Feature News

Sunday, January 05, 2014


TONGKAT ESTAFET DALAM KOMUNITAS

EBEG / KUDA LUMPING “WAHYU MANDIRI”

“Melestarikan Budaya Bersama Keluarga”



Darisem/Kiswen/Sartini


Bergelut dalam sebuah paguyuban ebeg membuat ketiga saudara perempuan kandung ini, mendapatkan makna betapa pentingnya melestarikan warisan budaya daerah. Tanpa bermodalkan pendidikan tinggi ataupun kekayaan yang berlimpah, mereka mengandalkan pemahaman dan saling pengertian yang tajam dalam mengokohkan paguyuban yang telah menjadi napas hidupnya. Melestarikan budaya sama halnya memberikan tongkat estafet kepada generasi selanjutnya, dan pastinya tanpa ada unsur paksaan. Berbekal rasa senang, mereka justru memilih ebeg yang notabennya sebagian besar anggotanya adalah lelaki.

                 Saat terik matahari mulai menyengat, sesosok wanita (50) tengah sibuk mengumpulkan kayu di pinggir Lapangan Pernasidi, Cilongok, Banyumas. Nampak wajahnya agak dibasahi keringat, namun tubuhnya yang mulai menua seolah tak memupuskan semangatnya untuk tetap produktif. Rupanya kayu-kayu yang ia kumpulkan, biasa digunakan untuk memasak setiap hari. Dalam kesahajaannya, senyum ramah-tamahnya pun senantiasa terpancar diparasnya. Tetangga sekitarnya tak pernah lelah ia sapa, begitu pun kepada orang yang belum dikenalnya.


                 Wanita yang biasa disapa dengan mbah ini bernama Darisem, ia merupakan anggota dari Paguyuban Ebeg Wahyu Mandiri. 


                 “Kula gunine,” sahutnya dengan logat jawa krama ketika ditanya tentang perannya di paguyuban ebeg tersebut.


                 Usianya tak lagi muda. Sepertinya memang itulah pekerjaan yang tidak terlalu berat baginya. Guni atau biasa disebut dengan pembantu guni adalah orang yang memberikan makanan kepada para pemain ebeg yang sedang wuru. Namun bukan berarti pekerjaannya tidaklah penting, karena sebuah pertunjukan ebeg saling bekerja sama demi kelancaran.  


           Tak hanya Darisem saja yang berperan dalam melancarkan sebuah pertunjukan ebeg, tetapi seluruh anggota yang berjumlahkan 30 orang tersebut. Pun para penabuh gamelan yang berjumlah 6 orang, penayangan dengan 14 orang, dan 10 orang pembantu yang mana masing-masing turut serta bertanggung jawab dalam terciptanya kekompakan yang melancarkan pertunjukan. 


                 Berpedoman pada namanya Wahyu Mandiri, paguyuban ebeg ini mengandalkan seluruh anggotanya supaya komunitas ini tidak bergantung pada apapun. Segala keperluan dan kebutuhan merupakan hasil dari karya dan jerih payah mereka sendiri, seperti pakaian dan alat-alat gamelan yang  tak pernah sekalipun disewanya.


                 Awalnya paguyuban ebeg ini merupakan rintisan seorang lelaki bernama Kirsam, yang tinggal di Ajibarang Wetan RT 01 RW 02 tepatnya 200m di belakang KORAMIL (Komandan Rayon Militer) Ajibarang Wetan. Lahir 63 tahun silam membuatnya seperti sudah banyak makan garam dalam mengeksistensikan kesenian ebeg ini, karena sejak kecil ia sudah tergabung dalam komunitas ebeg. Tubuhnya yang tinggi, kurus dan berkulit sawo matang ini menggambarkan sosok seorang bapak dari dua anak, dalam golongan tipe pekerja keras dan teguh pada pendiriannya. 


