Pintu Siluet
Aku berkawan dengan
kesunyian. Hening adalah teman dekatku. Senyapnya pagi adalah sahabat baikku.
Kesendirian adalah cerminan diriku. Aku terhanyut dalam pikiran yang kelam,
tenggelam dalam lautan yang kelabu, dan terbang melayang dalam angan yang
begitu panjang.
Tidak, aku takkan
sanggup mengalahkan gadis berparas lugu namun pintar itu. Aku
mengernyitkan dahi, duduk termenung sendiri di perpustakaan yang semakin sunyi,
hening seakan tak berpenghuni. Aku, lelaki yang tiada guna.
Pagi ini, dia
mengambil selembar surat penting, yang hanya dia yang tahu. Entahlah. Dia
takkan pernah membiarkan seorang pun membaca isi surat tersebut. Dia gendong
tasnya, tas yang hanya berisi sebuah surat, tertulis hal yang teramat begitu
penting baginya. Pintu keluar rumah sakit seakan terbuka lebar memberikan
penghormatan terakhir untuknya. Dalam sekejap ia pun lenyap tertelan pintu itu.
***
Sudah sebulan ini
kubiarkan skripsiku menunggu dalam diam bahkan mematung dalam kemacetan. Tapi,
aku sungguh rajin sekali pergi ke perpustakaan ini. Setiap sore pasti
kuagendakan datang demi buku-buku fiksi yang membuatku rabun akan realita. Aku
tenggelam dan aku musnah dalam lautan fiksi. Realita pun semakin enggan
menghampiriku. Aku sibuk dalam bayang gelap sebagai temuan baruku.
Masih saja kuingat antara
aku, dia, sebuah surat, dan rumah sakit.
“Apa itu?” aku
bertanya dalam heran yang begitu mendera.
“Aku harus pergi
sekarang juga.” Dia pergi dalam raut wajah yang sama sekali tak bisa aku tebak.
Takutkah ia? Buru-buru kah ia? Atau kenapa?
Sejak saat itu, aku
memiliki begitu banyak tanda tanya yang sungguh begitu rindu akan jawaban. Sejak
hari itu juga, aku bagaikan orang asing baginya. Padahal, kita beratapkan
dinding yang sama, dan aku seakan melihat diriku sendiri dalam dirinya. Bukankah
sudah sewajarnya seorang kakak, pasti akan menjaga adiknya dengan sepenuh hatinya,
segenap kesungguhannya dan tanggung jawabnya?
Hari dimana aku
benar-benar menjadi orang asing baginya. Atau aku yang mengasingkan diri
darinya karena tak tau apa-apa atau tak mau tau apa-apa? Mamah masak sup
kesukaannya, bahkan dia tak mau makan bersama. Ingin kuketuk pintunya dan
bertanya adakah sup lain yang menjadi kesukaannya? Aku heran dan
keherananku membawaku pada fiksi yang sangat dalam. Seminggu sekali dia terdengar
menyapa, sekali ini dia hanya menuliskan kata yang membuatku hanya menjadi
bingung.
Good day to all, my
family. Sebuah post it yang dia
tuliskan di pintu kulkas. Aku menariknya pelan, melepas kertas berlem itu
tertarik paksa pada akhirnya.
“Aneh.” Kataku sambil
kubuang kertas itu ke dalam tong sampah.
Tingkahnya semakin
dingin, tapi aku tahu dia tak pernah mendinginkan apapun yang menjadi cita-cita
dan impiannya. Begitulah adikku itu. Dia selalu mendapatkan peringkat nomor
satu di sekolahnya. Usianya yang mulai tumbuh menjadi gadis remaja berusia 16
tahun, kini semakin terlihat berkelas dengan sikapnya yang misterius itu, semenjak kepergian ayah. Aku akan
bersiap menjadi detektif gadungan, hanya untuk mencari tahu segala hal tentang
adikku itu. Adikku sendiri. Adik kandung.
Rumah menjadi
satu-satunya markas detektif gadungan seperti aku ini. Aku memang tak terlalu
sama dengan dia, aku tak pintar. Tugas akhirku sudah lama mangkir dan aku hanya
menjamah dan menelan puluhan fiksi yang kupinjam dari perpustakaan tiap sore.
Aku tak pernah membiarkan pintu kamarku tertutup rapat, dan dari sinilah
pekerjaan detektifku berjalan seakan sempurna.
