Air Mata Gembel

Sunday, March 30, 2014







Nyanyian hanyalah nyanyian dan lirik hanyalah sekadar lirik. Begitulah adanya. Laksana ular yang panjangnya bukan kepalang ini, mulai melata di area tengah menuju tanah timur sana, dalam ranah waktu 9 jam tidak kurang. Sesosok gadis berkerudung biru, duduk dalam tenang, menyaksikan patung-patung bernyawa yang turut menyaksikan kepergian ular ini. Alil tak sendiri duduk termenung hening, disebelahnya ada Musi, yang dari ujung kerudung sampai sandal yang ia pakai, bernuansa hitam. Sahabat baiknya itu, ikut mematung menyaksikan patung-patung bernyawa dari kaca jendela kusam tempat ia akan menyandarkan kepalanya. Tak sama, memang tak sama, tapi setidaknya sewaktu kami kecil dulu, pernah membayangkan seperti apa bunyi kereta api itu. Meskipun, hanya lewat nyanyian penggembira, yang kini ikut mematung di antara lagu anak-anak dan semakin tak bernyawa. Benar, kami hanyalah ekor bernomor 90’an yang beruntung dan turut gembira dari nyanyian yang kini mematung itu.

Ular ini melata dan terus melata. Tapi sesekali berhenti, membungkukan badan, mempersilakan yang lebih berwibawa untuk lewat terlebih dahulu. Kami seakan dipaksa memahaminya dan kami hanyut dalam canda tawa, bergembira bagai anak kecil yang begitu riang menikmati masa-masa bermain. Sesekali Musi melihat ke luar jendela, didapati cahayanya mengintip kami yang sedang bermain. Tak heran, patung-patung bernyawa mulai bermunculan lagi sepanjang ular ini melata. Melata mengejar sebuah bola mata penuh dengan sorotan cahaya keemasan di ufuk timur sana, yang dengan genitnya mengintip gerak-gerik kami. Alil pun ikut melirik, menonton para patung yang menjadi fatamorgana dari porak-porandanya hasil hitam di atas kertas, hingga turut tergoda lantaran fiksi belaka.

“Mus, tidakkah kau kira ular ini berbahaya? Jika iya, lantas kenapa patung-patung bernyawa itu begitu berani berjejeran langsung dengan hewan bertipe karnivora ini? Tidakkah mereka takut?” Alil memandang wajah sahabatnya sebentar, menghela napas, lalu melanjutkannya lagi.  

“Bahkan tak urung jua palang-palang ini memisahkan diantara mereka? Lihat! Patung yang satu itu, masih begitu lugu, mengenakan seragam bak bendera pusaka kita, berjalan di pinggiran selokan selebar 50 cm tidak kurang. Di ujung selokan itu, langkahnya akan terhenti, jalannya tertabrak ular ini yang sedang melata. Aku takut. Apa yang mungkin terjadi? jika ular ini sedang berbisa, sementara patung itu sedang dalam kondisi yang lemah. Bahkan palang-palang hanya menjadi buah bibir yang dipertontonkan oleh ribuan patung lain, tapi tak kunjung terealisasikan. Bahkan miris. Sungguh miris sekali. Jika sebuah tanggung jawab  justru bak bola pingpong yang dipukul hanya akan berpantul ke arah sana dan sini. Tak kusangka Mus, perwajahan ini begitu mengerikan, bagaimana jika patung itu segera dimangsa si ular ini. Apakah tubuhnya masih akan dibalut warna bendera pusaka kita atau hanya akan menyisakan satu warna saja? Bukan putih tentunya, ia terlalu polos tertumpahkan darah sisa ular yang memangsa patung.”

Alil menghela napas panjang seraya menunggu Musi menggerakan bibirnya, dan ular ini melata, dan terus melata ke arah timur.

“Lebih baik kamu simpan dulu coretan di bibirmu itu.” Musi melirik Alil, sejenak diam lalu melanjutkan kembali. “sejauh ular ini melata, akan ada lebih banyak lagi patung-patung yang akan berbicara padamu, miniatur-miniatur yang akan menyisakan amplop disakumu. Bukan uang. Tapi sepucuk surat yang akan terus meminta balasan, dan juga tanah timur, yang tak sabar akan menjumpai kita dengan segala kejutan yang tak pernah kita tahu.”

