Untukku, Surat Jogja Pagi
Sebuah tulisan berita sudah kukirim via
email. Senyap menjadi kawan suasanaku. Aku bergegas membereskan barang
bawaanku. Tas ransel berwarna biru navyku nampak lebih gendut dari
biasanya dan berdiri gagah siap menemani perjalananku. Aku melangkah sigap,
mandi dan segera bersiap diri.
“Jangan mandi Lil, wong nda tidur
kok mandi.” Cegah Ibuku khawatir.
“Gak papa mah, masa aku gak mandi,
orang acaranya dari pagi sampe sore koh. Lagian perjalanan tiga jam juga bikin
kucel nantinya, gimana kalo gak mandi? Bisa jadi aku yang paling jelek mah.”
Aku nekat mandi, berkawan dengan air dingin di pagi buta.
Pukul 02.45 pagi.
Pak Likku sudah siap mengantarku ke
stasiun, beliau sungguh pahlawan tanpa tanda jasaku. Saban aku
beraktivitas, beliaulah yang selalu mengantar dan menjemputku. Bagiku hal
terberat dalam hidup adalah membalas budi kebaikan, karena membalas budi itu
sebenarnya tidak pernah tersampaikan. Bagiku.
Menatap lampu yang bercahaya,
menembus sisa gelapnya malam, aku menutup wajahku dengan masker. Melindungi
tubuhku dengan jaket, menyelimuti punggungku dengan tas ransel, aku pun tiba di
stasiun kota 15 menit sebelum kereta datang. Bersama navyku aku duduk
menerawang kaca, menonton wajah dan awakku sendiri,
“Ini solo travellermu yang
pertama, selalu belajarlah!.” Jiwaku bergumam.
Kutonton lagi diriku ini lewat kaca
didepanku. Kaca ruang customer service yang masih tertutup rapat di pagi
buta ini. Masih nampak gelap didalamnya.
“Pasti. Aku tumbuh dewasa sekarang.
Harus dewasa. Solo travellerku yang pertama ini, adalah bukti dari konsistenku
dan apapun hasilnya akan aku terima.” Tekadku menjawab.
***
Berjalan
lurus ke depan dengan langkah tegap dan tak ada lagi bunyi sandalku yang
kuseret, gerbong ketiga dengan angka 6E memanggilku begitu lantang dan percaya
diri. Aku duduk di depan lelaki paruh baya dan kusilangkan kakiku, masih juga
kukenakan masker untuk menutup wajahku. Aku menatap jendela, kudapati
orang-orang membawa kopor dan tas, sedang keluar menjauh area stasiun ini.
Masih kulihat Pak Likku duduk menatap parkir dengan sebatang rokok yang
menemaninya. Terimakasih telah mengantarku, Lik.
Kereta
ini sepi, dan aku seakan tenggelam dalam kesepian itu. Bukan, aku ternyata
menikmati ketenggelamanku. Sendiri duduk terdiam, menunggu sang mentari
bersinar agar bisa kulihat pemandangan alam yang senantiasa tak terpisahkan
bersama kereta ini. Aku tenggelam dalam kelam, terlelap sebentar untuk mata yang
lelah. Aku hanya tidur dua jam semalam setelah seharian pergi ke kaki gunung
slamet.
Satu
setengah jam berlalu, pagi mulai menguap. Mataku tak berhenti menatap jendela.
Aku ingin menjadi saksi karena aku ingin sekali menyaksikan perjalanan para
awan bersama kereta ini. Seakan tak bisa merasakan dinginnya pagi seperti
biasa, mungkin semangatku yang terlalu membara. Aku datang untuk menyaksikan
para awan berpentas.
Masih
kupakai masker yang menutup wajahku. Tiba-tiba seorang tukang pos menghampiriku
dari gerbong depan. Menanyaiku dengan beberapa pertanyaan klasik.
Pak Pos : Anda yang
bernama Alil. Duduk di bangku nomor 6E. Benar?
Aku : Iya, pak. Ada apa yaa? (aku
kaget, belum juga kubuka maskerku)
Pak Pos : Anda hendak menuju Jogja untuk menulis, bukan?
Aku : (Terkekeh) Hehe, kenapa ya pak?
Ada apa? J
Pak Pos : Ini surat untuk anda. Silakan dibaca, semoga bisa
menemani perjalanan anda.
Aku : Untuk saya, Pak? Dari siapa?
Pak Pos : Dari Cirrus Fibratus mba.
Aku : Terimaksih
Pak. (Aku membuka maskerku buru-buru dan tersenyum lebar kepada Pak Pos itu)
Ingin
sekali kubuka langsung surat ini. Tapi, aku harus bersabar, menunggu sebentar
lagi setelah Pak Pos selesai mengantarkan surat-suratnya dan segera enyah dari
pandanganku. Aku malu dilihatnya. Ini terlalu rahasia dan sangat rahasia karena
ini spesial dan pasti begitu spesial dari Cirrus fibratus.
Lima
belas menit berlalu, dan selama itu yang kulakukan hanyalah memegang erat surat
ini. Sekarang sudah saatnya kubuka, perlahan kulawan lem yang menempel di ujung
amplop ini. Kutarik dan kudapatkan sepucuk surat yang begitu menawan. Tak ada
hurufnya.
Di balik
jendela kereta ini, kupandangi surat itu. Surat tanpa huruf dan surat pertamaku
dari Cirrus fibratus. Aku adalah penggemar rahasianya. Bagaimana aku tidak
begitu bahagia mendapat surat itu? Aku tersenyum sendiri menatap surat tanpa
huruf itu. Bahkan jendela kereta ini pun, ikut memandangnya.
Sudah
dua jam setengah perjalananku, dan aku terus memandang surat Cirrus fibratus, sungguh
aku begitu terpesona. Surat ini berubah warna setiap detiknya. Surat ini bak
awan yang bergerak dari segala arah dan mulai membentuk wajah baru bagi langit
pagi yang sungguh menawan. Kali ini surat yang kupandang ini berwarna kelabu di
tengah, hitam di pinggir dan kuning keemasan yang menyempil di ujung bawahnya.
Begitu indah. Tak terbayangkan. Menakjubkan.
Pukul 06.26 pagi.
Aku
pun turun dari kereta. Kulangkahkan kakiku dan kukatakan “Selamat pagi Jogja.”
Tak lama kemudian aku pun dijemput, dan kumasukkan surat itu ke dalam tas
ransel biru navyku.
St. Lempuyangan Jogja
27 Maret 2014 (#KF Spesial)
Footnote:
Cirrus
fibratus adalah nama klasifikasi sebuah
awan.
No comments: