Menilik Masa Silam (part 1)

Tuesday, May 20, 2014


Berandai-andai demi pandai mengandaikan andai-andai lumut, yang tampil di pesta perpisahan tujuh tahunan silam. Pengandaian yang begitu landai bak degup-degup suara riuh jantung, saling bergemuruh memecah genderang yang ditabuh bersama alunan pianika. Satu lustrum yang lalu.
            Degup yang sama muncul dari jantung yang sama. Sama seperti satu lustrum yang lalu. Tidak sama seperti sedia kala meski sama. Berbeda meski ada yang sama. Tak sama meski ada persamaan. Kali ini, aku datang kembali lagi ke sini. Tujuanku tak lagi sama seperti masa silam walaupun degup lustrum ini masih sama selustrum yang lalu. Andai aku berandai-andai bagai andai-andai lumut. Andai.
            Hari pertama.
            Sebenarnya bukan hari pertama, tapi ini adalah hari pertama. Hari pertama bagiku memasuki ruang kelas. Aku datang sangat awal. Seperti kebiasaanku selustrum yang lalu. Andai aku berandai-andai pada ingatan yang tak tunduk pada rangkaian kataku yang landai. Jalanku lurus. Dulu, jalanku ada belokan, tak selurus ini. Tapi dulu, aku selurus ini dengan segala kerapuhan katak dalam tempurungnya. Aku masuk saja dengan sekantong senyum yang sudah kupersiapkan sedari rumah. Kuperkirakan tak akan kurang, justru akan surplus sesampainya pulang nanti. Sekantong senyum yang kubungkus tadi pagi adalah bekalku sekarang. Padahal dulu sekantong berisi Rp. 3000 hingga Rp. 5000.
            Aku bertemu dengan sosok WAKA, dan akhirnya bekalku terpakai lagi. Masuk melewati pintu depan sudah kupakai bekalku itu, kutilik setelah dua kali habis terpakai, ternyata stok bekalku tak berkurang sama sekali. Aku begitu semakin sumringah. Kata sang WAKA itu, aku diharuskan menyisipkan materi UKK, bila perlu adakan jam tambahan. Seketika bekalku seakan bertambah dan menumpuk di kantongku.
            Sembari menyusun ulang bekal yang justru semakin menggembung ini, aku memutar balik langkah. Bekalku selalu terpakai. Begitu banyak pahlawan tanpa tanda jasaku selustrum yang lalu, kian hilir mudik menjamah jalanan yang jarang aku jamah selustrum silam. Sepertinya, bekalku kini benar sudah banyak yang terpakai. Kuraba, kantongku ternyata menipis.
            Aku diam. Aku duduk. Aku sendiri. Aku menulis di atas meja. Ada jam dinding yang berdenting tak lelah, ada papan-papan profil sekolahku selustrum yang lalu ini dan senantiasa bergeming menjadi saksi bisu akan hadirnya kembali aku ke sini, ada juga piala-piala yang mungkin tak pernah mengenalku sehingga menatapku pun enggan, mereka hanya melirikku saja. Aku sibuk menulis visi dan misi sekolahku ini, sekolahku selustrum yang lalu.
            Ternyata, aku sedang menunggu. Menunggu kantongku terisi penuh kembali. Kupakai lagi bekalku. Aku tersenyum menghormati guru PAI yang lewat mengherani wajahku yang tak asing baginya.
            “Oh dulu kamu angkatan berapa?” tanyanya begitu antusias setelah tahu bahwa aku ini salah satu muridnya.
            Ku bilang, “saya waktu itu, angkatan 2007 Bu…” Beliau tersenyum lega, dan begitu lega setelah mendapatkan jawaban yang menguras dan mengisi penuh kembali kantongku yang menipis. Kantong senyumku.
            Sesekali, dua kali, ah ternyata sering kali aku melangkahkan kaki ini. Ke arah depan, samping, mungkin mondar-mandir adalah kata yang lebih bijak. Uh, kantongku sudah penuh lagi. Tiga puluh menit lagi, aku akan bernostalgia masuk ke ruang kelas.
            Lagi. Aku mendengar genderang drumband, ekstra kurikuler yang pernah aku ikuti selustrum yang lalu. Tengok kanan, tengok kiri ternyata sepi. Uh, itu genderang jantungku. Baru kusadari, dan sesegera kurogoh bekalku dalam takaran yang tak biasa, aku senyum lebar pada guruku yang sekarang akan membimbingku. Aku mengikutinya, berjalan beriringan sambil bertukar cerita antara dahulu dengan sekarang.
            Aku lupa. Andai aku lupa hal penting ini. Berandai-andai untuk pandai mengingat hal penting ini, kini aku menulis. Guruku sekaligus pembimbingku ini memberikan wejangan, menurutku background knowledge juga.
            “Mereka itu kan masih kelas 7, jadi kalau untuk menulis itu yaa masih susah. Apalagi kalau bikin kalimat. Mereka masih bingung pake simple present.” Kata guruku sekaligus pembimbingku itu.
            “Ooh, ya ya.” Aku mengangguk dan memakai bekal senyumku tanda menghormatinya.
            “Kalau ada gambar, misalnya orang lagi menyiram bunga, terus disampingnya lagi mencangkul di sawah, nah yang begitu yaa mereka juga masih belum bisa menuliskan. Tapi, mereka anaknya mau belajar. Dan sudah saya bilang, kalau ada tulisannya yaa pasti ada nilainya. Yang penting diisi, jangan dibiarkan kosong. Mereka yaa manut.” Tambah beliau.
            “Berarti mereka mau berusaha yaa Bu….”
            “Iya.” Jawab beliau singkat.
            Rekaman ini kubawa sepanjang perjalanan menyusuri nostalgia ruang demi ruang, bahkan lapangan saksi genderang hati selustrum yang lalu. Berandai-andai demi pandai mengandaikan andai-andai lumut yang tampil di pesta perpisahan tujuh tahunan silam. Di sini. Saksi bisu. Genderang berlabuh, rekaman diputar, nostalgia mencekam dan aku grogi ditonton diriku selustrum yang lalu. Sudah berbeda, tak sama. Aku pun tak sama. Aku masuk ke kelas. Mendapat bimbingannya yang begitu berharga aku mendengar mereka bertepuk tangan. Dan, aku mulai memperkenalkan diriku sendiri, aku grogi. Kataku belepotan dan kupegang spidol. Kutuliskan tahapan teknik pembelajaran yang akan aku terapkan. Aku bilang, “Okay, I’m not your teacher, so here we’ll learn together.

...

No comments:

Powered by Blogger.