Musi melemparkan sebuah senyuman tapi Alil malah tertawa. Musi tak bisa menahan gelagak tawa, menyadari dirinya berbicara begitu serius. Tak seperti biasanya.

“Yuuk kita sarapan dulu, mie goreng buatan ibumu itu bakalan mubazir kalo nda dimakan. Udah bangun pagi-pagi persiapin semuanya untuk kamu lho.” Musi mulai membuka kotak makannya.

***
Alil merasa, sungguh ingin menikmati setiap detik dalam perjalanan ini, menuju tanah timur sana yang belum pernah ia kunjungi sejengkal kakipun sebelumnya. Entahlah. Alil seakan hanya ingin menikmatinya bersama sahabatnya itu, yang di depan mereka, di samping mereka, atau bahkan yang mondar mandir di hadapan mereka, sudah dianggapnya bagian dari tawa kami. Seringkali kami cengar-cengir dan memecah tawa melihat begitu hidupnya ular ini, meski hanya berlebar kurang dari 5m, tapi layaknya jalan raya yang setiap detik selalu ada yang lewat.

“Sarapan sarapan sarapan.” Kata itu terus kami dengar dan mata kami seakan tak enggan menengok pemilik suara itu, hingga membuat mata kami lelah menggerakkan bola mata. Kami pun tak segan menirukan gayanya yang cukup melelahkan telinga dan ingin tahu sebenarnya berapa harga sarapan itu, karena tidak mungkin itu gratis.

Waktu tak pernah setia pada hati kita, ia selalu selingkuh meninggalkan kita. Alil dan Musi memandang keluar jendela kusam ini, mata ini tertuju pada persawahan yang kering dan rumah adat yang sepanjang jalan, semuanya berjejer sama. Tapi dilihatnya lagi, ternyata berbeda dengan rumah adat mereka. Tentu saja, karena tanah timur sudah semakin dekat, dan bola mata keemasan yang pagi tadi bertengger di ufuk timur, tak lagi mengintip mereka. Bola mata itu justru menyaksikan mereka dengan terang-terangan, sinarnya tak lagi malu – malu bahkan jadi garang. Udara menjadi semakin panas karenanya, dan juga karena penjaja yang mulai berkeliaran tanpa lelah menyuarakan apa yang dijajakannya.

“Es teh, es teh, es teh? Nasi rames, nasi gudeg, nasi telor? Yang dingin, yang dingin yang dingin?” Suara-suara itu seakan kumpulan playlist kami dalam mp3 yang telah disediakan oleh ular ini, dan selalu diputar, putar lagi dan putar lagi.

Tak ada suara panjang lagi, tak ada suara yang sedang menjajakan sesuatu, tapi ada sesuatu di atas pangkuannnya. Orang itu dengan sengaja dan sadar telah meletakkannya, tidak hanya pada Alil, tapi setiap tiga orang sekali. Setelah berjalan agak jauh dari Alil duduk, orang itu baru bersuara menjajakan buku-buku yang sudah disebarkan pada setiap orang yang ia acak itu. Suasana seperti ini justru membuat mereka bergurau dan menirukan setiap penjaja yang dengan cepat mereka hafalkan mukanya, dan sekali mata mereka melihatnya, cukuplah mereka saling memandang dan menyuarakan apa yang hendak penjaja itu suarakan dengan nada yang sama persis. Mereka tertawa lepas bersama, dan seakan tak mempedulikan gerahnya suasana di perut ular ini, tak sama seperti yang lainnya.

Bola mata itu seakan menjepret dari atas sana, dan waktu dhuhur telah menyapa kami di area utama tanah timur. Sudah menjadi kewajiban bagi kami untuk mengingat sang Pencipta dengan empat rakaat di siang hari ini. Rupanya ular inipun sujud pada yang Maha Kuasa. Sembari menunggu ular ini selesai sujud, kami keluar dari perut si ular. Sebuah mushola ada di ujung, dan mata kami berdua langsung menatapnya tanpa ragu. Kami harus memastikan terlebih dahulu seberapa lama ular itu akan bersujud, dan kami dapatkan jawaban itu. Tak kurang dari 10 menit, kami harus bersama ular itu lagi. Alil yang terkenal dengan gerakannya yang super lelet, seolah mendapatkan ekstra bonus kecepatan. Musi pun ikut tergesa-gesa. Jika kami tertinggal, maka tak taulah harus kemana lagi kami berdua.

Ular ini mulai mengeluarkan gasnya, asapnya mengepul, dan baru Alil sadari, ia sedang berada di atas tanah timur Jawa. Sepertiga akhir perjalanan kami tadi, lebih banyak dihabiskan dengan keluhan suasana yang semakin panas, keringat bertaburan di sana sini, dan suara riang tadi, riuhnya para penjaja, tak akan ada lagi kami dengar. Kami gendong tas kami masing-masing, kami langkahkan kaki ini menjauh dari ular ini. Selalu. Mushola adalah tempat pertama yang kami cari, nampaknya hari hampir sore. Duduk selama 9 jam lebih, membuat kami perlu meregangkan kaki dan mushola yang sepi seolah mengerti jika kami lelah.

“Hahaha, mus liat nii, bajuku kaya gak disetrika sama sekali yaah. Hm hm hm badanku lengket lagi. Capek deh mus, eh tapi kita udah sampai niih, di tanah timur Jawa tujuan kita, Surabaya muuus.”

Alil mencoba melunakkan suasana, padahal dirinya sendiri berselimutkan keraguan yang sangat, pertama kalinya ia pergi sejauh ini hanya berdua bersama sahabatnya. Entahlah untuk apa.

“Kita bener nekat yaah, baru diomongin kemaren sore, baru beli tiket kemarin sore. Eeh sekarang udah di tempat yang sedari kemaren, nyampe semaleman gak bisa tidur. Yaa, cuma buat mengkhayal seperti apa tempat ini.” Musi menghela napas panjang, lalu menyeret tanganku. “keluar dari stasiun yuuk.”

Stasiun ini besar, juga karena letaknya di jantung kota besar. Biarpun masih setanahair, rasa-rasanya, orangnya nampak berbeda. Mereka terlihat asing. Kami dengarkan logatnya, bahasanya, kami mengintai cara menghormatinya, cara memperhatikannya. Benar, tak sama. Kami seakan benar berada di tengah patung-patung yang bernyawa, atau sekarang justru kamilah yang menjadi patung-patung bernyawa itu.

Bukan angkutan kota namanya, tapi Lin. Kami berdua hendak menunggu Lin yang akan mengantarkan kami ke Jl. Ketintang. Tak heran sesore ini, Lin pun bisa merasakan lelah. Kami tunggu, dan tunggu, tapi tak nampak pula. Jalan raya ini, benar ramai, dan di bawah jalan layang itu, pusat kemacetan tak terkendali. Sore tak akan pernah setia menemani patung-patung lesu, letih, kusut, dan sangat lapar ini. Bahkan udara semakin ganas meraungi badan yang semakin berkeringat ini. Lantas, apa yang pantas kami tunggu di sini, sedang apa kami ini. Benar benar patung. Patung-patung bernyawa.

Kata-kata kami tak lagi hidup, tenggorokan kering, pakaian basah terhujani keringat. Sayang beribu sayang, Lin itu muncul dengan kerumunan yang begitu tak indah.

“Mus, kita ikut atau tidak?” Suaranya hampir tak terdengar.

Hanya dengan geleng-geleng kepala, kami langkahkan kaki menjauh dari tempat kami berdiri, dan saatnya nanti tempat ini pula yang akan setia menopang kaki ini berdiri dan rela diinjak-injak oleh dua pasang kaki dari patung-patung yang bernyawa ini.

Jalan Ketintang. Gagal. Tapi google satu-satunya pemandu kami, ia tak pernah lelah sekalipun menjawab seaneh apapun pertanyaan kami. Senja. Ia bahkan lelah memperhatikan patung yang berkeliaran ini, tapi ia jugalah yang mengantar kami ke tempat kunjungan kami yang kedua. Orang banyak menyebutkan sebagai wadah yang melahirkan para agen perubahan. Tempat ini, katanya yang tertua di tanah surga ini, katanya. Melewati jalan layang yang sejak tadi melirik kami selama kami sedang menunggu Lin, melewati Rumah Sakit yang berjejeran, melewati Kantor-kantor dengan gedung yang cukup megah, tak kunjung dapat kami jumpai di tempat biasa kami tinggal, meskipun dengan nama kantor yang sama.

Berjalan, berjalan, dan berjalan. Beruntung, mulut ini hanya ada di muka, tak bisa kiranya kaki ini punya mulut, pasti tak hentinya berkicau. Jalan raya ini, mungkin dua kali lebarnya dari jalan raya yang biasa kami lihat. Lebar, sungguh Lebar. Uh, tetap saja penuh. Sesak. Macet. Bukan kami terganggu langkahnya, pinggiran jalan selebar setengah meter sudah cukup bagi kami. Lantas, pemandangan ini melelahkan dan menggerahkan. Biarpun begitu, mata kamilah yang saling berbicara dan mengobrol. Hingga bola mata kami jatuh pada pandangan yang sama.

“Yuuuk…..” Kami berdua mendekatinya.

Pandangan yang sama, menyatukan rasa yang sama pula. Mata kami sama-sama tertuju pada sosok ibu penjual es yang berada di dalam sekolah SD Kristen itu. Kami masuk tanpa permisi pada pintu gerbang, kami pandangi satu persatu setiap wadah yang ada. Biarpun kami saling mengantri berasama anak-anak SD, tak sekalipun kami lirik ada kesenjangan usia diantara kami. Tak peduli. Gurun ini, harus segera dihujani.

“Mbaknya mau kemana? Bukan orang sini yaah?” Ibu penjual es itu nampaknya paham betul, kami ini hanyalah, pendatang, wisatawan, gelandangan, atau nge-gembel ke sini. Terserahlah.

“Mau ke situ aja Bu, tengok-tengok saja.” Alil jawab sambil tersenyum-senyum.

Kami hanya kehilangan uang dua ribu rupiah saja, dengan seribu Alil bisa mengguyur gurun saharanya, dan Musi bisa menghujani gurun gobinya. Tegukan pertama benar-benar mereka nikmati, dan obrolan itu hidup kembali menggantikan senja yang sudah bersembunyi di rongga sebelah barat sana. Tegukan demi tegukan, langkah demi langkah, kami ada di sini.

“Paling tidak, kita kunjungi tempat ini, katanya yang tertua lho. Katanya siih.”

“Pasti kata google kan Lil, iya kaan? Haha. Lil….” Alil mendehem dipanggil Musi. “Keliatannya sih sama yaah, kaya tempat kita sehari-hari, duduk melingkar sambil berdiskusi entah apa itu topiknya, ada juga yang berkelompok memainkan musik, ada juga yang hendak menjauh, entah kemana. Pulang atau ngeluyur. Tapi kok suasananya beda yaah, ngeliat mereka beda ajah.” Musi diam, duduk disamping pohon yang ditanam di dalam pot permanen sambil menerawang dekat dan jauh yang bisa ditangkap oleh teropong yang bisa berkaca-kaca itu.

Alil malah sibuk sendiri, membuka tasnya, mencari ketupatnya, apakah masih layak dimakan lagi, mencari mie goreng buatan ibunya yang terbungkus plastik dan tak menggoda itu.

“Kamu mau makan?” Tanya Musi agak kesal, pidatonya tadi tak Alil gubris.

“Laper Mus.”
***
Mentari terus bersinar, tapi esok hari baru nampak sinarnya. Kini, giliran sang bulan dan bintang yang seharusnya menyaksikan kami. Tapi, mereka pun enggan, seperti langkah kami yang sudah begitu enggan menapaki jalanan yang semakin diinjak, semakin terasa tak asing. Semalam tak tidur, mungkinkah malam ini pun akan sama. Kami hanya bisa mengistirahatkan mulut kami. Terletih diam. Terpaku bisu. 
Masjid. Selalu. Masjid.

“Katanya mau ke Rumah Sakit?”

“Kita cari makan malam dulu yuuk Lil, tapi ada baiknya kita tunggu sampai sholat isya dulu di sini.”

“Ehm.” Alil hanya mengangguk dan mendehem. Badannya masih berbalut mukena putih yang ia bawa sendiri dari rumah, duduknya menyila dan dengan seksama ia dengarkan tausiyah dari Pak Ustadz yang tak pernah ia kenal.

Masjid selalu menjadi tempat spesial kami dan tempat yang paling mewah yang pernah kami singgahi di kota ini, di tanah timur Jawa ini. Kami perlu menaiki tangga setinggi dua meter lebih untuk bisa beribadah di sini. Tempat wudlunya disertai kamar mandi dan WC yang seakan mengerti jika kami akan datang untuk hari ini. Kami yang tak punya tujuan jelas entah kemana, harus mengistirahatkan patung yang lelah ini. Seharusnya harus.

Alil terdiam, membisu setelah sholat isya. Masih ia kenakan mukenanya, masih pula ia duduk bersila. Di liriknya handphonenya, sms yang masuk hanya dari keluarganya. Betapa ia termenung dalam jurang perasaan, telah mengkhawatirkan kedua orang tuanya, dan baru ia sadari sedikit. Tiba-tiba teringat kebiasaannya, tak bisa kiranya hanya dengan setengah jam ia bisa sampai di rumah, seperti kesehariannya. Tak taulah mau apa Alil dengan handphonenya, tak ingin ia balas sms-smsnya, dan tak bernafsu lagi bertanya pada google. Ingin ia lirik akun sosial media yang biasa ia jadikan tempat bermain dan berselancar tak kenal waktu, lelah juga jarak. Orang-orang itu masih hidup disana, Alil sedikit lega, dan petualangan ini jauh lebih hidup dari hidupnya sosial media itu. Alil matikan handphonenya, baterainya tinggal satu, dan segera ia jejerkan  dengan handphone Musi yang sudah sedari tadi siang tak berbaterai karena tak dibawa chargernya olehnya.

Sementara di pojok belakang pintu tengah, berdampingan dengan jendela masjid. Disitulah Musi membuka al-qur’an dan dibacanya dalam waktu yang tak sebentar. Ia tak pedulikan Alil di tempat sholat semula, ia terus membaca, membaca, dan membaca. Bahkan sampai Alil menghampirinya, Alil hanya sanggup diam seribu bahasa di belakang Musi.

Musi bilang hendak makan, hendak ke Rumah sakit yang berjejeran itu, dan nampaknya kata hanyalah kata. Seperti nyanyian. Nyanyian hanyalah nyanyian, dan lirik hanyalah lirik saja. Begitulah adanya. Alil tak bisa menyuarakan suara hatinya yang mulai membangkang dari kata iya yang hanya sanggup Alil katakan. Raganya terlalu rapuh meskipun jauh lebih tinggi dan gede dibandingkan Musi. Hatinya juga terlalu ciut, apalagi nyalinya. Ia takut, di kegelapan malam, nan jauh dari rumah, jauh dari orang tua, uang pun hanya pas-pasan. Untuk apa perjalanan ini, Alil gusar dalam hatinya, dan Musi seakan tak sanggup memahaminya, Musi mengira Alil kuat.

Lampu masjid dimatikan, dan kami tak punya alasan untuk tetap tinggal. Makan dan ke Rumah Sakit. Alil berharap rencananya tak gagal.

Berjalan, berjalan, dan berjalan. Lampulah yang mewakilkan bulan dan bintang, saling bersinar, saling berkerlap-kerlip menghias kota yang tak pernah tidur ini, mungkin patung-patung bernyawa inipun hendak menyamai kota ini. Tak pernah tidur.

Makan pun tidak, Musi terlalu banyak beralasan, sementara Alil hanya diam mengangguk dan menggeleng saja meski hati punya banyak sekali guratan-guratan rasa yang kiranya Musi perlu tahu. Musi tak pernah tahu, dan Musi tak pernah mau memahaminya, atau Alil yang hanya ingin selalu dipahami lebih dan lebih, seperti yang ia dapatkan di keluarganya. Rasa-rasanya Gubeng telah kami kitari, dan kami masih dengan perut kosong, pakaian kusut, dan muka yang banyak tekukan. Kami lelah, dan sangat lelah. Alil tak sekuat Musi. Kami mengistirahatkan obrolan kami sepanjang kaki kami terus melangkah, dan Alil hanyalah patung yang mengikuti Musi.

Tak ada sendok berisi yang bisa kami suapkan, tak ada kasur tempat kami berbaring. Tak ada senyum yang bisa dilukis, juga tak sanggup membiarkan mata ini terpejam meski telah cukup lama berkedip dalam lelah. Hanyalah ada jalan selebar setengah meter, dengan pemandangan gedung yang semakin kami hafal meski dalam remang-remang lampu. Gurun itu seakan muncul lagi melewati sekolah SD tempat ibu penjual es itu mencari nafkahnya. Hanya terlihat gerobog yang jauh dari kesan bagus, padahal gedung-gedung bertingkat mengelilinginya. Memang, yang putih selalu menjelaskan jika hitam itu ada. Dan kami hanya bisa menerawang, apa yang bisa kami perbuat beberapa tahun mendatang. Kiranya, menopang kaki sendiri sudah sanggup, wajib bagi kami mempedulikan wajah-wajah yang seperti ini. Dan kami terus berjalan, dan Alil tak sanggup, dan ia hanya bisa membisu, benar mematung, menjadi patung yang bernyawa.

Langkahnya semakin gontai, jalan raya tetap ramai, dan kami hanyalah berdua yang berjalan. Alil merunduk, dan terus merunduk.

“Untuk apa perjalanan sejauh ini Mus, apa kita inginkan kesengsaraan? Berjalan malam-malam begini, di pinggir jalan raya. Tak tau kita hendak apa, menunggu apa, mencari apa. Adapun yang kita cari, kau tak menghendakinya. Lalu apa, sejauh kaki melangkah, tak pernah kau dengar seperti apa yang kurasa, apa yang ingin kukatakan? Satu kata yang kuucapkan, kau tak hiraukan. Katamu saja yang kau ikuti. Mus, kau egois, egois. Beginilah jadinya kita. Langkahmu yang selalu didepanku itu, sungguh cerminan dirimu, kau egois.”

Alil tersedu. Ia menangis, merintih sepanjang jalan, dan lalu lalang kendaraan tak pernah ia gubris. Kakinya sakit, kepalanya pusing, perutnya sungguh lapar, dan badannya begitu lengket, penuh keringat, bahkan angin malam ikut mematung. Musi tak kunjung memberikan pengertian, ia justru semakin membuatnya menitikkan air mata, dan membuat langkahnya terasa berat penuh dengan beban berton-ton kiranya. Ia terhenti. Tepat di jalan layang. Di sini, di atas sini, ia lihat tempat ia bersama Musi berdiri menunggui Lin. Dan sebenarnya disitulah kita salah melangkah, kita menyerah pada Lin yang tak tunduk pada kedatangan kita.

“Alil, Alil, kau menangis…bukan maksudku tak menghiraukanmu, sungguh aku tak tau. Aku hanya terlalu penasaran dengan petualangan kita ini. Aku sungguh ingin bertualang, memang itu tujuan kita kan?”

Musi justru meninggalkan tanya yang Alil tak bisa ia terima dalam hatinya. Biarpun begitu, Musi menggandeng Alil, memapahnya jalan, berjalan, berjalan, dan berjalan lagi. Langkah-langkah itu masih meninggalkan guratan di hati Alil, dan Musi tetap kekeh menjelaskan seperti inilah seharusnya petualangan. Tapi Alil tak sanggup, untuk tak mengatakan minta maaf, meskipun sebenarnya ia sendiri yang ingin mendengarkan kata maaf dari Musi.

“Mus, maafkan aku yang belum bisa jadi jiwa petualang, sebenarnya inilah yang kuragukan ketika aku ragu hendak membeli tiket keberangkatan kita, tapi sudahlah, aku hanya ingin minta maaf. Maaf Mus, maaf…aku belum sepertimu yang sudah punya jiwa petualang.”

Sekata, demi sekata, setetes demi setetes, segalanya rapuh. Alil sungguh ingin pulang.

“Gak Lil, jangan begitu, kita belajar bersama-sama dari perjalanan ini. Alil, cukuplah, sudahlah, tak usah menangis dan tak perlu meminta maaf.”

Dan hanya itu, kata-kata yang ia sampaikan, tak sekata dan sehati dengan Alil.

Malam semakin larut, pemandangan yang tak indah, dan kamilah yang menjadi saksi kota ini. Kota yang lelah tapi tak pernah tidur, seperti kami. Lelah, tapi tak tidur. Di depan stasiun, di samping mini market, di depan jejeran mobil yang parkir dan di depan pohon besar serta jalan raya yang tak kunjung sepi itu kami duduk. Termenung, terdiam, terpaku dalam tatapan nanar. Kami berdua duduk bersebelahan, seakan kami memang patung-patung yang bernyawa. Begitu banyak orang bersliweran di depan kami dengan segala macam yang ada, dan kami hanyalah saksinya. Dan kami hanyalah patung-patung yang bernyawa itu, yang tak pernah bertukar kata, atau bahkan bertukar pandang saja mereka enggan. Mungkin, kami hanya bisa terbebas dan aman, hanya dengan menjadi patung seperti ini.

Selanjutnya pun kami perlu berjalan lagi, berjalan lagi, dan Alil hanya sanggup mengikuti langkah Musi setelah perdebatan panjang yang tak menghasilkan apapun karena kerasnya kemauan Musi. Kembali lagi menyusuri jalanan yang sudah tak asing bagi sepatu-sepatu kami, dan tempat itu tak lain adalah masjid dengan tangga dua meteran itu. Sholat shubuh disana, dan mandi pagi di sana, sedikit menyembuhkan segala kesakitan yang ada. Kami pun berjalan lagi dan berjalan lagi, menyusuri jalanan yang sama, tempat penjual es itu, gedung kantor itu, jalan layang itu. Akhirnya, kami sampailah dalam keramaian stasiun, tak ragu kami ayunkan langkah ke dalam. Ingin kami katakan, SEMANGAT PAGI.

“Semangat pagi ular, mari kita lanjutkan perjalanan, memandang semesta, menyaksikan patung-patung bernyawa lagi dibalik jendela kaca yang kusam, dan kau yang hanya sebuah bola mata, saksi kami. Sambutlah kami!” Seperti itulah kiranya bunyi kaki kami yang penuh dengan semangat pagi, tapi semangat untuk pulang, kembali.

“Wohooo ngantriii yaah Mus?” Alil berusaha riang meski senyum yang ia sampaikan ada sendu didalamnya. Bahkan matanya terlihat jelas sekali setelah semalaman menangis.

“Aku ingin pulang.” Alil mengatakannya lagi. Semangat pulang.

Kami hanya melihat sekeliling kami, mereka berpakaian rapi, wangi dan segar bugar.  Tiba-tiba mata kami hanya berpusat pada loket, ketika urutan antrean sudah sampai pada kami.

“Maaf mba, tiketnya habis, ada yang bisa saya bantu?” Begitu bunyinya setelah mengantri panjang, dan mengantri sudah sedari tadi malam, begini pula hasilnya. Haruskah kita menunggu seminggu lagi disini karena tiketnya baru akan ada seminggu lagi, kecuali dngan tiket yang lain dengan prosedur yang lain pula.

“Mus, tiketnya habis, haahaa.” Alil melepaskan tawa, tawa kegerangan atas semua ini.

“Haahaa kita nge-gembel disini.” Jawab Musi singkat.

Kami keluar dari stasiun, kami duduk di depan, dalam wajah yang kuyu. Nampaknya semangat pagi bak balon yang dipompa lalu dibiarkan tanpa ikatan. Tanpa menunggu satu menit, ia akan jatuh, menyusut.

“Tak cukupkah air mataku semalam?” Tanya Alil lirih.

“Bukankah segembel gembelnya gembel pun, tak pernah kulihat mereka menangis.” Musi seakan tak mengerti Alil.

“Iya, gembel tak pernah menangis, sesusah apapun kehidupannya, sesengsara apapun keadaannya, karena tak ada yang pernah peduli padanya.” Alil mencoba kuat meski matanya berkaca-kaca. ”iya, air mata itu, ia bukanlah air mata. Tapi ia tetap air mata, ia hanyalah air mata gembel.” Sejenak Alil melirik Musi yang sedang duduk disampingnya, lalu melanjutkannya kembali. “Mus, kau belum mengerti aku, Musi masih egois,” Alil segera mengusap air mata yang hendak jatuh ke pipinya.

“Dan kau pun belum memahami aku, Lil.”

Ular itu yang mengantarkannya ke tempat ini dan ular itu juga yang mengantarkannya kembali, dan sepulangnya, ular itu melata begitu lambat tanpa disaksikan si bola mata dari timur dan patung-patung yang bernyawa seakan ikut membisu tanpa menyaksikan ular ini melata dari timur ke barat.

No comments:

Powered by Blogger.