                 Sejak 2006, tujuh tahun yang lalu, ia memantapkan tekadnya untuk membangun sebuah komunitas ebeg sendiri. Dengan alasan yang kuat inilah demi memberikan tongkat estafet warisan budaya kepada para generasi selanjutnya, Bapak Kirsam keluar dari komunitas sebelumnya dan memilih berhenti menjadi seorang pemain ebeg, lalu fokus dengan komunitas baru yang dirintisnya, Wahyu Mandiri. 


                 Kemampuannya yang tak diragukan lagi, kini ditularkan kepada generasi selanjutnya lewat paguyuban ebeg yang dirintisnya. Dengan profesinya yang juga sebagai tukang parkir di pasar Ajibarang Wetan ini, sang istri (50) yang juga seorang pedagang tempe, tidak mengkhawatirkan tekadnya, ia justru terus memberikan dukungan tanpa mematahkan semangatnya.


                 Ebeg Wahyu Mandiri merupakan satu-satunya ebeg yang eksis di Ajibarang Wetan, sudah dikenal oleh masyarakat luas hingga luar kota seperti Purbalingga, Banjarnegara bahkan Pekalongan. Paguyuban ini juga mendapatkan dukungan pemerintah dan kabupaten sekitar sehingga cukup memudahkan dalam menjaga keeksistensiannya. Dalam seminggu saja undangan untuk tampil bisa sampai tiga kali dalam waktu-waktu tertentu. 


                 “Saya juga sering diundang oleh kabupaten untuk menghadiri sebuah rapat bertemakan budaya Banyumasan.” Pungkas seorang dukun ebeg wanita ini. Kiswen namanya.


                 Atas ajakan dari Bapak Kirsam inilah, Ibu dari 3 anak yang sekarang menjadi dukun ebeg wanita, mulai mengemban tugas estafet. Bahkan sudah 10 tahun menjadi dukun ebeg, lebih lama 3 tahun dari berdirinya Paguyuban Ebeg Wahyu Mandiri. Usianya yang menginjak 47 tahun, mengantarkannya pada hasil kerjanya yang tulus ikhlas membangun dan mengokohkan nama Wahyu Mandiri. 


                 Tanpa memiliki alasan yang berbelit, ia dengan sigap menerima ajakan sebagai dukun ebeg dan menjadikannya sebagai sumber rasa bahagia dan senang setelah bisa berkontribusi dalam pelestarian budaya tempat ia dilahirkan itu. Namun badannya yang sudah tak kuat sediakala, mengharuskan ia membutuhkan seorang wakil darinya. Inilah bagaimana seharusnya tongkat estafet itu diberikan. Wakil dukun ebeg mulai belajar darinya, dari merias seluruh pemain dan memperhatikannya apa yang Ibu Kiswen lakukan sebagai dukun ebeg. Keluhan kakinya yang mulai merasa sakit dan tanggapan dari anak-anaknya untuk tidak boleh terlalu lelah, harus ia tangguhkan pada kinerjanya dalam berestafet melestarikan budaya. 


                 Ibu Sartini, ialah wakil dukun ebeg wanita yakni Ibu Kiswen. Wanita paruh baya yang 4 tahun lebih muda dari Ibu Kiswen, memiliki tugas merias seluruh pemain. Tak ada alasan selain menjadi bagian dari pelestarian budaya sebagai warisan nenek moyang selain menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Hal inipun tertanam kepada ketiga wanita kakak beradik kandung ini. Mbah Darisem, Ibu Kiswen, Ibu Sartini, mereka terlahir sebagai kakak beradik dan terlahir sebagai budayawan yang memegang tongkat estafet. 


                 Kebanggaanya akan budaya daerah pun mengarahkannya akan sifat-sifat leluhur. Ketiganya dan juga Bapak Kirsam tak pernah sekalipun terkesan angkuh ataupun terbawa arus globalisasi yang dengan segan menggerus rasa bangga pada budaya bangsa sendiri. Sikapnya yang mandiri, penuh dengan kesederhanaan membuat generasi muda tersentil akan upayanya meregenerasi, melestarikan budaya lokal.


                 Bukanlah tak mudah, juga tak sedikit rintangan. Seorang dukun ebeg bersama sang perintis perlu mengatur komunitas yang tak sedikit anggotanya itu. Sebuah pertunjukan akan selalu terlihat apik karena sudah sering tampil, juga rajinnya latihan. Dengan latihan rutin akan menciptakan penampilan yang sempurna. Begitupun halnya dengan pertunjukan ebeg atau yang biasa pula disebut dengan kuda lumping ini.


                 Rumah pribadi Ibu Kiswen kini telah merangkap menjadi tempat latihan para pemain. Setiap hari rabu malam pukul 09.00 hingga 00.00, para pemain yang tergolong masih muda ini, memadati halaman  rumahnya. Mereka akan berlatih guna mempersiapkan untuk pementasan nantinya. 


                 Tak ayal seperti halnya di sekolah, para pemain muda yang berkisar umur 19 hingga 22 tahun ini diharuskan sudah mendapatkan izin dari orang tua terlebih dahulu sebelum mengikuti latihan. Latihan rutin rabu malam ini bisa terdiri dari latihan tari-tarian, juga beberapa kewajiban seperti tirakat, yang perlu dilakukan oleh pemain sebelum pementasan.  


                 Selain itu, rumah seluas 5 x 10 meter untuk ruangan depan ini, juga berisi alat-alat musik yang digunakan dalam sebuah pertuntukan ebeg. Bu Kiswen tak pernah sekalipun membatasi siapa yang seharusnya menggunakan alat tersebut. Bahkan tak sedikit beberapa siswa mulai dari SMP hingga SMA yang sengaja datang ke tempatnya, untuk mencoba memainkan alat-alat tersebut seperti gamelan, gong, ataupun kenong. 


                 “Saya berada di antara kerumunan siswa-siswi itu, rasanya seperti lagi mengajar.” Ujarnya menjelaskan pengalamannya.
 

                 Sudah tak diragukan lagi, Wahyu Mandiri memiliki ciri khas tersendiri. Sudah pasti karena jerih payah latihan yang selalu digemblengkan kepada seluruh anggotanya. Ternyata, pertunjukan ebegnya pun terlihat lebih rapi dan berbeda. Unsur doa sangat kental dengan mereka.


                 “Kalau pemain yang wuru disembuhkannya tanpa baca doa, dia tak bisa sembuh.” Tegas Ibu Sartini.


                 Dalam sebuah pertunjukan ebeg, sudah pasti akan ada wuru dari pemainnya. Wuru yaitu masuknya indang atau arwah ke dalam tubuh sang pemain sehingga membuat pemain kehilangan kesadaran. Apapaun yang diminta indang, harus dipenuhi. Biasanya dalam urusan makanan saja, seperti halnya makan pecahan kaca, sabut kelapa, atau anak ayam. 


                 Di sinilah letak utama perbedaannya. Indang yang dipakai oleh Wahyu Mandiri bukanlah sembarang indang, melainkan indang yang sedang bertapa di gunung. 


                 “Bukan asal ambil di seberang jalan misalnya, bukan.” Jelas Bu Kiswen.


                 Sekiranya penghasilan yang mereka terima mulai dari minimal dua juta rupiah sekali tampil, bukan menjadi sebuah alasan utama dari keikutsertaan mereka dalam sebuah komunitas ebeg ini. Bahkan sejumlah uang tersebut pun masih harus dibagi dalam 30 anggota. Sudah hal wajar jika nominal pembagian uang terkadang menyisakan sedikit konflik. Tapi nampaknya solidaritas di antara mereka selalu lebih unggul dibanding ego masing-masing. Cukup dengan rasa senang yang tiada habisnya, mereka saling berdiri kokoh, saling mengaitkan tangan yang satu dengan yang lainnya, dan selalu siap memberikan tongkat estafet kepada para generasi baru. (Lilis Suryani / F0A011014)

No comments:

Powered by Blogger.