Cakrawala Rumahku
Semesta ini begitu luas dan semua orang
mengetahuinya. Cakrawala tempatku berlindung, mendekapku erat meski air mata
tak terpancar dari raut wajahku. Cakrawala rumahku.
Aku menangis sore ini. Entah kenapa. Hanya ingin
menangis saja. Kusaksikan makhluk kecil saling melangkah cepat, menghindari air
mataku. Melihat mereka, air mataku semakin tumpah. Entah kenapa. Aku terlalu
suka dengan air mataku akhir-akhir ini. Bagaimana dengan mereka? Sukakah mereka
dengan air mataku? Mereka basah kuyup, kedinginan, bahkan menghidupkan rasa
sepi diantara mereka. Tapi akupun tak lelah menangis. Air mataku tak henti
hingga larut malam, menerobos senja yang berwajah sengit kepadaku. Aku semakin
tersedu-sedu.
Makhluk kecil yang kulihat, ternyata memiliki nama
untuk air mataku ini. Mereka memanggilnya hujan. Aku suka sekali dengan sebutan
itu, semakin melengkapi. Cakrawala tetap menjadi rumahku, tempatku berteduh.
Dari tempatku berada, kusaksikan semesta ini hidup. Kudengar degup jantungnya,
kutatap matanya yang bersinar, kuhirup aroma buih kehidupan yang entah seperti
apa. Dan aku semakin tak mengerti, karenanya kuteteskan air mata ini dan tak
kunjung habis. Lelah, dan semakin lelah ketika berhenti menangis. Aku suka air
mata. Air mata adalah kehidupanku.
Makhluk kecil yang kulihat, ternyata juga memiliki
nama untuk aku. Aku yang mereka benci, mungkin. Aku yang membuatnya basah
kuyup, berteduh di tengah jalan, membuat keterlambatan di sana-sini, dan juga
membuat diantara mereka merasa sepi dan semakin galau. Aku senang dipanggil
mereka dengan sebutan awan. Awan. Awan. Awan. Kuucap beberapa kali, kuulang dan
kuulangi lagi. Masih tetap sama. Awan. Begitu mereka menyebutku. Aku menyukai
air mata. Air mata adalah kehidupanku.
Cakrawala akan selalu menjadi rumahku. Cakrawala,
tempatku bersandar sepanjang waktu. Memandang semesta sepanjang hidupku yang
singkat tanpa pernah memilikinya. Jika tidak putih, aku akan menjadi kelabu.
Aku menyukai air mata, sedang makhluk kecil itu mungkin tidak. Aku tidak terlalu
suka ditatap oleh mentari, tapi tatapan itu selalu menyinariku, membuatku
semakin indah dipandang bagi mereka yang mengagumiku. Aku tak pernah merasa
dikagumi, kecuali oleh seorang makhluk kecil yang matanya selalu bersinar
menatapku dan bibirnya tersenyum tipis meski tak terlihat olehku. Aku hanyalah
awan di langit. Rumahku adalah cakrawala. Setiap hari kupandangi semesta ini dan
aku menyukai air mataku. Mentari membuatku tersenyum. Aku hanyalah awan yang
membubung ke atas, bergerak dan selalu bergerak, dan jika saatnya tiba aku
adalah air mata yang luruh menghunjam bumi. Kau menyebutku hujan. Hujan.
Keep on Writing #One day One Writing
Keep on Writing #One day One Writing
No comments: