benar tiada bandingannya. Tak bisa kiranya disamakan denganku yang hanyalah sebutir debu, mudah terbawa angin.
Yang datang dari Alloh maka akan berpulang kepada-Nya pula.
Bu Lik sudah meninggalkanku begitu banyak pelajaran hidup yang berharga. Menjadi pribadi yang tulus ikhlas, dan berjuang melawan penyakit. Takkan ada hari lagi untukku bisa bertemu di desaku ini dengannya. Bahkan cemilan itu rupanya cemilan terakhir untukku. Bu Lik telah sampai di penghujung usianya dan berada di alam abadi sang Pencipta. Hanya doa yang akan mempertemukan kita.
Betapa beruntungnya aku, mamahku selalu ada di sampingku. Segala usahanya hanyalah ingin membuatku jauh lebih kuat menjalankan hidup ini, lebih mandiri. Tapi begitu aku sangat menginginkan untuk di pahami, tanpa harus memahami. Bu Lik mengajarkanku untuk selalu bisa memahami tanpa harus minta dipahami oleh orang lain. Begitulah seharusnya aku bersikap kepada mamah.
Silvi, gadis cilik itu kini tumbuh menjadi remaja yang tebal hatinya. Tujuh tahun tanpa dirawat oleh seorang Ibu, ia justru lebih kuat. Tidak manja, tidak bergantung dan tidak banyak menuntut. Mandiri.
Meski tubuhnya jangkung dan ceking, rupanya semangatnya gendut. Ia rajin belajar, juga tetap menjaga kesederhanaan. Tak mudah tergoda layaknya anak remaja zaman sekarang.
Menginjak angka 21 tahun umurku. Akan selalu tersimpan rapi pelajaran berharga itu, ditambah dengan perpaduan ilmu yang kudapat dari pendidikanku selama ini. Bu Lik yang sudah menyentuh hatiku, terimakasih. Bu Lik adalah Ibu terbaik yang pernah Silvi miliki.
Begitupun dengan aku. Aku pun punya mamah. Mamah jauh sudah lama sekali menyentuh hatiku, bahkan sebelum aku terlahir di bumi ini. Meskipun begitu, mereka adalah sosok ibu yang hadir dalam hidupku, memberiku napas yang sungguh berarti.
“Mamah hanya ingin memberikan yang terbaik kepada kalian, itulah hidup mamah.” Ujarnya penuh pengertian ketika aku meminta uang pendaftaran masuk perguruan tinggi negeri 3 tahun yang lalu.
Bahkan sekuat apapun seorang anak berusaha memahami ibunya, tetap saja seorang ibu jauh lebih memahami seorang anaknya. Bahkan mamahku berjanji untuk selalu berjuang hidup sehat hanya demi kami, meskipun usianya sudah tak terbilang muda seperti sedia kala. Seperti itulah mamahku, dan aku masih senang bermanja dengannya. Tapi tidak untuk melukai hatinya.
Secerah pagi ini, kutanamkan seluruh pelajaran berharga yang pernah kudapat. Semoga bisa menjadi bekalku menjadi seorang ibu yang baik di kemudian hari. Saat ini aku masih harus menuntut ilmu, belajar dan berusaha semaksimal mungkin supaya jerih payah kedua orang tua tak hanya sia- sia semata.
“Mamah, itu apa? Hmm ada gulanya. Mamah aaaa….” Sahutku sambil menganga minta disuap sesendok bubur sum-sum dengan gula merah yang mengguyurnya. Biasa disebut gula jawa ditempatku.
Mamah mengulurkan tangannya yang membawa sendok berisi bubur sum-sum bergula jawa itu. Wajahnya begitu menenangkan hati, dan agaknya sedang sedikit menyimpan tawa. Tawa itu lepas juga dari bibirnya.
“Hehehehehe. Bubur lil. Emm. Bayi kalpak, hehehe.” Tawanya mengundang. Kami pun tertawa bersama. “Hehehe.”
Terlihat gigi pasangan mamah yang menempel tidak rapi di bagian depan saat sedang ketawa.

No comments:

Powered by Blogger.