Rabuku yang lugu
Hari ini hari Rabuku yang lugu, yang kelabu, berdebu
dan menyisakan abu. Aku berabu-abu dalam bajuku yang kelabu, aku berabu-abu
dalam raut wajahku yang sendu, aku pun berabu-abu di atas lukaku yang penuh
debu.
Karena hari Rabu, karena abu-abu, karena kelabu, dan
karena debu aku menghampirimu. Sungguh tak ada niatan apapun. Hanya ingin
melihatmu jauh lebih dekat, selain karena kau adalah sisi kanan yang jarang
terjamah oleh ribuan penghuni yang memilih dan mungkin mengaku berbudaya dan mencintai
bahasa. Ternyata putih, catmu. Lebar dan tak sesempit yang kukira. Sejak hari
itu, sejarah telah mencatatmu dengan nama pintu siluet. Pintu Siluet.
Tengah hari yang terik, aku berusaha menemanimu
bersama seorang kawan baikku. Aku menatapmu dibalik kursi kayu ini. Lebih dari
1m jarak pandangku tak lelah menatapmu. Tak banyak orang berlalu lalang, karena
itulah kau begitu terdiam, terpaku, termenung dan mungkin terpana oleh
kehadiranku. Mungkin.
Beberapa melewatimu, tapi aku sungguh tak mengenalmu.
Dimana pintu siluet yang aku kenal? Aku bahkan sudah mendekatinya, jauh lebih
dekat dan tak kurang dari 1m. Ada apa ini? Aku tak bisa melihat pintu siluet
dari dekat. Kuputuskan menjauh. Hari Rabuku yang lugu, yang kelabu, berdebu dan
menyisakan abu. Karena hari Rabu, karena abu-abu, karena kelabu, dan karena
debu aku menghampirimu. Tapi tak kutemukan dirimu, pintu siluet. Mungkin kau
pun sama sepertiku, berdebu, penuh abu-abu, kelabu, dan seperti abu.
Keep on writing #One Day One Writing
No comments: