Arrgh, This is So Jet Lag!

Saturday, April 19, 2014





24 jam.
Dua puluh empat jam pula bumi berotasi. Dan, dua puluh empat jam juga, aku bernapas tanpa henti setiap hari. Selalu.
7 hari.
Tujuh hari selama seminggu, namun hanya dua kali dua puluh empat jam, kemungkinan aku menghitung detik demi detik yang begitu berharga. Berharga. Berharga karena waktu tak pernah mengenal masa yang telah lalu.
1 bulan.
Satu bulan itu, jika aku hitung dan dirata-rata, setidaknya tiga puluh hari selama sebulan. Paling hanya tujuh hari kali dua puluh empat jam,  kemungkinan  aku melawan waktu yang tak pernah menungguku. Selalu meninggalkanku.  
Oh My God! Sudah hampir empat bulan! Apa!
Apa sih yang kamu baca? Ini lho aku lagi baca bukunya Pramoedya Ananta Toer yang tetralogi buru. Bahkan prolognya aja….sungguh memesona….dan membuatku terkesima.
“Penjara tak membuatnya berhenti sejengkalpun menulis. Baginya menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen, terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar. Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.” Ada disetiap prolog buku tetraloginya.  Mungkin.(Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa) Baru dua yang kubaca.
Wooow, so woow, karyanya DITERJEMAHKAN. 42 Bahasa Asing. Keeeereeeen!

Tak hanya itu, setiap jengkal diksi (every single word) yang dipilihnya. Gak main-main. Gak tanggung-tanggung. Menyentuh, menghipnotis, menculik, menyayat, menyandra hingga membunuh waktu bagi yang membacanya. Tapi juga penuh pesan moral dan kebijaksanaan yang patut dicontoh dan ditiru. Amanat.
“Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.” (Anak Semua Bangsa – Pram)
Aku sukaaaaaaaaa sekaliii.
Tok. Tok. Tok. Jam dinding bertotok. Aneh. Ya ampun, jam 4 sore. Oh besok mesti bimbingan proposal lagi, udah sampai mana si garapannya akuu!
Hmmmmmm,,,,,,, Cenut…cenut…cenut…Headache.
Hoaaaaam…..
Buka, dibuka, dibalik, dibolak kertas HVS kakak beradik A4 dan F4. Uh…..
Masukin referensi. Gak boleh sembarangan nulis. Harus ada teorinya. Ingat! Cantumkan referensinya kalo gak mau didenda!
            Metode kolaboratif menekankan proses, bukan produk (hasil akhir), artinya nilai akhir menulis kolaboratif didapat bukan dari apa yang dihasilkan, melainkan bagaimana mereka menghasilkannya. Teknik pengajaran menulis kolaboratif melibatkan sejawat untuk saling mengoreksi (Alwasilah dan Senny 2005:21dalam Wijayanti 2012:206).

          Saya masih belum 100% mudeng tentang kutipan, Pak. Yaaah

            Tertunduk. Termenung. Terhening.

            Lelah. Capek. Lesu. Letih. Lunglai.

            Coba deh baca buku ini, aapiiik bangeet temenan.

            seperti sehelai daun…daun yang jatuh tak pernah membenci angin…

            “Bahwa hidup harus menerima….penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti….pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami….pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.”  (Daun yang jatuh tak pernah membenci angin-Tere Liye)

            Aku tersenyum. Aku sukaaa lagiii. (Gak ada yang nanya siih).

            Lagiii…lagiii dan lagiii…

            Baiklah….

            “Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Kata-kata tidak ada gunanya, dan selalu sia-sia.” Halaman 6.

            “Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna, kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya, setiap arti bisa diubah maknanya.” Masih halaman 6.

            “Barangkali senja ini bagus untukmu. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.” Halaman 8. “kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.” Masih halaman 8.

            Halaman 16. Sebuah catatan kaki.

            Subagio Sastrawardojo, Manusia Pertama di Angkasa Luar (1961): ….Biarlah aku satu kata puisi/daripada seribu rumusmu yang penuh janji/yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi/yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi/Tetapi aku telah sampai pada tepi/Darimana aku tak mungkin lagi kembali.

            (A Slice of Sunset for My Sweetheart – Seno Gumira Ajidarma)


            Ini sastra. Ini sastra. This is me. Me in my world.(Hope).

            Awesome.  

            Spring and Autumn at the same time in my heart.

            Terrific. Marvelous.

            Okay, lanjutkan proposalmu. Heyyyy….lanjutkan!

            Hmmmmmm…. Take a deep deep deep breath.

            Berkaitan dengan uraian di atas, menulis sering dianggap suatu ketrampilan bahasa yang paling sulit dan kompleks karena mensyaratkan adanya keluasan wawasan dan melibatkan proses berpikir yang ekstensif (Hapsari, 2011:123). Menulis dianggap lebih sulit dikuasai pembelajar dan sulit diajarkan oleh pengajar (Alwasilah 2000a dalam Wijayanti, 2012:205). Dengan demikian, ketrampilan menulis perlu diajarkan sejak dini untuk melatih dan memunculkan kebiasaan menulis termasuk dalam pembelajaran bahasa Inggris tingkat SMP dengan menerapkan metode yang efektif yaitu kolaborasi.

            Hoaaammm…..haaaah selesai juga akhirnya.

            Fiksi, non fiksi, fiksi, non fiksi, fiksi, non fiksi….Jet Lag!
            Logika, feeling, logika,  

            Bukankah berkutat dengan tulisan pun bisa jadi perjalanan.  Membaca, menulis…. Arrgh, This is So Jet Lag!
Keep on writing! #One Day One Writing

No comments:

Powered by Blogger.