Pintu Siluet

Wednesday, April 30, 2014
 



Aku berkawan dengan kesunyian. Hening adalah teman dekatku. Senyapnya pagi adalah sahabat baikku. Kesendirian adalah cerminan diriku. Aku terhanyut dalam pikiran yang kelam, tenggelam dalam lautan yang kelabu, dan terbang melayang dalam angan yang begitu panjang.
Tidak, aku takkan sanggup mengalahkan gadis berparas lugu namun pintar itu. Aku mengernyitkan dahi, duduk termenung sendiri di perpustakaan yang semakin sunyi, hening seakan tak berpenghuni. Aku, lelaki yang tiada guna.
Pagi ini, dia mengambil selembar surat penting, yang hanya dia yang tahu. Entahlah. Dia takkan pernah membiarkan seorang pun membaca isi surat tersebut. Dia gendong tasnya, tas yang hanya berisi sebuah surat, tertulis hal yang teramat begitu penting baginya. Pintu keluar rumah sakit seakan terbuka lebar memberikan penghormatan terakhir untuknya. Dalam sekejap ia pun lenyap tertelan pintu itu.
***

Sudah sebulan ini kubiarkan skripsiku menunggu dalam diam bahkan mematung dalam kemacetan. Tapi, aku sungguh rajin sekali pergi ke perpustakaan ini. Setiap sore pasti kuagendakan datang demi buku-buku fiksi yang membuatku rabun akan realita. Aku tenggelam dan aku musnah dalam lautan fiksi. Realita pun semakin enggan menghampiriku. Aku sibuk dalam bayang gelap sebagai temuan baruku.
Masih saja kuingat antara aku, dia, sebuah surat, dan rumah sakit.
“Apa itu?” aku bertanya dalam heran yang begitu mendera.
“Aku harus pergi sekarang juga.” Dia pergi dalam raut wajah yang sama sekali tak bisa aku tebak. Takutkah ia? Buru-buru kah ia? Atau kenapa?
Sejak saat itu, aku memiliki begitu banyak tanda tanya yang sungguh begitu rindu akan jawaban. Sejak hari itu juga, aku bagaikan orang asing baginya. Padahal, kita beratapkan dinding yang sama, dan aku seakan melihat diriku sendiri dalam dirinya. Bukankah sudah sewajarnya seorang kakak, pasti akan menjaga adiknya dengan sepenuh hatinya, segenap kesungguhannya dan tanggung jawabnya?
Hari dimana aku benar-benar menjadi orang asing baginya. Atau aku yang mengasingkan diri darinya karena tak tau apa-apa atau tak mau tau apa-apa? Mamah masak sup kesukaannya, bahkan dia tak mau makan bersama. Ingin kuketuk pintunya dan bertanya adakah sup lain yang menjadi kesukaannya? Aku heran dan keherananku membawaku pada fiksi yang sangat dalam. Seminggu sekali dia terdengar menyapa, sekali ini dia hanya menuliskan kata yang membuatku hanya menjadi bingung.
Good day to all, my family. Sebuah post it yang dia tuliskan di pintu kulkas. Aku menariknya pelan, melepas kertas berlem itu tertarik paksa pada akhirnya.
“Aneh.” Kataku sambil kubuang kertas itu ke dalam tong sampah.
Tingkahnya semakin dingin, tapi aku tahu dia tak pernah mendinginkan apapun yang menjadi cita-cita dan impiannya. Begitulah adikku itu. Dia selalu mendapatkan peringkat nomor satu di sekolahnya. Usianya yang mulai tumbuh menjadi gadis remaja berusia 16 tahun, kini semakin terlihat berkelas dengan sikapnya yang misterius itu, semenjak kepergian ayah. Aku akan bersiap menjadi detektif gadungan, hanya untuk mencari tahu segala hal tentang adikku itu. Adikku sendiri. Adik kandung.
Rumah menjadi satu-satunya markas detektif gadungan seperti aku ini. Aku memang tak terlalu sama dengan dia, aku tak pintar. Tugas akhirku sudah lama mangkir dan aku hanya menjamah dan menelan puluhan fiksi yang kupinjam dari perpustakaan tiap sore. Aku tak pernah membiarkan pintu kamarku tertutup rapat, dan dari sinilah pekerjaan detektifku berjalan seakan sempurna.
Siang itu, cahaya masuk menembus pintu depan yang langsung berhadapan dan mengarah pada pintu kamarku. Bayang hitam perlahan masuk memenuhi pintu itu, semakin kulihat bayangannya justru semakin tak jelas. Tapi tiba-tiba dia nampak begitu jelas, mendekat namun sekejap hilang dalam kilasan mata. Aku bingung membedakan antara nyata dengan fiksi. Yang mana duniaku?
Segalanya semakin tak jelas. Aku tak lagi rajin pergi ke perpustakaan setiap sorenya. Waktuku hanya habis dengan menonton bayang hitam yang perlahan muncul dari pintu depan. Selembar surat yang kugenggam ini, kini tak lagi seputih dulu, seperti pertama kalinya aku begitu penasaran. Aku sibuk dalam kesendirianku dan semakin senang bertanya pada diri sendiri.
Kau pintu, kenapa kau tak pernah lelah. Kau membiarkan aku melihat bayang gelap yang semakin menggelapkan pikiranku. Pintu itu memperlihatkan bayangan adik dan mamahku. Itu siluet mereka. Tatapanku, semakin hari semakin nanar. Ucapanku, semakin hari semakin tak jelas. Siapa pula yang peduli dan akan mendengarkannya. Tak ada siapa-siapa lagi di rumah ini.
Malam harinya, hari itu, ketika mamah masak sup dan adikku tak makan sesendok pun. Dia mengunci di dalam kamarnya. Semakin asing, bukan? Tapi, benarkah ia mengunci diri di dalam kamarnya, atau kamar itu sudah kosong? . Mamah yang tahu akan segalanya, apalagi tentang keanehannya dan penyakitnya itu. Tapi, aku tidak. Dan tak pernah kutahu jika dia sedang sakit.
“Mamaaaah!!!!!!” Aku teriak bukan main. Gelas yang ada digenggamanku jatuh, serentak pecahan beling itu menyapu lantai dan satu diantaranya mengenai jariku. Darah pun menetes menggenangi lantai yang ternyata sudah bercampur dengan darah mamah. Bukan hanya itu, darahku, darah mamah dan juga sup itu kini saling berkontaminasi. Pecahan gelas bercampur dengan pecahan mangkuk, benar sekali langsung menyayat perih di hati ini. Air mataku luluh lantah, porak poranda bersama kuah sup dan melebur menjadi satu. Dimana dia? Adikku?
Dokter menyatakan mamah terkena serangan jantung. Selain itu, akibat jatuh di dapur semalam, juga membuat kepala mamah kekurangan darah. Rumah sakit tak pernah memiliki jaminan nyawa seseorang, malam itu juga dokter bilang, “mamahmu sudah meninggalkan dunia,” katanya lirih. Aku membisu, terdiam, terpaku, terisak. Pilu.
Segalanya gelap. Hitam. Berkabung.
Dia. Dimana dia? Bukankah mamah satu-satunya orang terdekatnya. Tidak tahukah dia?
Aku berdiri bersisian bersama dia. Entah dari mana datangnya. Pikiranku kalut. Aku tak memperhatikan. Wajahnya pucat pasi. Tak sanggup aku memarahinya.
Tubuhku lemas tergeletak di tanah pemakaman mamah. Bahkan, belum sempat, aku meminta maaf. Belum sempat aku berusaha membalas budi meski aku tak pernah sanggup. Mamaaah. Aku terisak lagi.
***
Aku duduk di teras. Dia lewat bersama orang yang tak kukenal. Seragamnya seperti perawat. Aku hanya sanggup menatap sinis mereka. Tapi, mereka aneh. Kenapa perawat wanita itu yang mengantarkan dia dan memapahnya jalan, menunjukkan arahnya seakan dia berada di tempat yang asing. Sungguh aneh. Aku semakin karut marut.
Dia benar asing, dan seakan tak mengenalku. Aku melihat pemandangan apa ini? Di hari berkabung seperti ini.
“Ini foto ibu yang telah meninggal hari ini, dan ini foto ayah yang sudah meninggal dua tahun yang lalu. Nah, yang ini, kakaknya adek, yang tadi duduk di teras itu.” Kata perawat itu kepada adikku. Dia masih menatap foto dalam tatapan nanar.
Dia membisu, duduk di kursi tamu. Aku tak sanggup bertanya sakit apa sebenarnya dia. Sampai-sampai harus dibawa perawatnya ke rumah. Kacau.
Aku mengurung diri dalam kamar. Tak ada sanak saudara yang kemari. Mamah tak ada saudara dekat di kota ini. Pintu kamarku, tak pernah kututup rapat. Seperti biasa.
Sudah seminggu. Dia, tak ada kabar dan tak ada di rumah. Mungkin kembali ke rumah sakit. Sakit apa sih dia? Aneh? Aku tak pernah mengaktifkan hp. Segalanya kelam. Suram. Sekarat napas kehidupan.
Fiksi itu kembali muncul setelah kutemukan selembar surat yang dulu begitu aku penasaran untuk membacanya. Kutemukan di dalam kamarnya. Hari ini, kamar ini sudah mati bersama penghuninya. Dia lebih memilih ikut mamah dibanding ikut denganku. Dia, sudah meninggal dunia karena penyakit itu. Sekarang, fiksi itulah yang menjadi kenyataan. Selembar kertas itu tak menceritakan apapun, hanyalah penyakit yang tak kukenal itu. Schizophrenia1.
Aku suka ngomong sendiri sambil menatap pintu depan, yang di sana bisa kulihat bayangan hitam menyerupai adikku. Aku terlalu lelah melihat bayangan hitam nan gelap  itu, datang dari pintu depan itu. Tapi siluet yang muncul bergantian itu, sungguh membuatku rindu akan kehadiran mereka dalam hidupku, dalam rumah ini.
Biarkan sejarah mencatatmu sebagai pintu siluet. Aku tetap menjadi detektif gadungan, pintu siluet itu akan menjadi saksinya. Saban pagi hari, ketika sinar matahari menerobos teras melewati pintu yang kusebut sebagai pintu siluet itu, hadirlah mereka. Keluargaku. Aku hidup dengan caraku yang baru, dengan melewati pintu siluet itu. Aku semakin menggila namun aku sadar. Aku sendiri. Hidup seorang diri.
Aktivitasku semakin padat. Aku harus mengantar adikku dulu ke sekolah, dia tak mau jalan kaki, hanya karena alasan pusing. Dia yang manja. Lalu, siangnya aku harus membantu mamah mengantar ini dan itu. Ayah bagaikan pahlawan, yang muncul saat kita butuh bantuannya. Pahlawan yang biasanya muncul saat-saat diujung kisah yang menegangkan. Malamnya, kita ngumpul bersama. Tidak seperti itu, tidak. Aku, sendiri. Itu hanya bagian dari kenangan. Dulu.
***
Setahun.
Tak pernah kusangka aku ada di sini. Sekarang, sudah waktunya aku kembali lagi ke rumahku bersama pintu siluetku. Bersama siluet keluargaku, detektif gadungan ini, akan memecahkan sebuah kasus lagi. Menjalani kehidupan baru bersama mimpi dan cita-cita keluargaku. Detektif gadungan ini yang akan menggapai segala impian keluarga. Sungguh. Sungguh aku pun, tak ingin melewatkan demi membaca plang putih dengan lebar 2x1 m ini. Kubaca, kubaca, dan kubaca lagi. Tak pernah berubah. Kubaca lagi. Tetap sama. Kubaca, “Rumah Sakit Jiwa.” Setahun, aku dirawat di sini. Baru kusadari, aku pernah gila. Gila. G I L A.
 
Catatan:
1.      Schizophrenia Seseorang yang didiagnosis mengidap skizofrenia dapat mengalami halusinasi (kebanyakan melaporkan adanya mendengar  suara-suara ), waham (biasanya aneh atau penyiksaan secara biasa), dan gangguan daya pikir dan bicara. Yang terakhir ini dapat berupa kehilangan urutan berpikir, hingga kalimat yang artinya kurang berhubungan, sampai dengan ketidakpaduan yang dikenal sebagai kata-kata yang berantakan pada kasus yang lebih parah. Biasanya dapat diobservasi adanya pola kesulitan emosi, sebagai contoh tidak adanya sifat responsif. (Wikipedia)




Terimakasih sudah membaca
 

No comments:

Powered by Blogger.