Air Mata Gembel
Nyanyian
hanyalah nyanyian dan lirik hanyalah sekadar lirik. Begitulah adanya. Laksana
ular yang panjangnya bukan kepalang ini, mulai melata di area tengah menuju
tanah timur sana, dalam ranah waktu 9 jam tidak kurang. Sesosok gadis berkerudung
biru, duduk dalam tenang, menyaksikan patung-patung bernyawa yang turut
menyaksikan kepergian ular ini. Alil tak sendiri duduk termenung hening,
disebelahnya ada Musi, yang dari ujung kerudung sampai sandal yang ia pakai,
bernuansa hitam. Sahabat baiknya itu, ikut mematung menyaksikan patung-patung
bernyawa dari kaca jendela kusam tempat ia akan menyandarkan kepalanya. Tak
sama, memang tak sama, tapi setidaknya sewaktu kami kecil dulu, pernah
membayangkan seperti apa bunyi kereta api itu. Meskipun, hanya lewat nyanyian
penggembira, yang kini ikut mematung di antara lagu anak-anak dan semakin tak
bernyawa. Benar, kami hanyalah ekor bernomor 90’an yang beruntung dan turut
gembira dari nyanyian yang kini mematung itu.
Ular ini
melata dan terus melata. Tapi sesekali berhenti, membungkukan badan,
mempersilakan yang lebih berwibawa untuk lewat terlebih dahulu. Kami seakan
dipaksa memahaminya dan kami hanyut dalam canda tawa, bergembira bagai anak
kecil yang begitu riang menikmati masa-masa bermain. Sesekali Musi melihat ke
luar jendela, didapati cahayanya mengintip kami yang sedang bermain. Tak heran,
patung-patung bernyawa mulai bermunculan lagi sepanjang ular ini melata. Melata
mengejar sebuah bola mata penuh dengan sorotan cahaya keemasan di ufuk timur
sana, yang dengan genitnya mengintip gerak-gerik kami. Alil pun ikut melirik,
menonton para patung yang menjadi fatamorgana dari porak-porandanya hasil hitam
di atas kertas, hingga turut tergoda lantaran fiksi belaka.
“Mus,
tidakkah kau kira ular ini berbahaya? Jika iya, lantas kenapa patung-patung
bernyawa itu begitu berani berjejeran langsung dengan hewan bertipe karnivora
ini? Tidakkah mereka takut?” Alil memandang wajah sahabatnya sebentar, menghela
napas, lalu melanjutkannya lagi.
“Bahkan tak
urung jua palang-palang ini memisahkan diantara mereka? Lihat! Patung yang satu
itu, masih begitu lugu, mengenakan seragam bak bendera pusaka kita, berjalan di
pinggiran selokan selebar 50 cm tidak kurang. Di ujung selokan itu, langkahnya
akan terhenti, jalannya tertabrak ular ini yang sedang melata. Aku takut. Apa
yang mungkin terjadi? jika ular ini sedang berbisa, sementara patung itu sedang
dalam kondisi yang lemah. Bahkan palang-palang hanya menjadi buah bibir yang
dipertontonkan oleh ribuan patung lain, tapi tak kunjung terealisasikan. Bahkan
miris. Sungguh miris sekali. Jika sebuah tanggung jawab justru bak bola pingpong yang dipukul hanya
akan berpantul ke arah sana dan sini. Tak kusangka Mus, perwajahan ini begitu
mengerikan, bagaimana jika patung itu segera dimangsa si ular ini. Apakah
tubuhnya masih akan dibalut warna bendera pusaka kita atau hanya akan
menyisakan satu warna saja? Bukan putih tentunya, ia terlalu polos tertumpahkan
darah sisa ular yang memangsa patung.”
Alil
menghela napas panjang seraya menunggu Musi menggerakan bibirnya, dan ular ini
melata, dan terus melata ke arah timur.
“Lebih baik
kamu simpan dulu coretan di bibirmu itu.” Musi melirik Alil, sejenak diam lalu
melanjutkan kembali. “sejauh ular ini melata, akan ada lebih banyak lagi
patung-patung yang akan berbicara padamu, miniatur-miniatur yang akan
menyisakan amplop disakumu. Bukan uang. Tapi sepucuk surat yang akan terus
meminta balasan, dan juga tanah timur, yang tak sabar akan menjumpai kita dengan
segala kejutan yang tak pernah kita tahu.”
Musi
melemparkan sebuah senyuman tapi Alil malah tertawa. Musi tak bisa menahan
gelagak tawa, menyadari dirinya berbicara begitu serius. Tak seperti biasanya.
“Yuuk kita
sarapan dulu, mie goreng buatan ibumu itu bakalan mubazir kalo nda dimakan.
Udah bangun pagi-pagi persiapin semuanya untuk kamu lho.” Musi mulai membuka
kotak makannya.
***
Alil merasa,
sungguh ingin menikmati setiap detik dalam perjalanan ini, menuju tanah timur
sana yang belum pernah ia kunjungi sejengkal kakipun sebelumnya. Entahlah. Alil
seakan hanya ingin menikmatinya bersama sahabatnya itu, yang di depan mereka,
di samping mereka, atau bahkan yang mondar mandir di hadapan mereka, sudah
dianggapnya bagian dari tawa kami. Seringkali kami cengar-cengir dan memecah
tawa melihat begitu hidupnya ular ini, meski hanya berlebar kurang dari 5m,
tapi layaknya jalan raya yang setiap detik selalu ada yang lewat.
“Sarapan
sarapan sarapan.” Kata itu terus kami dengar dan mata kami seakan tak enggan
menengok pemilik suara itu, hingga membuat mata kami lelah menggerakkan bola
mata. Kami pun tak segan menirukan gayanya yang cukup melelahkan telinga dan
ingin tahu sebenarnya berapa harga sarapan itu, karena tidak mungkin itu
gratis.
Waktu tak
pernah setia pada hati kita, ia selalu selingkuh meninggalkan kita. Alil dan
Musi memandang keluar jendela kusam ini, mata ini tertuju pada persawahan yang
kering dan rumah adat yang sepanjang jalan, semuanya berjejer sama. Tapi dilihatnya
lagi, ternyata berbeda dengan rumah adat mereka. Tentu saja, karena tanah timur
sudah semakin dekat, dan bola mata keemasan yang pagi tadi bertengger di ufuk
timur, tak lagi mengintip mereka. Bola mata itu justru menyaksikan mereka
dengan terang-terangan, sinarnya tak lagi malu – malu bahkan jadi garang. Udara
menjadi semakin panas karenanya, dan juga karena penjaja yang mulai berkeliaran
tanpa lelah menyuarakan apa yang dijajakannya.
“Es teh, es
teh, es teh? Nasi rames, nasi gudeg, nasi telor? Yang dingin, yang dingin yang
dingin?” Suara-suara itu seakan kumpulan playlist kami dalam mp3
yang telah disediakan oleh ular ini, dan selalu diputar, putar lagi dan putar
lagi.
Tak ada
suara panjang lagi, tak ada suara yang sedang menjajakan sesuatu, tapi ada
sesuatu di atas pangkuannnya. Orang itu dengan sengaja dan sadar telah
meletakkannya, tidak hanya pada Alil, tapi setiap tiga orang sekali. Setelah
berjalan agak jauh dari Alil duduk, orang itu baru bersuara menjajakan
buku-buku yang sudah disebarkan pada setiap orang yang ia acak itu. Suasana
seperti ini justru membuat mereka bergurau dan menirukan setiap penjaja yang
dengan cepat mereka hafalkan mukanya, dan sekali mata mereka melihatnya,
cukuplah mereka saling memandang dan menyuarakan apa yang hendak penjaja itu
suarakan dengan nada yang sama persis. Mereka tertawa lepas bersama, dan seakan
tak mempedulikan gerahnya suasana di perut ular ini, tak sama seperti yang
lainnya.
Bola mata
itu seakan menjepret dari atas sana, dan waktu dhuhur telah menyapa kami di
area utama tanah timur. Sudah menjadi kewajiban bagi kami untuk mengingat sang
Pencipta dengan empat rakaat di siang hari ini. Rupanya ular inipun sujud pada
yang Maha Kuasa. Sembari menunggu ular ini selesai sujud, kami keluar dari
perut si ular. Sebuah mushola ada di ujung, dan mata kami berdua langsung
menatapnya tanpa ragu. Kami harus memastikan terlebih dahulu seberapa lama ular
itu akan bersujud, dan kami dapatkan jawaban itu. Tak kurang dari 10 menit,
kami harus bersama ular itu lagi. Alil yang terkenal dengan gerakannya yang
super lelet, seolah mendapatkan ekstra bonus kecepatan. Musi pun ikut tergesa-gesa.
