Menilik Masa Silam (part 1)
Berandai-andai demi pandai
mengandaikan andai-andai lumut, yang tampil di pesta perpisahan tujuh tahunan
silam. Pengandaian yang begitu landai bak degup-degup suara riuh jantung, saling
bergemuruh memecah genderang yang ditabuh bersama alunan pianika. Satu lustrum
yang lalu.
Degup
yang sama muncul dari jantung yang sama. Sama seperti satu lustrum yang lalu.
Tidak sama seperti sedia kala meski sama. Berbeda meski ada yang sama. Tak sama
meski ada persamaan. Kali ini, aku datang kembali lagi ke sini. Tujuanku tak
lagi sama seperti masa silam walaupun degup lustrum ini masih sama selustrum
yang lalu. Andai aku berandai-andai bagai andai-andai lumut. Andai.
Hari
pertama.
Sebenarnya
bukan hari pertama, tapi ini adalah hari pertama. Hari pertama bagiku memasuki
ruang kelas. Aku datang sangat awal. Seperti kebiasaanku selustrum yang lalu.
Andai aku berandai-andai pada ingatan yang tak tunduk pada rangkaian kataku
yang landai. Jalanku lurus. Dulu, jalanku ada belokan, tak selurus ini. Tapi
dulu, aku selurus ini dengan segala kerapuhan katak dalam tempurungnya. Aku
masuk saja dengan sekantong senyum yang sudah kupersiapkan sedari rumah.
Kuperkirakan tak akan kurang, justru akan surplus sesampainya pulang nanti.
Sekantong senyum yang kubungkus tadi pagi adalah bekalku sekarang. Padahal dulu
sekantong berisi Rp. 3000 hingga Rp. 5000.
Aku
bertemu dengan sosok WAKA, dan akhirnya bekalku terpakai lagi. Masuk melewati
pintu depan sudah kupakai bekalku itu, kutilik setelah dua kali habis terpakai,
ternyata stok bekalku tak berkurang sama sekali. Aku begitu semakin sumringah.
Kata sang WAKA itu, aku diharuskan menyisipkan materi UKK, bila perlu adakan
jam tambahan. Seketika bekalku seakan bertambah dan menumpuk di kantongku.
Sembari
menyusun ulang bekal yang justru semakin menggembung ini, aku memutar balik
langkah. Bekalku selalu terpakai. Begitu banyak pahlawan tanpa tanda jasaku
selustrum yang lalu, kian hilir mudik menjamah jalanan yang jarang aku jamah
selustrum silam. Sepertinya, bekalku kini benar sudah banyak yang terpakai.
Kuraba, kantongku ternyata menipis.
Aku
diam. Aku duduk. Aku sendiri. Aku menulis di atas meja. Ada jam dinding yang
berdenting tak lelah, ada papan-papan profil sekolahku selustrum yang lalu ini
dan senantiasa bergeming menjadi saksi bisu akan hadirnya kembali aku ke sini,
ada juga piala-piala yang mungkin tak pernah mengenalku sehingga menatapku pun
enggan, mereka hanya melirikku saja. Aku sibuk menulis visi dan misi sekolahku
ini, sekolahku selustrum yang lalu.
Ternyata,
aku sedang menunggu. Menunggu kantongku terisi penuh kembali. Kupakai lagi
bekalku. Aku tersenyum menghormati guru PAI yang lewat mengherani wajahku yang
tak asing baginya.
“Oh
dulu kamu angkatan berapa?” tanyanya begitu antusias setelah tahu bahwa aku ini
salah satu muridnya.
Ku
bilang, “saya waktu itu, angkatan 2007 Bu…” Beliau tersenyum lega, dan begitu
lega setelah mendapatkan jawaban yang menguras dan mengisi penuh kembali
kantongku yang menipis. Kantong senyumku.
Sesekali,
dua kali, ah ternyata sering kali aku melangkahkan kaki ini. Ke arah depan,
samping, mungkin mondar-mandir adalah kata yang lebih bijak. Uh, kantongku
sudah penuh lagi. Tiga puluh menit lagi, aku akan bernostalgia masuk ke ruang
kelas.
Lagi.
Aku mendengar genderang drumband, ekstra kurikuler yang pernah aku ikuti
selustrum yang lalu. Tengok kanan, tengok kiri ternyata sepi. Uh, itu genderang
jantungku. Baru kusadari, dan sesegera kurogoh bekalku dalam takaran yang tak
biasa, aku senyum lebar pada guruku yang sekarang akan membimbingku. Aku
mengikutinya, berjalan beriringan sambil bertukar cerita antara dahulu dengan
sekarang.
Aku
lupa. Andai aku lupa hal penting ini. Berandai-andai untuk pandai mengingat hal
penting ini, kini aku menulis. Guruku sekaligus pembimbingku ini memberikan
wejangan, menurutku background knowledge juga.
“Mereka
itu kan masih kelas 7, jadi kalau untuk menulis itu yaa masih susah. Apalagi
kalau bikin kalimat. Mereka masih bingung pake simple present.” Kata guruku
sekaligus pembimbingku itu.
“Ooh,
ya ya.” Aku mengangguk dan memakai bekal senyumku tanda menghormatinya.
“Kalau
ada gambar, misalnya orang lagi menyiram bunga, terus disampingnya lagi
mencangkul di sawah, nah yang begitu yaa mereka juga masih belum bisa
menuliskan. Tapi, mereka anaknya mau belajar. Dan sudah saya bilang, kalau ada
tulisannya yaa pasti ada nilainya. Yang penting diisi, jangan dibiarkan kosong.
Mereka yaa manut.” Tambah beliau.
“Berarti
mereka mau berusaha yaa Bu….”
“Iya.”
Jawab beliau singkat.
Rekaman
ini kubawa sepanjang perjalanan menyusuri nostalgia ruang demi ruang, bahkan
lapangan saksi genderang hati selustrum yang lalu. Berandai-andai demi pandai
mengandaikan andai-andai lumut yang tampil di pesta perpisahan tujuh tahunan
silam. Di sini. Saksi bisu. Genderang berlabuh, rekaman diputar, nostalgia
mencekam dan aku grogi ditonton diriku selustrum yang lalu. Sudah berbeda, tak
sama. Aku pun tak sama. Aku masuk ke kelas. Mendapat bimbingannya yang begitu
berharga aku mendengar mereka bertepuk tangan. Dan, aku mulai memperkenalkan
diriku sendiri, aku grogi. Kataku belepotan dan kupegang spidol. Kutuliskan
tahapan teknik pembelajaran yang akan aku terapkan. Aku bilang, “Okay, I’m not
your teacher, so here we’ll learn together.”
...
No comments: