Untukku, Surat Jogja Pagi

Wednesday, April 30, 2014


Sebuah tulisan berita sudah kukirim via email. Senyap menjadi kawan suasanaku. Aku bergegas membereskan barang bawaanku. Tas ransel berwarna biru navyku nampak lebih gendut dari biasanya dan berdiri gagah siap menemani perjalananku. Aku melangkah sigap, mandi dan segera bersiap diri.
“Jangan mandi Lil, wong nda tidur kok mandi.” Cegah Ibuku khawatir.
“Gak papa mah, masa aku gak mandi, orang acaranya dari pagi sampe sore koh. Lagian perjalanan tiga jam juga bikin kucel nantinya, gimana kalo gak mandi? Bisa jadi aku yang paling jelek mah.” Aku nekat mandi, berkawan dengan air dingin di pagi buta.
Pukul 02.45 pagi.
Pak Likku sudah siap mengantarku ke stasiun, beliau sungguh pahlawan tanpa tanda jasaku. Saban aku beraktivitas, beliaulah yang selalu mengantar dan menjemputku. Bagiku hal terberat dalam hidup adalah membalas budi kebaikan, karena membalas budi itu sebenarnya tidak pernah tersampaikan. Bagiku.
Menatap lampu yang bercahaya, menembus sisa gelapnya malam, aku menutup wajahku dengan masker. Melindungi tubuhku dengan jaket, menyelimuti punggungku dengan tas ransel, aku pun tiba di stasiun kota 15 menit sebelum kereta datang. Bersama navyku aku duduk menerawang kaca, menonton wajah dan awakku sendiri,
“Ini solo travellermu yang pertama, selalu belajarlah!.” Jiwaku bergumam.

Kutonton lagi diriku ini lewat kaca didepanku. Kaca ruang customer service yang masih tertutup rapat di pagi buta ini. Masih nampak gelap didalamnya.
“Pasti. Aku tumbuh dewasa sekarang. Harus dewasa. Solo travellerku yang pertama ini, adalah bukti dari konsistenku dan apapun hasilnya akan aku terima.” Tekadku menjawab.
***
            Berjalan lurus ke depan dengan langkah tegap dan tak ada lagi bunyi sandalku yang kuseret, gerbong ketiga dengan angka 6E memanggilku begitu lantang dan percaya diri. Aku duduk di depan lelaki paruh baya dan kusilangkan kakiku, masih juga kukenakan masker untuk menutup wajahku. Aku menatap jendela, kudapati orang-orang membawa kopor dan tas, sedang keluar menjauh area stasiun ini. Masih kulihat Pak Likku duduk menatap parkir dengan sebatang rokok yang menemaninya. Terimakasih telah mengantarku, Lik.
            Kereta ini sepi, dan aku seakan tenggelam dalam kesepian itu. Bukan, aku ternyata menikmati ketenggelamanku. Sendiri duduk terdiam, menunggu sang mentari bersinar agar bisa kulihat pemandangan alam yang senantiasa tak terpisahkan bersama kereta ini. Aku tenggelam dalam kelam, terlelap sebentar untuk mata yang lelah. Aku hanya tidur dua jam semalam setelah seharian pergi ke kaki gunung slamet.
            Satu setengah jam berlalu, pagi mulai menguap. Mataku tak berhenti menatap jendela. Aku ingin menjadi saksi karena aku ingin sekali menyaksikan perjalanan para awan bersama kereta ini. Seakan tak bisa merasakan dinginnya pagi seperti biasa, mungkin semangatku yang terlalu membara. Aku datang untuk menyaksikan para awan berpentas.
            Masih kupakai masker yang menutup wajahku. Tiba-tiba seorang tukang pos menghampiriku dari gerbong depan. Menanyaiku dengan beberapa pertanyaan klasik.
Pak Pos             : Anda yang bernama Alil. Duduk di bangku nomor 6E. Benar?
   Aku                 : Iya, pak. Ada apa yaa? (aku kaget, belum juga kubuka maskerku)
Pak Pos           : Anda hendak menuju Jogja untuk menulis, bukan?
Aku                 : (Terkekeh) Hehe, kenapa ya pak? Ada apa? J
   Pak Pos           : Ini surat untuk anda. Silakan dibaca, semoga bisa menemani perjalanan anda.
Aku                 : Untuk saya, Pak? Dari siapa?
Pak Pos           : Dari Cirrus Fibratus mba.
Aku                 : Terimaksih Pak. (Aku membuka maskerku buru-buru dan tersenyum lebar kepada Pak Pos itu)
            Ingin sekali kubuka langsung surat ini. Tapi, aku harus bersabar, menunggu sebentar lagi setelah Pak Pos selesai mengantarkan surat-suratnya dan segera enyah dari pandanganku. Aku malu dilihatnya. Ini terlalu rahasia dan sangat rahasia karena ini spesial dan pasti begitu spesial dari Cirrus fibratus.
            Lima belas menit berlalu, dan selama itu yang kulakukan hanyalah memegang erat surat ini. Sekarang sudah saatnya kubuka, perlahan kulawan lem yang menempel di ujung amplop ini. Kutarik dan kudapatkan sepucuk surat yang begitu menawan. Tak ada hurufnya.
            Di balik jendela kereta ini, kupandangi surat itu. Surat tanpa huruf dan surat pertamaku dari Cirrus fibratus. Aku adalah penggemar rahasianya. Bagaimana aku tidak begitu bahagia mendapat surat itu? Aku tersenyum sendiri menatap surat tanpa huruf itu. Bahkan jendela kereta ini pun, ikut memandangnya.
            Sudah dua jam setengah perjalananku, dan aku terus memandang surat Cirrus fibratus, sungguh aku begitu terpesona. Surat ini berubah warna setiap detiknya. Surat ini bak awan yang bergerak dari segala arah dan mulai membentuk wajah baru bagi langit pagi yang sungguh menawan. Kali ini surat yang kupandang ini berwarna kelabu di tengah, hitam di pinggir dan kuning keemasan yang menyempil di ujung bawahnya. Begitu indah. Tak terbayangkan. Menakjubkan.
Pukul 06.26 pagi.
            Aku pun turun dari kereta. Kulangkahkan kakiku dan kukatakan “Selamat pagi Jogja.” Tak lama kemudian aku pun dijemput, dan kumasukkan surat itu ke dalam tas ransel biru navyku.
St. Lempuyangan Jogja
27 Maret 2014 (#KF Spesial)
Footnote:
Cirrus fibratus adalah  nama klasifikasi sebuah awan.

No comments:

Powered by Blogger.