Jika kami tertinggal, maka tak taulah harus kemana lagi kami berdua.
Ular ini
mulai mengeluarkan gasnya, asapnya mengepul, dan baru Alil sadari, ia sedang
berada di atas tanah timur Jawa. Sepertiga akhir perjalanan kami tadi, lebih
banyak dihabiskan dengan keluhan suasana yang semakin panas, keringat
bertaburan di sana sini, dan suara riang tadi, riuhnya para penjaja, tak akan
ada lagi kami dengar. Kami gendong tas kami masing-masing, kami langkahkan kaki
ini menjauh dari ular ini. Selalu. Mushola adalah tempat pertama yang kami
cari, nampaknya hari hampir sore. Duduk selama 9 jam lebih, membuat kami perlu
meregangkan kaki dan mushola yang sepi seolah mengerti jika kami lelah.
“Hahaha, mus
liat nii, bajuku kaya gak disetrika sama sekali yaah. Hm hm hm badanku lengket
lagi. Capek deh mus, eh tapi kita udah sampai niih, di tanah timur Jawa tujuan
kita, Surabaya muuus.”
Alil mencoba
melunakkan suasana, padahal dirinya sendiri berselimutkan keraguan yang sangat,
pertama kalinya ia pergi sejauh ini hanya berdua bersama sahabatnya. Entahlah
untuk apa.
“Kita bener
nekat yaah, baru diomongin kemaren sore, baru beli tiket kemarin sore. Eeh
sekarang udah di tempat yang sedari kemaren, nyampe semaleman gak bisa tidur.
Yaa, cuma buat mengkhayal seperti apa tempat ini.” Musi menghela napas panjang,
lalu menyeret tanganku. “keluar dari stasiun yuuk.”
Stasiun ini
besar, juga karena letaknya di jantung kota besar. Biarpun masih setanahair,
rasa-rasanya, orangnya nampak berbeda. Mereka terlihat asing. Kami dengarkan
logatnya, bahasanya, kami mengintai cara menghormatinya, cara memperhatikannya.
Benar, tak sama. Kami seakan benar berada di tengah patung-patung yang
bernyawa, atau sekarang justru kamilah yang menjadi patung-patung bernyawa itu.
Bukan
angkutan kota namanya, tapi Lin. Kami berdua hendak menunggu Lin yang akan mengantarkan
kami ke Jl. Ketintang. Tak heran sesore ini, Lin pun bisa merasakan lelah. Kami
tunggu, dan tunggu, tapi tak nampak pula. Jalan raya ini, benar ramai, dan di
bawah jalan layang itu, pusat kemacetan tak terkendali. Sore tak akan pernah
setia menemani patung-patung lesu, letih, kusut, dan sangat lapar ini. Bahkan
udara semakin ganas meraungi badan yang semakin berkeringat ini. Lantas, apa
yang pantas kami tunggu di sini, sedang apa kami ini. Benar benar patung.
Patung-patung bernyawa.
Kata-kata
kami tak lagi hidup, tenggorokan kering, pakaian basah terhujani keringat.
Sayang beribu sayang, Lin itu muncul dengan kerumunan yang begitu tak indah.
“Mus, kita
ikut atau tidak?” Suaranya hampir tak terdengar.
Hanya dengan
geleng-geleng kepala, kami langkahkan kaki menjauh dari tempat kami berdiri, dan
saatnya nanti tempat ini pula yang akan setia menopang kaki ini berdiri dan
rela diinjak-injak oleh dua pasang kaki dari patung-patung yang bernyawa ini.
Jalan
Ketintang. Gagal. Tapi google satu-satunya pemandu kami, ia tak pernah lelah
sekalipun menjawab seaneh apapun pertanyaan kami. Senja. Ia bahkan lelah
memperhatikan patung yang berkeliaran ini, tapi ia jugalah yang mengantar kami
ke tempat kunjungan kami yang kedua. Orang banyak menyebutkan sebagai wadah
yang melahirkan para agen perubahan. Tempat ini, katanya yang tertua di tanah
surga ini, katanya. Melewati jalan layang yang sejak tadi melirik kami selama
kami sedang menunggu Lin, melewati Rumah Sakit yang berjejeran, melewati Kantor-kantor
dengan gedung yang cukup megah, tak kunjung dapat kami jumpai di tempat biasa
kami tinggal, meskipun dengan nama kantor yang sama.
Berjalan,
berjalan, dan berjalan. Beruntung, mulut ini hanya ada di muka, tak bisa
kiranya kaki ini punya mulut, pasti tak hentinya berkicau. Jalan raya ini,
mungkin dua kali lebarnya dari jalan raya yang biasa kami lihat. Lebar, sungguh
Lebar. Uh, tetap saja penuh. Sesak. Macet. Bukan kami terganggu langkahnya,
pinggiran jalan selebar setengah meter sudah cukup bagi kami. Lantas, pemandangan
ini melelahkan dan menggerahkan. Biarpun begitu, mata kamilah yang saling
berbicara dan mengobrol. Hingga bola mata kami jatuh pada pandangan yang sama.
“Yuuuk…..”
Kami berdua mendekatinya.
Pandangan
yang sama, menyatukan rasa yang sama pula. Mata kami sama-sama tertuju pada
sosok ibu penjual es yang berada di dalam sekolah SD Kristen itu. Kami masuk
tanpa permisi pada pintu gerbang, kami pandangi satu persatu setiap wadah yang
ada. Biarpun kami saling mengantri berasama anak-anak SD, tak sekalipun kami
lirik ada kesenjangan usia diantara kami. Tak peduli. Gurun ini, harus segera
dihujani.
“Mbaknya mau
kemana? Bukan orang sini yaah?” Ibu penjual es itu nampaknya paham betul, kami
ini hanyalah, pendatang, wisatawan, gelandangan, atau nge-gembel ke sini.
Terserahlah.
“Mau ke situ
aja Bu, tengok-tengok saja.” Alil jawab sambil tersenyum-senyum.
Kami hanya
kehilangan uang dua ribu rupiah saja, dengan seribu Alil bisa mengguyur gurun
saharanya, dan Musi bisa menghujani gurun gobinya. Tegukan pertama benar-benar
mereka nikmati, dan obrolan itu hidup kembali menggantikan senja yang sudah
bersembunyi di rongga sebelah barat sana. Tegukan demi tegukan, langkah demi
langkah, kami ada di sini.
“Paling
tidak, kita kunjungi tempat ini, katanya yang tertua lho. Katanya siih.”
“Pasti kata
google kan Lil, iya kaan? Haha. Lil….” Alil mendehem dipanggil Musi.
“Keliatannya sih sama yaah, kaya tempat kita sehari-hari, duduk melingkar
sambil berdiskusi entah apa itu topiknya, ada juga yang berkelompok memainkan
musik, ada juga yang hendak menjauh, entah kemana. Pulang atau ngeluyur. Tapi
kok suasananya beda yaah, ngeliat mereka beda ajah.” Musi diam, duduk disamping
pohon yang ditanam di dalam pot permanen sambil menerawang dekat dan jauh yang
bisa ditangkap oleh teropong yang bisa berkaca-kaca itu.
Alil malah
sibuk sendiri, membuka tasnya, mencari ketupatnya, apakah masih layak dimakan
lagi, mencari mie goreng buatan ibunya yang terbungkus plastik dan tak menggoda
itu.
“Kamu mau
makan?” Tanya Musi agak kesal, pidatonya tadi tak Alil gubris.
“Laper Mus.”
***
Mentari terus bersinar, tapi esok hari baru nampak
sinarnya. Kini, giliran sang bulan dan bintang yang seharusnya menyaksikan
kami. Tapi, mereka pun enggan, seperti langkah kami yang sudah begitu enggan
menapaki jalanan yang semakin diinjak, semakin terasa tak asing. Semalam tak
tidur, mungkinkah malam ini pun akan sama. Kami hanya bisa mengistirahatkan
mulut kami. Terletih diam. Terpaku bisu.
Masjid.
Selalu. Masjid.
“Katanya mau
ke Rumah Sakit?”
“Kita cari
makan malam dulu yuuk Lil, tapi ada baiknya kita tunggu sampai sholat isya dulu
di sini.”
“Ehm.” Alil
hanya mengangguk dan mendehem. Badannya masih berbalut mukena putih yang ia
bawa sendiri dari rumah, duduknya menyila dan dengan seksama ia dengarkan
tausiyah dari Pak Ustadz yang tak pernah ia kenal.
Masjid
selalu menjadi tempat spesial kami dan tempat yang paling mewah yang pernah
kami singgahi di kota ini, di tanah timur Jawa ini. Kami perlu menaiki tangga
setinggi dua meter lebih untuk bisa beribadah di sini. Tempat wudlunya disertai
kamar mandi dan WC yang seakan mengerti jika kami akan datang untuk hari ini. Kami
yang tak punya tujuan jelas entah kemana, harus mengistirahatkan patung yang
lelah ini. Seharusnya harus.
Alil
terdiam, membisu setelah sholat isya. Masih ia kenakan mukenanya, masih pula ia
duduk bersila. Di liriknya handphonenya, sms yang masuk hanya dari
keluarganya. Betapa ia termenung dalam jurang perasaan, telah mengkhawatirkan
kedua orang tuanya, dan baru ia sadari sedikit. Tiba-tiba teringat
kebiasaannya, tak bisa kiranya hanya dengan setengah jam ia bisa sampai di
rumah, seperti kesehariannya. Tak taulah mau apa Alil dengan handphonenya,
tak ingin ia balas sms-smsnya, dan tak bernafsu lagi bertanya pada google.
Ingin ia lirik akun sosial media yang biasa ia jadikan tempat bermain dan berselancar
tak kenal waktu, lelah juga jarak. Orang-orang itu masih hidup disana, Alil
sedikit lega, dan petualangan ini jauh lebih hidup dari hidupnya sosial media
itu. Alil matikan handphonenya, baterainya tinggal satu, dan segera ia
jejerkan dengan handphone Musi yang
sudah sedari tadi siang tak berbaterai karena tak dibawa chargernya olehnya.
Sementara di
pojok belakang pintu tengah, berdampingan dengan jendela masjid. Disitulah Musi
membuka al-qur’an dan dibacanya dalam waktu yang tak sebentar. Ia tak pedulikan
Alil di tempat sholat semula, ia terus membaca, membaca, dan membaca. Bahkan
sampai Alil menghampirinya, Alil hanya sanggup diam seribu bahasa di belakang
Musi.
Musi bilang
hendak makan, hendak ke Rumah sakit yang berjejeran itu, dan nampaknya kata
hanyalah kata. Seperti nyanyian. Nyanyian hanyalah nyanyian, dan lirik hanyalah
lirik saja. Begitulah adanya. Alil tak bisa menyuarakan suara hatinya yang
mulai membangkang dari kata iya yang hanya sanggup Alil katakan. Raganya
terlalu rapuh meskipun jauh lebih tinggi dan gede dibandingkan Musi. Hatinya
juga terlalu ciut, apalagi nyalinya. Ia takut, di kegelapan malam, nan jauh
dari rumah, jauh dari orang tua, uang pun hanya pas-pasan. Untuk apa perjalanan
ini, Alil gusar dalam hatinya, dan Musi seakan tak sanggup memahaminya, Musi
mengira Alil kuat.
Lampu masjid
dimatikan, dan kami tak punya alasan untuk tetap tinggal. Makan dan ke Rumah
Sakit. Alil berharap rencananya tak gagal.
Berjalan,
berjalan, dan berjalan. Lampulah yang mewakilkan bulan dan bintang, saling
bersinar, saling berkerlap-kerlip menghias kota yang tak pernah tidur ini,
mungkin patung-patung bernyawa inipun hendak menyamai kota ini. Tak pernah
tidur.
Makan pun
tidak, Musi terlalu banyak beralasan, sementara Alil hanya diam mengangguk dan
menggeleng saja meski hati punya banyak sekali guratan-guratan rasa yang
kiranya Musi perlu tahu. Musi tak pernah tahu, dan Musi tak pernah mau
memahaminya, atau Alil yang hanya ingin selalu dipahami lebih dan lebih,
seperti yang ia dapatkan di keluarganya. Rasa-rasanya Gubeng telah kami kitari,
dan kami masih dengan perut kosong, pakaian kusut, dan muka yang banyak
tekukan. Kami lelah, dan sangat lelah. Alil tak sekuat Musi. Kami
mengistirahatkan obrolan kami sepanjang kaki kami terus melangkah, dan Alil
hanyalah patung yang mengikuti Musi.
Tak ada
sendok berisi yang bisa kami suapkan, tak ada kasur tempat kami berbaring. Tak
ada senyum yang bisa dilukis, juga tak sanggup membiarkan mata ini terpejam
meski telah cukup lama berkedip dalam lelah. Hanyalah ada jalan selebar
setengah meter, dengan pemandangan gedung yang semakin kami hafal meski dalam
remang-remang lampu. Gurun itu seakan muncul lagi melewati sekolah SD tempat
ibu penjual es itu mencari nafkahnya. Hanya terlihat gerobog yang jauh dari kesan
bagus, padahal gedung-gedung bertingkat mengelilinginya. Memang, yang putih
selalu menjelaskan jika hitam itu ada. Dan kami hanya bisa menerawang, apa yang
bisa kami perbuat beberapa tahun mendatang. Kiranya, menopang kaki sendiri
sudah sanggup, wajib bagi kami mempedulikan wajah-wajah yang seperti ini. Dan
kami terus berjalan, dan Alil tak sanggup, dan ia hanya bisa membisu, benar
mematung, menjadi patung yang bernyawa.
Langkahnya
semakin gontai, jalan raya tetap ramai, dan kami hanyalah berdua yang berjalan.
Alil merunduk, dan terus merunduk.
“Untuk apa
perjalanan sejauh ini Mus, apa kita inginkan kesengsaraan? Berjalan malam-malam
begini, di pinggir jalan raya. Tak tau kita hendak apa, menunggu apa, mencari
apa. Adapun yang kita cari, kau tak menghendakinya. Lalu apa, sejauh kaki
melangkah, tak pernah kau dengar seperti apa yang kurasa, apa yang ingin
kukatakan? Satu kata yang kuucapkan, kau tak hiraukan. Katamu saja yang kau
ikuti. Mus, kau egois, egois. Beginilah jadinya kita. Langkahmu yang selalu
didepanku itu, sungguh cerminan dirimu, kau egois.”
Alil
tersedu. Ia menangis, merintih sepanjang jalan, dan lalu lalang kendaraan tak
pernah ia gubris. Kakinya sakit, kepalanya pusing, perutnya sungguh lapar, dan
badannya begitu lengket, penuh keringat, bahkan angin malam ikut mematung. Musi
tak kunjung memberikan pengertian, ia justru semakin membuatnya menitikkan air
mata, dan membuat langkahnya terasa berat penuh dengan beban berton-ton
kiranya. Ia terhenti. Tepat di jalan layang. Di sini, di atas sini, ia lihat
tempat ia bersama Musi berdiri menunggui Lin. Dan sebenarnya disitulah kita
salah melangkah, kita menyerah pada Lin yang tak tunduk pada kedatangan kita.
“Alil, Alil,
kau menangis…bukan maksudku tak menghiraukanmu, sungguh aku tak tau. Aku hanya
terlalu penasaran dengan petualangan kita ini. Aku sungguh ingin bertualang,
memang itu tujuan kita kan?”
Musi justru meninggalkan
tanya yang Alil tak bisa ia terima dalam hatinya. Biarpun begitu, Musi
menggandeng Alil, memapahnya jalan, berjalan, berjalan, dan berjalan lagi.
Langkah-langkah itu masih meninggalkan guratan di hati Alil, dan Musi tetap
kekeh menjelaskan seperti inilah seharusnya petualangan. Tapi Alil tak sanggup,
untuk tak mengatakan minta maaf, meskipun sebenarnya ia sendiri yang ingin
mendengarkan kata maaf dari Musi.
“Mus,
maafkan aku yang belum bisa jadi jiwa petualang, sebenarnya inilah yang
kuragukan ketika aku ragu hendak membeli tiket keberangkatan kita, tapi
sudahlah, aku hanya ingin minta maaf. Maaf Mus, maaf…aku belum sepertimu yang
sudah punya jiwa petualang.”
Sekata, demi
sekata, setetes demi setetes, segalanya rapuh. Alil sungguh ingin pulang.
“Gak Lil,
jangan begitu, kita belajar bersama-sama dari perjalanan ini. Alil, cukuplah,
sudahlah, tak usah menangis dan tak perlu meminta maaf.”
Dan hanya
itu, kata-kata yang ia sampaikan, tak sekata dan sehati dengan Alil.
Malam
semakin larut, pemandangan yang tak indah, dan kamilah yang menjadi saksi kota
ini. Kota yang lelah tapi tak pernah tidur, seperti kami. Lelah, tapi tak
tidur. Di depan stasiun, di samping mini market, di depan jejeran mobil yang
parkir dan di depan pohon besar serta jalan raya yang tak kunjung sepi itu kami
duduk. Termenung, terdiam, terpaku dalam tatapan nanar. Kami berdua duduk
bersebelahan, seakan kami memang patung-patung yang bernyawa. Begitu banyak
orang bersliweran di depan kami dengan segala macam yang ada, dan kami hanyalah
saksinya. Dan kami hanyalah patung-patung yang bernyawa itu, yang tak pernah
bertukar kata, atau bahkan bertukar pandang saja mereka enggan. Mungkin, kami
hanya bisa terbebas dan aman, hanya dengan menjadi patung seperti ini.
Selanjutnya
pun kami perlu berjalan lagi, berjalan lagi, dan Alil hanya sanggup mengikuti
langkah Musi setelah perdebatan panjang yang tak menghasilkan apapun karena
kerasnya kemauan Musi. Kembali lagi menyusuri jalanan yang sudah tak asing bagi
sepatu-sepatu kami, dan tempat itu tak lain adalah masjid dengan tangga dua
meteran itu. Sholat shubuh disana, dan mandi pagi di sana, sedikit menyembuhkan
segala kesakitan yang ada. Kami pun berjalan lagi dan berjalan lagi, menyusuri
jalanan yang sama, tempat penjual es itu, gedung kantor itu, jalan layang itu.
Akhirnya, kami sampailah dalam keramaian stasiun, tak ragu kami ayunkan langkah
ke dalam. Ingin kami katakan, SEMANGAT PAGI.
“Semangat
pagi ular, mari kita lanjutkan perjalanan, memandang semesta, menyaksikan
patung-patung bernyawa lagi dibalik jendela kaca yang kusam, dan kau yang hanya
sebuah bola mata, saksi kami. Sambutlah kami!” Seperti itulah kiranya bunyi
kaki kami yang penuh dengan semangat pagi, tapi semangat untuk pulang, kembali.
“Wohooo
ngantriii yaah Mus?” Alil berusaha riang meski senyum yang ia sampaikan ada
sendu didalamnya. Bahkan matanya terlihat jelas sekali setelah semalaman
menangis.
“Aku ingin
pulang.” Alil mengatakannya lagi. Semangat pulang.
Kami hanya
melihat sekeliling kami, mereka berpakaian rapi, wangi dan segar bugar. Tiba-tiba mata kami hanya berpusat pada loket,
ketika urutan antrean sudah sampai pada kami.
“Maaf mba,
tiketnya habis, ada yang bisa saya bantu?” Begitu bunyinya setelah mengantri
panjang, dan mengantri sudah sedari tadi malam, begini pula hasilnya. Haruskah
kita menunggu seminggu lagi disini karena tiketnya baru akan ada seminggu lagi,
kecuali dngan tiket yang lain dengan prosedur yang lain pula.
“Mus,
tiketnya habis, haahaa.” Alil melepaskan tawa, tawa kegerangan atas semua ini.
“Haahaa kita
nge-gembel disini.” Jawab Musi singkat.
Kami keluar
dari stasiun, kami duduk di depan, dalam wajah yang kuyu. Nampaknya semangat
pagi bak balon yang dipompa lalu dibiarkan tanpa ikatan. Tanpa menunggu satu
menit, ia akan jatuh, menyusut.
“Tak cukupkah
air mataku semalam?” Tanya Alil lirih.
“Bukankah
segembel gembelnya gembel pun, tak pernah kulihat mereka menangis.” Musi seakan
tak mengerti Alil.
“Iya, gembel
tak pernah menangis, sesusah apapun kehidupannya, sesengsara apapun keadaannya,
karena tak ada yang pernah peduli padanya.” Alil mencoba kuat meski matanya
berkaca-kaca. ”iya, air mata itu, ia bukanlah air mata. Tapi ia tetap air mata,
ia hanyalah air mata gembel.” Sejenak Alil melirik Musi yang sedang duduk
disampingnya, lalu melanjutkannya kembali. “Mus, kau belum mengerti aku, Musi
masih egois,” Alil segera mengusap air mata yang hendak jatuh ke pipinya.
“Dan kau pun
belum memahami aku, Lil.”
Ular itu
yang mengantarkannya ke tempat ini dan ular itu juga yang mengantarkannya
kembali, dan sepulangnya, ular itu melata begitu lambat tanpa disaksikan si bola
mata dari timur dan patung-patung yang bernyawa seakan ikut membisu tanpa
menyaksikan ular ini melata dari timur ke barat.
No comments: