Kue Brownies Versus Rainbow Cake
BAB 1
HOME
Nampaknya ini seperti home sweet home. Rumah dan seisinya
menggerogoti dan menerkam diri ini. Tak bisa berkutik. Terjebak dan terbelenggu
di sini. Mengasingkan diri. Mungkin. Uh, bukan.
Aku hanya menghabiskan waktuku dengan
membaca buku, novel, dan mendengarkan music selama beberapa hari ini usai ujian Nasional aku kupas
habis dengan lahapnya. Kusempatkan sejam
saban hari menengok dan membaca buku pelajaran dan soal-soal latihan UAS.
“Nida, kamu pengen kuliah jurusan
apa?” tanya mamaku.
Ganida Putri Sabila adalah nama
lengkapku dan mamaku sudah terbiasa memanggilku Nida sejak aku kecil, sejak
bayi mungkin. Hingga 17 tahun ini, aku belum punya kamar sendiri. Sedih memang.
Sudah seringkali aku minta bapak buatin kamar untukku, tapi tak ada jawaban serius darinya. Jadi, kamarku
adalah kamar kedua orang tuaku juga. Tapi bukan berarti satu ranjang, karena
ada pembatas tentunya. Memang bukan tembok,
hanya sekedar lemari yang memanjang saja. Kalau dilihat dari luar, seperti 2
kamar, tapi masuk ke kamar yang satu, lalu bisa keluar dari kamar yang kedua.
Mamaku adalah orang terdekat nomor
satu diduniaku, karenanya aku ingin sekali berusaha membuatnya selalu bahagia,
pun dengan menjawab pertanyaannya.
“Aku masih bingung mah, ada 2 jurusan
yang aku sukai, antara psikologi dan sastra, tapi pengumuman kelulusan SMA aja
beluuuuum. Mah, doakan dapet nilai yang bagus yaa mah” jawabku. Aku melepas
headset lalu menoleh ke arah mamah dan tersenyum
padanya.
Sambil memakai celemek yang terpasang
dibagian depan tubuhnya, bergerak ke kanan, kiri, mengecap rasa, pun tangannya
terus meraih bahan-bahan makanan yang hendak dimasaknya, mamahku terus berusaha
menjawab.
“Pengumumannya kapan da?, ya pasti
dong, mamah doakan dapet nilai yang bagus ya. Serius kamu, mau milih jurusan
psikologi?. Emangnya kamu suka?.”
Aku masih duduk didepan meja makan. Handphone
dan headset sudah tergeletak di meja. Sekarang, novel a cup of apel juice and a
bottle of coffee latte sedang bersandar dikedua tanganku. Aku bisa jadi patung
kalau lagi baca novel. Bahkan mamah harus mengeraskan volume suaranya untuk
memanggilku yang hanya berjarak 2meteran saja.
“Nidaaaa….! Mamah nanya kok malah
didiemin gitu. Kebiasaan deh, novel mulu yang ada ditangan.” Mamah mulai
ngomel.
“Hehe, mamah. Mamah tanya apa tadi
yaah?. Ceritanya bagus mah, butuh konsentrasi yang kuat biar nyatu sama ceritanya
mah. Hehe, kan Nida mau jadi pembaca yang baik.” Sambil senyum-senyum innocent.
“Biasa kamu, pertanyaannya udah lewat.
Mamah mau selesein masak dulu. Nih, kentang belum digoreng, telor
belum diaduk sama sekali. Bantuin mamah yuk!.”
“Oke mah, siap boss.”
Mamah hanya senyum sambil
geleng-geleng kepala.
***
Sehari, dua hari, tiga hari, dan hari
ini sudah genap seminggu. Tiba-tiba saja kuingat dia, yang selalu
menertawakanku setiap aku tak bisa passing atas dan bawah, yang hampir selalu
menemaniku berjalan pulang menyusuri jalanan kota yang ramai dengan seragam
sekolah khas dengan putih abu-abunya, dan juga dia yang tak pernah lupa
mengucapkan terimakasih setiap kali kami berpisah di perempatan depan Rumah
Sakit Hidayah Ibu. Kehadirannya seakan tak pernah kuharapkan, tapi selalu
kunanti.
Sejujurnya tak pernah kusuka dunianya,
dengan komik fanaticnya naruto. Aku sungguh sebal mendengarkan
ceritanya tentang kisah pertarungan naruto dengan sasuke, naruto sang hero,
team 7 dan segala khas anime satu itu. Saking sebelnya, aku jadi hafal dengan ceritanya.
“Stop. Kenapa aku jadi hafal? Uh, mengingatnya membuatku lupa
akan duniaku sendiri, huaaa,” gerutuku dalam hati.
Aku sama sekali tak suka dengan anime, aku hanya menyukai cerita dongeng. Bahkan aku lebih suka dan sangat suka membaca cerita di buku-buku.
Jika disuruh milih antara nonton sama baca, kupilih
baca dulu, baru aku mau nonton. Bapak mengajariku seperti itu, dari kecil.
Sekarang sudah menjadi kebiasaanku.
Oleh karena itulah, aku sungguh tak
tertarik dengan ceritanya tentang naruto itu. Tapi hal hal kecilnya, tawa
riangnya, dan kekonyolan yang hampir selalu membuat kami dalam keadaan senang, baru
kusadari saat ini. Hal kecil itulah yang ternyata aku nantikan. Rasa-rasanya
liburan sebelumnya tak pernah kurasakan seperti ini. Baru hari ini. Sudah tiga
tahun kami berteman, apakah aku sedang takut akan berpisah dengannya ketika
kami sudah lulus.
Jiwanya yang optimis dan riang selalu
membuatku haus akan kedua hal itu. Kami
sungguh berbeda.
Duniaku hampir selalu kupenuhi dengan
melankolis. Setiap novel yang kubaca, tak pernah aku tak menangis. Sekali aku
baca komik, aku bingung. Kepalaku pusing, bagian mana dulu yang harus aku baca.
Novel ada ditanganku, dan komik ada ditangannya. Aku tersedu-sedu, mataku berkaca-kaca.
Sedangkan dia tertawa terbahak-bahak membaca cerita yang lucu, lucu menurutnya.
Tapi tidak untukku.
***
You say good morning
When it’s midnight
Going out of my head
Lagu tersebut mengalun ditelinganya
lewat sebuah ponsel shopistichated ala 2011’an
ini, mungkin sejenis type android.
”Ehm,” sahutku.
“Hello Nida, selamaat pagiiiii. Semangat UAS!” Sambil berusaha menyapaku, Andi
mengepalkan tangannya meski belepotan menaruh headset kedalam sakunya.
Aku hanya tersenyum tipis. Ada sesuatu yang kurasa
berbeda. Suasananya tak sama, lain dari sebelumnya. Mungkin seminggu tak datang ke
sekolah. Seminggu yang lalu
adalah hari tenang
pasca UN dan menjelang UAS. Tepat hari ini Ujian Akhir Sekolah
mulai berjalan.
“Ada apa gerangan? Kenapa aku jadi lesu begini. Tak pantas
kiranya aku tak bersemangat begini. Apalagi ini ujian, harus bisa aku membawa
suasana yang menyenangkan. Bukan seperti ini, tak bergairah. Aku masih punya
mimpi”. Batinku ikut berbicara.
Aku berhenti di depan ruang 3. Tepat sekali ada taman di depannya, kuperhatikan taman itu tak seindah dulu ketika aku kelas 10. Kolam ikannya sudah kering, ditambah
tumbuhan, bunga-bungaan disekelilingnya sudah
ludes tak tersisa satupun. Padahal ingatan ini
terasa baru kemaren, masih jelas sekali. Waktu aku dan temen-temen kelas iuran
membeli bibit bunga lalu bekerja sama menanam bunga untuk diletakkan dihalaman
sekolah. Termasuk ditaman ini.
Aku ingat tanganku belepotan tanah
hanya untuk menanamnya, kemudian dengan senangnya aku bersihkan tanah yang menempel
di tangan dengan keran di depan taman ini. Tak sabar aku pun ingin bermain
air dengan ikan – ikan di kolam ini. Tanganku mulai menari di dalam air menyambut ikan. Dalam posisi duduk dengan kaki terendam kolam ikan, kami
berjejeran. Beberapa diantara kami takut dimarahi bapak-ibu guru. Sementara
sebagian besar dari kami termasuk aku memilih untuk tak peduli. Aku terlalu
hanyut dalam suasana seru itu. Kami saling berebut kemana arah ikan itu berenang. Andi, harfa, digta, syamna, dan ocila. Bersama
lima sahabat terbaikku, kenangan itu kuharap bisa menjadi tabungan untukku dalam
mengukir pahatan kenangan yang lebih indah lainnya.
Berdiri memandang kolam yang kering, di depan ruang 3,
tempatku akan melaksanakan ujian. Tepat di depan pintu,
aku menyandarkan kepalaku pada saka tembok yang berdiameter sekitar 30cm itu.
Teringat kelima sahabat terbaikku. Mungkinkah kita akan berpisah. Sebenarnya
itulah yang sedari tadi mulai menghantuiku. Belum lagi rindu teman sekelas.
Belum berpisah, tapi rasanya sudah terbayang di hati ini. Termenung sendirian dan tiba-tiba Ocila menggebrak lamunanku.
“Woooiiiii, ujian sekolah
kaliiii bukan merenung. Udah bukan pelajaran bimbingan
lagi kaleeee, helllooooo nidaaa, are you okay????.” Suara mirip toa itu sungguh membangunkanku dari lamunan tak
jelas itu.
Sedikit loading agak lama. Mataku menatap kaget pada Ocil.
Cukup telat. Kami berdua sempat hening sejenak.
“Hahahaha, oh iya yaa, dulu
namanya kann bimbingan konseling Cil. Sadar gak, kalo kita dulu gemetarnya minta ampun kalo disuruh merenung hal
yang gak jelas gitu laah, hahaha.” Jawabku
riang.
“Bukannya itu pelajaran kesukaan
kamu nid, haha.” Tambah
Ocil.
Akupun tersenyum kemudian mulai tertawa.
“Iya dong Cil, itu aku banget. Menurut Ganida Putri Sabila alias aku, merenung itu perlu Cil, biar kita bisa ketawa lepas kaya gini Cil.”
Lalu Ocil gak sabar pengen jawab.
“Oh gitu toh, jadi sebenarnya
merenung itu biar bisa ketawa lepasyaabroo, hahaha, maksa disambung-sambungin.”
“Yah Ocil…. udah yuuk liat daftar
peserta UAS yang dipajang tuuh, kayaknya kita seruangan deh.” Ajakku.
***
No comments: