Karena Aku, Aneh
Bagaikan hembusan angin yang melambaikan dedaunan, bergoyang hingga
menari tanpa aturan, seperti itukah hidupku?
Kumenanti alat yang
bisa mengatur arah angin, tapi bukan kipas angin. Aku mencari angin yang bisa
menerbangkan anganku tanpa harus menjatuhkanku. Tapi, angin tak pernah
mencariku. Kuusap keringat yang hampir menetes di dahiku melewati pelipis mata,
tisuku luluh lantah menjadi serpihan tak terhingga karena keringatku. Angin di
ujung desa sana telah memporak-porandakan puluhan rumah. Masihkah aku ingin
mencari angin, yang bahkan tak pernah mencariku?
“Aku pikir, namamu yang
tertera di sini?” Tanya Isel.
Isel menatapku penuh tanya, seakan
memaksa jika buku yang ada di tangannya itu, haruslah buku yang ditulis olehku.
Aku sungguh tak mengerti.
“Hehehe, bukanlah!” Aku tersenyum
kecut.
Sungguh aku tak ingin memperpanjang
obrolan ini dengannya, Isel temanku.
“Katanya, kamu suka nulis yaah? Mau
baca dooong?” Lontar Isel dengan begitu ramah.
Aku masih enggan ngobrol
dengannya, kubiarkan kami membisu. Maksudnya, Isel dengan senyum bisunya dan
aku tetap diam seribu kata.
“Tapi tulisanku jelek, aku suka
nulis, tapi aku jarang nulis.” Kujawab juga lontaran Isel. Meski masih dengan
nada yang masam.
“Hihihi, ooh begitu yaah, aneh yaa
suka nulis, tapi jarang nulis. Hehehe.” Isel menjawab lagi.
“Hihihi, iyaah, aku emang aneh,
mungkin aku suka dengan dunia kepenulisan saja, bukan suka nulisnya. Tapi, aku
juga suka nulis sih.” Jawabku ribet.
“Lho gimana?” Sela Isel.
Kuceritakan padanya tentang diriku
yang memang aneh. Orang waras itu, sudah sepatutnya berlogika. Tapi aku suka
menelantarkan logikaku. Aku lebih senang menjawab tidak tahu dibandingkan
dengan sejuta alasan masuk akal yang menurutku itu akan menjadi tidak masuk
akal ketika dipikirkan kembali. Aku sungguh aneh. Iya, aneh. Itulah diriku. Aku
suka nulis, tapi jarang menulis. Lebih tepatnya, aku suka dunia kepenulisan.
Tenggelam adalah hobiku. Menulis
membuatku bisa tenggelam, menelusuri lautan yang begitu dalam dan sangat jarang
terjamah oleh orang-orang. Aku sungguh menyukainya. Anehkah? Karena aku
tenggelam, aku jauh dari keramaian. Aku bebas dan aku bisa merefleksikan apa
yang telah membuatku tenggelam. Menulis membuatku belajar banyak hal, karena
menulis membuatku tenggelam, jauh dan dalam. Aku bangun segalanya. Awan, angin,
air, api, juga matahari. Aku tahu, aku aneh. Sungguh aneh.
Karena itulah aku menulis, hingga
aku belajar dan tahu bahwa aku memang aneh. Aku lebih suka tenggelam, tapi aku
tidak begitu suka dengan permukaan. Aku suka tenggelam. Suka sekali.
Sekarang, keringat itu semakin bercucuran
hingga membasahi baju dan memberinya aroma yang bukan wangi tentunya. Masihkan
kucari angin? Tidak, aku tak ingin mencari angin lagi. Sudah kukatakan, aku
suka tenggelam, suka sekali tenggelam. Hanya air yang bisa membuatku tenggelam,
karenanya akan aku cari air, bukan angin. Air, bukan angin.
“Pak, beli air mineral yang botol
tanggung dua yaah pak?” Pintaku pada penjual toko di depan jalan raya kotaku.
Satu untukku, satu untuk Isel,
temanku.
Keep On Writing #One Day One
Writing
*Home 12.50 p.m.
No comments: