Segenggam Awan
Sejak pagi aku tak melihat ada keramaian di Singgasana
awan. Tepatnya kemarin siang aku dihimpit banyak orang, aku berada di
tengah-tengah orang dalam kesesakan. Untuk pertama kalinya penasaranku sangat
membuncah begitu mendengar kabar yang katanya baik itu. Lantas aku tak kenal
malu akan penampilanku.
Entah karena virus apa, aku jadi sakit begini.
Tergeletak secara fisik di atas kasur, tapi nyatanya jiwaku sedang berkeliaran
di Singgasana awan sana. Mungkin sebenarnya jiwaku masih tinggal di sana sejak
kemarin. Lalu, apa yang membuatnya tertinggal di sana, di Singgasana awan nan
jauh di sana.
Ketika aku mendengar tetangga saling
berteriak, mengajak tetangga yang lain untuk segera menonton kabar baik di Singgasana
awan, aku masih belum bangun saat itu. Namun saat sebuah nama disebut, kedua
mataku bagaikan lampu yang saat saklarnya ditekan langsung menyala. Aku
melayangkan selimutku, lalu bangun mengikuti arah penasaran itu. Nama itu yang
memimpin langkah kecil ini hingga aku sakit, tak ingin beranjak dari kamarku.
“Pangeran Cirrus didatangkan seorang putri
dari Negeri Fibratus katanya….” Teriak orang-orang di siang itu.
“Iya, katanya hari ini ada Upacara
penghormatan untuk pertemuan mereka yang pertama kalinya. Jangan sampai kita
gak nonton yaa, yuuk buruan kita ke sana,” sahut yang lainnya.
“Yuk-yuuk yuuuk….” Semuanya bergegas ke sana
dan meninggalkan kesunyian.
Di dalam kamar aku mendengarkan semuanya.
Selepas mereka berangkat dan meninggalkan kesunyian di desa, aku kedatangan
komplotan rasa penasaran yang begitu dahsyat.
Tanpa memedulikan penampilanku, aku berangkat
ke Singgasana Awan. Sendiri. Seorang diri.
Jalanan desa terasa begitu sunyi. Seluruh desa
Nimbus sudah pasti ingin menyaksikannya. Aku berjalan kaki sejauh ratusan meter
hingga tak kutemui seroang pun yang bisa kutanyai. Kepada tanah yang kuinjak,
kutitipkan rasa penasaran supaya komplotan rasa yang datangnya begitu dahsyat
hingga membangunkan tidurku ini, sedikit demi sedikit berkurang dan akan habis
begitu aku sampai di Singgasana awan.
Teruntuk suasana sunyi sepanjang jalan, tak
ada yang bisa kutitipkan padanya kecuali bayangan Pangeran Cirrus yang selalu
muncul di setiap pagar depan setiap rumah. Wajahnya nampak begitu bahagia.
Lalu teruntuk penampilanku yang kulihat lewat
sebuah kaca di salah satu sebuah rumah warga, kutitipkan sekotak sinar mentari
agar sang hati yang terbungkus di sana tetap terasa hangat.
Sudah pasti Pangeran akan bersanding dengan
seorang putri yang sepadan dengannya. Meski aku tak pernah mengenal pangeran,
aku tetap menitipkan setangkai doa kiranya Pangeran akan senantiasa berbahagia
dan bisa menjadi sosok panutan di desa Nimbus ini.
Mentari tepat di atas, aku belum juga sampai
di Singgasana awan. Sepertinya, aku terlalu banyak menitipkan sesuatu sepanjang
perjalanan ini hingga aku merasa tersesat sekarang.
Seusai meletakkan sekotak sinar mentari di
sebelah cermin itu, aku kehilangan arah. Jalan di depanku berubah tak seperti
biasanya. Bagaimana mungkin, jalanan desa yang sejak tadi kutempuh mendadak
dipenuhi banyak orang dengan wajah orang-orang kota. Aku diam membeku.
Aku membalikkan badan, dan masih bisa kutatap
cermin itu. Masih juga kulihat bingkisan kotak berisi sinar mentari itu.
Namun, tak bisa kusangka. Tak ada yang sanggup
aku katakan. Begitu aku menatap cermin
yang kedua kalinya, aku tak yakin akan
diriku sendiri. Aku terlihat bagai seorang putri dengan gaun yang anggun, wajah
yang cantik lengkap dengan penataan rambut yang indah juga sepatu yang
berkilau. Begitu aku melihat diriku sendiri tanpa cermin, aku pun masih melihat
diriku yang berantakan selayaknya seorang gadis yang baru bangun tidur. Rupanya
penasaran pada Pangeran mengantarku ke ruang imajinasi setingi-tingginya.
Kucubit juga tanganku. Sakit kurasakan.
Matahari sudah tepat berada di atas, dan aku
harus segera mempercepat langkahku. Kurasa, aku telah melewatkan acara yang
pertama dimana sang pangeran begitu terpana melihat seorang putri yang baru
datang. Tak apa bagiku melewatkan bagian itu, yang penting aku datang dan masih
bisa menyaksikan sisa-sisa acaranya.
Meski jalan yang kutempuh asing bagiku, tapi
aku dengan mudah bisa sampai di Singgasana awan lebih cepat dari perkiraan. Walaupun
tak ada orang yang memedulikanku saat aku menanyakan kearah mana aku seharusnya
lewat untuk bisa sampai di Singgasana awan, tapi aku dengan yakinnya pasti akan
sampai lebih cepat dari perkiraanku. Dan itu benar terjadi. Keyakinan memang
tak pernah salah.
Ada banyak tanda yang tenyata tepasang dengan
rapi menunjukkan jalan menuju Singgasana awan. Tapi anenya, setiap orang yang
terlihat seperti orang kota itu tak pernah menjawab pertanyaanku. Padahal tanda
itu hampir selalu ada diantara mereka, aku melihat salah satu tanda ada di pakaian
salah seorang yang tak menjawab pertanyaanku itu. Mungkinkah ia dan juga mereka
tidak melihatnya atau bahkan tidak bisa melihatnya?
Dengan bantuan tanda-tanda dengan lambang SA
yang kuartikan petunjuk itu, akhirnya sampai juga di Singgasana awan. Terlihat
warga Nimbus begitu antusias ingin menyaksikan upacara sang pangeran. Meski
saling berdesakan, sepertinya mereka rela saja melakukannya. Begitu juga dengan
diriku.
Mungkin selama setengah jam aku berdesakan,
berada di tengah-tengah keramaian orang untuk yang pertama kalinya. Begitu sang
pangeran berdiri, aku melihat ke arah sampingnya, barangkali sang putri sudah
berada di sampingnya. Tapi, tak kulihat siapapun, hanya ada sang pangeran
seorang diri.
Setelah cukup susah kudongakkan kepalaku
ditengah kesesakan demi melihat sang putri yang akan bersanding dengan
pangeran, aku kembali menurunkan kepalaku dan terjermbab dalam sesak.
“Sang putri telah datang dan ia sekarang
sedang berada di tengah-tengah kalian, harap berilah ia jalan.” Suara sang
pangeran terdengar.
Aku tak bisa berkutik dalam sesak seperti ini.
Mereka semua menjadi dua kali lipat ributnya. Aku tak tahu bagaimana caranya
lepas dari keramaian ini.
Tiba-tiba saja, suara sang pangeran semakin
keras terdengar dan suara warga mendadak sunyi. Aku mulai bisa bernapas lega.
Setelah cukup lama jenuh menatap kebawah dimana hanya ada kaki para warga dan
tanah. Akhirnya bisa juga aku menatap ke depan. Bersamaan dengan itu pula,
hadirlah sekomplotan rasa penasaran yang maha dahsyat lagi ketika yang berdiri
didepanku adalah seorang pangeran. Dialah pangeran Cirrus.
Aku bertanya dalam sunyi, dan juga kepada
suasana sunyi yang sepanjang jalan tadi tak bisa kutitipkan apapun kecuali yang
ada hanyalah bayangan pangeran Cirrus.
Diam dan ternganga melihat sang pangeran
memohon pada diriku yang jauh dari sosok seorang putri ini untuk menjadi
seorang putri yang akan bersanding dengannya. Aku seakan melayang melintasi
para awan yang tersinari mentari hingga berkilau-kilau jika dipandang mata.
Seluruh warga yang menyaksikan tak kalah
mendadak terkejut dengan adegan ini. Tapi, pada akhirnya mereka bersorak untuk
terima lamaran sang pangeran.
“Terima, terima, terima…” Warga saling
bersorak-sorak.
Dengan sedikit kaku aku ingin tersenyum, dan
akhirnya kuanggukan juga kepala ini tanda menerima lamaran sang pangeran.
Aku dipersilakan sang pangeran untuk berdiri
di depan Singgasana awan. Sungguh tak bisa kukatakan seluruh yang bisa kulihat
dan seluruh yang kurasakan. Semuanya bertepuk tangan dan sang pangeran
mengucapkan terima kasih untuk kedatangan para warga di acara ini.
Aku takjub. Aku masih terkagum-kagum dengan
segalanya. Hingga akhirnya akupun pingsan dan terjatuh sakit.
Ternyata aku dibawa ke Negeri Fibratus yang
katanya negeri asalku berada. Di sana aku akan menjalani perawatan untuk segala
rasa sakit yang kualami. Entahlah, aku tak pernah mengetahui riwayat
penyakitku. Orang-orang di sini berkata,”Obat untuk rasa sakitmu itu adalah
bertemu kembali dengan kedua orang tuamu di sini, selau ikuti keyakinanmu, lalu
berkawanlah dengan semua orang. Dan jika sudah sembuh nanti, sang pangeran akan
siap menjemputmu ke Singgasana awannya.”
Kembali menatap segenggam awan yang kuciduk
sewaktu aku berdiri di depan Singgasana awan bersama pangeran Cirrus yang
ketika itu sedang mengucapkan rasa terima kasihnya kepada warga Nimbus, aku
berjanji akan sembuh. Segenggam awan ditanganku bergerak seakan mengiyakan dan
menjawab, “Tunggulah sang pangeran Cirrus yang pasti menjemputmu ke singgasana
awan ketika kau sembuh.”
Keterangan: Cirrus dan Nimbus diambil dari
nama-nama awan.
No comments: