Renungan Kuartal Pertama
Mataku lelah menatap layar sepanjang hari. Mungkin lebih
tepatnya layar kehidupan yang kelabu dan penuh debu, sekali berwarna seratus
kali tersesat.
Jari jemariku sungkan menari lincah di atas tuts keyboard.
Benar, sesungkan langkahku beranjak dari sarang yang tak mengenal waktu.
Aku menutup mataku. Masih kulihat kehidupan, hanya tanpa
suara. Visualisasi saja.
Kusimak pagi buta ini. Sepi tapi bukan berarti sunyi.
Kudengar nyanyian para aksara, lengkap dengan orkestranya. Harmonis.
Kuhirup udara yang enggan kulihat. Masih penuh. Sesak.
Tunggulah hingga jendela membuka passwordnya lima jam lagi!
Terlalu sering gerbang mataku menutup, dan terlalu sering
pula gerbang otomatis otakku membukanya kembali.
Kuingat. Seratus delapan hari yang lalu, awal yang baru
kuawali dengan cerita yang teramat basi. Menyedihkan. Memilukan.
Mengkhawatirkan.
Kala itu, duniaku tersangkut dan mendarat pada pulau
bernama fiksi. Aku terpukau dan terkesima. Lalu, aku tersesat di sana. Pintu
siluet kembali hadir menyapa dan bayangan gelap singgah bersama diriku.
Seratus delapan hari yang lalu. Mungkin seratus delapan
derajat pula peta yang kubawa tiba-tiba berubah seketika. Harapan tiga tahun
yang lalu setidaknya tergores karena luka yang dirasakan oleh peta itu. Seratus
delapan derajat berubah haluan.
Ah, fiksi membuatku kenal dengan sosok bernama hiperbol.
Aku bahkan terlalu akrab bermain dengannya.
Hayoo, inget taaruf. Lagi dan lagi sang introvertku
menyelamatkanku. Ia adalah sang hero.
Seratus delapan hari yang lalu. Bukan waktu yang pendek,
kan? Iya, selama itulah aku menyesatkan dan menenggelamkan diriku dalam lautan
fiksi. Terlalu lama kah?
Kali ini, mataku banyak berkedip. Jari-jariku semakin tak
terpisahkan, seolah kertas putih bertemu tinta hitam. Analogi yang kurang
pas. Lagi dan lagi. Begitulah aku. Mungkin.
Kenapa pagi ini tidak dingin? Katanya bulan bersinar tadi
malam? Bukankah bulan selalu bersama bintang? Bukankah karena ada bintang,
orang banyak berasumsi udara menjadi dingin?
Beginilah aku. Tersesat lama, jauh dan tenggelam terlalu
dalam di lautan fiksi membuat jiwaku terasa berpintu yang tak ingin kubiarkan
tertutup. Kutemukan jiwa itu. Biarlah.
Tapi hero menuntutku kembali ke duniaku seratus delapan
hari yang lalu, sebelum aku terlalu jauh tersesat seperti ini. Bukankah dulu
bahkan seratus lima puluh hari yang lalu, aku bahkan sudah sering singgah di
lautan ini. Tapi bukan tersesat. Iya, aku menenggelamkan diri delapan
puluh hari yang lalu melewati pintu siluet.
Bayang gelap, segelap dalamnya lautan tanpa adanya cahaya.
Terpuruk sakit, dilema hingga tak cukup bergairah untuk menjadi sang pemimpi.
Tapi aku temukan jiwa di lautan fiksi itu, aku punya nyawa
lagi meski tak sekuat dulu. Tapi sekuat dulu bukan berarti tak sehidup dulu.
Jiwaku lebih hidup sekarang meski hero ku sedikit nanar entah di mana.
Tak ada yang terlalu buruk dan tak ada yang sangat baik.
Bagaimana bisa? Kan baik dan buruk itu, termasuk kata sifat. Relatif.
Tergantung pembandingnya.
Pagi buta ini mendamaikanku, mendamaikan kenangan seratus
delapan hari yang lalu dengan mimpi-mimpi yang kupajang di dinding kamarku.
Sekarang sedang menatapku sinis, meminta teman lebih banyak, impian yang lebih
banyak lagi. Dinding impian. Kertas bujur sangkar 5x5 cm menjadi mayoritas penghuninya.
Penghuni terpadat di kota bernama dinding. Tapi aku senang melihatmu, kau saksi
dari apa yang tercantum, sekaligus pembuktian bagaimana aku meraih apa yang aku
cantumkan. Terimakasih, kau telah menjadi sang hero ku dan kau juga
menghidupi jiwaku. Saatnya nanti, akan tiba kala aku membicarakan hatiku. UN
saja tertulis, dokumen sangat rahasia. How about my heart. Really
Secret. Really it is.
Mari bermimpi. BREAK THE LIMIT!
Keep on writing! #One
Day One Writing
No comments: