Cakrawala Rumahku

Tuesday, April 22, 2014


Semesta ini begitu luas dan semua orang mengetahuinya. Cakrawala tempatku berlindung, mendekapku erat meski air mata tak terpancar dari raut wajahku. Cakrawala rumahku.
Aku menangis sore ini. Entah kenapa. Hanya ingin menangis saja. Kusaksikan makhluk kecil saling melangkah cepat, menghindari air mataku. Melihat mereka, air mataku semakin tumpah. Entah kenapa. Aku terlalu suka dengan air mataku akhir-akhir ini. Bagaimana dengan mereka? Sukakah mereka dengan air mataku? Mereka basah kuyup, kedinginan, bahkan menghidupkan rasa sepi diantara mereka. Tapi akupun tak lelah menangis. Air mataku tak henti hingga larut malam, menerobos senja yang berwajah sengit kepadaku. Aku semakin tersedu-sedu.

Makhluk kecil yang kulihat, ternyata memiliki nama untuk air mataku ini. Mereka memanggilnya hujan. Aku suka sekali dengan sebutan itu, semakin melengkapi. Cakrawala tetap menjadi rumahku, tempatku berteduh. Dari tempatku berada, kusaksikan semesta ini hidup. Kudengar degup jantungnya, kutatap matanya yang bersinar, kuhirup aroma buih kehidupan yang entah seperti apa. Dan aku semakin tak mengerti, karenanya kuteteskan air mata ini dan tak kunjung habis. Lelah, dan semakin lelah ketika berhenti menangis. Aku suka air mata. Air mata adalah kehidupanku.
Makhluk kecil yang kulihat, ternyata juga memiliki nama untuk aku. Aku yang mereka benci, mungkin. Aku yang membuatnya basah kuyup, berteduh di tengah jalan, membuat keterlambatan di sana-sini, dan juga membuat diantara mereka merasa sepi dan semakin galau. Aku senang dipanggil mereka dengan sebutan awan. Awan. Awan. Awan. Kuucap beberapa kali, kuulang dan kuulangi lagi. Masih tetap sama. Awan. Begitu mereka menyebutku. Aku menyukai air mata. Air mata adalah kehidupanku.
Cakrawala akan selalu menjadi rumahku. Cakrawala, tempatku bersandar sepanjang waktu. Memandang semesta sepanjang hidupku yang singkat tanpa pernah memilikinya. Jika tidak putih, aku akan menjadi kelabu. Aku menyukai air mata, sedang makhluk kecil itu mungkin tidak. Aku tidak terlalu suka ditatap oleh mentari, tapi tatapan itu selalu menyinariku, membuatku semakin indah dipandang bagi mereka yang mengagumiku. Aku tak pernah merasa dikagumi, kecuali oleh seorang makhluk kecil yang matanya selalu bersinar menatapku dan bibirnya tersenyum tipis meski tak terlihat olehku. Aku hanyalah awan di langit. Rumahku adalah cakrawala. Setiap hari kupandangi semesta ini dan aku menyukai air mataku. Mentari membuatku tersenyum. Aku hanyalah awan yang membubung ke atas, bergerak dan selalu bergerak, dan jika saatnya tiba aku adalah air mata yang luruh menghunjam bumi. Kau menyebutku hujan. Hujan.

 Keep on Writing #One day One Writing

No comments:

Powered by Blogger.