Siang itu, cahaya
masuk menembus pintu depan yang langsung berhadapan dan mengarah pada pintu
kamarku. Bayang hitam perlahan masuk memenuhi pintu itu, semakin kulihat
bayangannya justru semakin tak jelas. Tapi tiba-tiba dia nampak begitu jelas,
mendekat namun sekejap hilang dalam kilasan mata. Aku bingung membedakan antara
nyata dengan fiksi. Yang mana duniaku?
Segalanya semakin
tak jelas. Aku tak lagi rajin pergi ke perpustakaan setiap sorenya. Waktuku
hanya habis dengan menonton bayang hitam yang perlahan muncul dari pintu depan.
Selembar surat yang kugenggam ini, kini tak lagi seputih dulu, seperti pertama
kalinya aku begitu penasaran. Aku sibuk dalam kesendirianku dan semakin senang
bertanya pada diri sendiri.
Kau pintu, kenapa
kau tak pernah lelah. Kau membiarkan aku melihat bayang gelap yang semakin
menggelapkan pikiranku. Pintu itu
memperlihatkan bayangan adik dan mamahku. Itu siluet mereka. Tatapanku,
semakin hari semakin nanar. Ucapanku, semakin hari semakin tak jelas. Siapa
pula yang peduli dan akan mendengarkannya. Tak ada siapa-siapa lagi di rumah
ini.
Malam harinya, hari
itu, ketika mamah masak sup dan adikku tak makan sesendok pun. Dia mengunci di
dalam kamarnya. Semakin asing, bukan? Tapi, benarkah ia mengunci diri di
dalam kamarnya, atau kamar itu sudah kosong? . Mamah yang tahu akan
segalanya, apalagi tentang keanehannya dan penyakitnya itu. Tapi, aku tidak.
Dan tak pernah kutahu jika dia sedang sakit.
“Mamaaaah!!!!!!” Aku
teriak bukan main. Gelas yang ada digenggamanku jatuh, serentak pecahan beling
itu menyapu lantai dan satu diantaranya mengenai jariku. Darah pun menetes
menggenangi lantai yang ternyata sudah bercampur dengan darah mamah. Bukan
hanya itu, darahku, darah mamah dan juga sup itu kini saling berkontaminasi.
Pecahan gelas bercampur dengan pecahan mangkuk, benar sekali langsung menyayat
perih di hati ini. Air mataku luluh lantah, porak poranda bersama kuah sup dan
melebur menjadi satu. Dimana dia? Adikku?
Dokter menyatakan
mamah terkena serangan jantung. Selain itu, akibat jatuh di dapur semalam, juga
membuat kepala mamah kekurangan darah. Rumah sakit tak pernah memiliki jaminan
nyawa seseorang, malam itu juga dokter bilang, “mamahmu sudah meninggalkan
dunia,” katanya lirih. Aku membisu, terdiam, terpaku, terisak. Pilu.
Segalanya gelap.
Hitam. Berkabung.
Dia. Dimana dia?
Bukankah mamah satu-satunya orang terdekatnya. Tidak tahukah dia?
Aku berdiri
bersisian bersama dia. Entah dari mana datangnya. Pikiranku kalut. Aku tak
memperhatikan. Wajahnya pucat pasi. Tak sanggup aku memarahinya.
Tubuhku lemas
tergeletak di tanah pemakaman mamah. Bahkan, belum sempat, aku meminta maaf.
Belum sempat aku berusaha membalas budi meski aku tak pernah sanggup. Mamaaah.
Aku terisak lagi.
***
Aku duduk di teras.
Dia lewat bersama orang yang tak kukenal. Seragamnya seperti perawat. Aku hanya
sanggup menatap sinis mereka. Tapi, mereka aneh. Kenapa perawat wanita itu
yang mengantarkan dia dan memapahnya jalan, menunjukkan arahnya seakan dia
berada di tempat yang asing. Sungguh aneh. Aku semakin karut marut.
Dia benar asing,
dan seakan tak mengenalku. Aku melihat pemandangan apa ini? Di hari
berkabung seperti ini.
“Ini foto ibu yang
telah meninggal hari ini, dan ini foto ayah yang sudah meninggal dua tahun yang
lalu. Nah, yang ini, kakaknya adek, yang tadi duduk di teras itu.” Kata perawat
itu kepada adikku. Dia masih menatap foto dalam tatapan nanar.
Dia membisu, duduk
di kursi tamu. Aku tak sanggup bertanya sakit apa sebenarnya dia. Sampai-sampai
harus dibawa perawatnya ke rumah. Kacau.
Aku mengurung diri
dalam kamar. Tak ada sanak saudara yang kemari. Mamah tak ada saudara dekat di
kota ini. Pintu kamarku, tak pernah kututup rapat. Seperti biasa.
Sudah seminggu.
Dia, tak ada kabar dan tak ada di rumah. Mungkin kembali ke rumah sakit. Sakit
apa sih dia? Aneh? Aku tak pernah mengaktifkan hp. Segalanya kelam. Suram.
Sekarat napas kehidupan.
Fiksi itu kembali
muncul setelah kutemukan selembar surat yang dulu begitu aku penasaran untuk
membacanya. Kutemukan di dalam kamarnya. Hari ini, kamar ini sudah mati bersama
penghuninya. Dia lebih memilih ikut mamah dibanding ikut denganku. Dia, sudah
meninggal dunia karena penyakit itu. Sekarang, fiksi itulah yang menjadi
kenyataan. Selembar kertas itu tak menceritakan apapun, hanyalah penyakit yang
tak kukenal itu. Schizophrenia1.
Aku suka ngomong
sendiri sambil menatap pintu depan, yang di sana bisa kulihat bayangan hitam
menyerupai adikku. Aku terlalu lelah melihat bayangan hitam nan gelap itu, datang dari pintu depan itu. Tapi siluet
yang muncul bergantian itu, sungguh membuatku rindu akan kehadiran mereka dalam
hidupku, dalam rumah ini.
Biarkan sejarah
mencatatmu sebagai pintu siluet. Aku tetap menjadi detektif gadungan, pintu
siluet itu akan menjadi saksinya. Saban pagi hari, ketika sinar matahari
menerobos teras melewati pintu yang kusebut sebagai pintu siluet itu, hadirlah
mereka. Keluargaku. Aku hidup dengan caraku yang baru, dengan melewati pintu
siluet itu. Aku semakin menggila namun aku sadar. Aku sendiri. Hidup seorang
diri.
Aktivitasku semakin
padat. Aku harus mengantar adikku dulu ke sekolah, dia tak mau jalan kaki,
hanya karena alasan pusing. Dia yang manja. Lalu, siangnya aku harus membantu
mamah mengantar ini dan itu. Ayah bagaikan pahlawan, yang muncul saat kita
butuh bantuannya. Pahlawan yang biasanya muncul saat-saat diujung kisah yang
menegangkan. Malamnya, kita ngumpul bersama. Tidak seperti itu, tidak. Aku,
sendiri. Itu hanya bagian dari kenangan. Dulu.
***
Setahun.
Tak
pernah kusangka aku ada di sini. Sekarang, sudah waktunya aku kembali lagi ke
rumahku bersama pintu siluetku. Bersama siluet keluargaku, detektif gadungan
ini, akan memecahkan sebuah kasus lagi. Menjalani kehidupan baru bersama mimpi
dan cita-cita keluargaku. Detektif gadungan ini yang akan menggapai segala
impian keluarga. Sungguh. Sungguh aku pun, tak ingin melewatkan demi membaca
plang putih dengan lebar 2x1 m ini. Kubaca, kubaca, dan kubaca lagi. Tak pernah
berubah. Kubaca lagi. Tetap sama. Kubaca, “Rumah Sakit Jiwa.” Setahun, aku
dirawat di sini. Baru kusadari, aku pernah gila. Gila. G I L A.
Catatan:
1. Schizophrenia Seseorang yang didiagnosis
mengidap skizofrenia dapat mengalami halusinasi (kebanyakan melaporkan adanya mendengar suara-suara ), waham (biasanya aneh atau penyiksaan secara biasa), dan gangguan daya pikir dan bicara. Yang terakhir ini dapat berupa kehilangan
urutan berpikir, hingga kalimat yang artinya kurang berhubungan, sampai dengan
ketidakpaduan yang dikenal sebagai kata-kata
yang berantakan
pada kasus yang lebih parah. Biasanya dapat diobservasi adanya pola kesulitan emosi, sebagai contoh tidak adanya sifat responsif. (Wikipedia)
Terimakasih sudah membaca
No comments: