Feature News
TONGKAT ESTAFET DALAM KOMUNITAS
EBEG / KUDA LUMPING “WAHYU MANDIRI”
“Melestarikan Budaya Bersama Keluarga”
Bergelut dalam sebuah paguyuban ebeg membuat ketiga saudara perempuan kandung
ini, mendapatkan makna betapa pentingnya melestarikan warisan budaya daerah.
Tanpa bermodalkan pendidikan tinggi ataupun kekayaan yang berlimpah, mereka mengandalkan
pemahaman dan saling pengertian yang tajam dalam mengokohkan paguyuban yang
telah menjadi napas hidupnya. Melestarikan budaya sama halnya memberikan
tongkat estafet kepada generasi selanjutnya, dan pastinya tanpa ada unsur
paksaan. Berbekal rasa senang, mereka justru memilih ebeg yang notabennya
sebagian besar anggotanya adalah lelaki.
Saat terik matahari
mulai menyengat, sesosok wanita (50) tengah sibuk mengumpulkan kayu di pinggir
Lapangan Pernasidi, Cilongok, Banyumas. Nampak wajahnya agak dibasahi keringat,
namun tubuhnya yang mulai menua seolah tak memupuskan semangatnya untuk tetap
produktif. Rupanya kayu-kayu yang ia kumpulkan, biasa digunakan untuk memasak
setiap hari. Dalam kesahajaannya, senyum ramah-tamahnya pun senantiasa
terpancar diparasnya. Tetangga sekitarnya tak pernah lelah ia sapa, begitu pun
kepada orang yang belum dikenalnya.
Wanita yang biasa
disapa dengan mbah ini bernama Darisem, ia merupakan anggota dari
Paguyuban Ebeg Wahyu Mandiri.
“Kula gunine,”
sahutnya dengan logat jawa krama ketika ditanya tentang perannya di paguyuban
ebeg tersebut.
Usianya tak lagi
muda. Sepertinya memang itulah pekerjaan yang tidak terlalu berat baginya. Guni
atau biasa disebut dengan pembantu guni adalah orang yang memberikan makanan
kepada para pemain ebeg yang sedang wuru. Namun bukan berarti pekerjaannya
tidaklah penting, karena sebuah pertunjukan ebeg saling bekerja sama demi
kelancaran.
Tak hanya Darisem saja yang berperan dalam
melancarkan sebuah pertunjukan ebeg, tetapi seluruh anggota yang berjumlahkan
30 orang tersebut. Pun para penabuh gamelan yang berjumlah 6 orang, penayangan
dengan 14 orang, dan 10 orang pembantu yang mana masing-masing turut serta
bertanggung jawab dalam terciptanya kekompakan yang melancarkan pertunjukan.
Berpedoman pada
namanya Wahyu Mandiri, paguyuban ebeg ini mengandalkan seluruh anggotanya
supaya komunitas ini tidak bergantung pada apapun. Segala keperluan dan
kebutuhan merupakan hasil dari karya dan jerih payah mereka sendiri, seperti
pakaian dan alat-alat gamelan yang tak
pernah sekalipun disewanya.
Awalnya paguyuban
ebeg ini merupakan rintisan seorang lelaki bernama Kirsam, yang tinggal di Ajibarang Wetan RT 01 RW 02 tepatnya 200m di belakang KORAMIL
(Komandan Rayon Militer) Ajibarang Wetan. Lahir 63 tahun silam membuatnya
seperti sudah banyak makan garam dalam mengeksistensikan kesenian ebeg ini,
karena sejak kecil ia sudah tergabung dalam komunitas ebeg. Tubuhnya yang tinggi,
kurus dan berkulit sawo matang ini menggambarkan sosok seorang bapak dari dua
anak, dalam golongan tipe pekerja keras dan teguh pada
pendiriannya.
Sejak 2006, tujuh
tahun yang lalu, ia memantapkan tekadnya untuk membangun sebuah komunitas ebeg
sendiri. Dengan alasan yang kuat inilah demi memberikan tongkat estafet warisan
budaya kepada para generasi selanjutnya, Bapak Kirsam keluar dari komunitas
sebelumnya dan memilih berhenti menjadi seorang pemain ebeg, lalu fokus dengan
komunitas baru yang dirintisnya, Wahyu Mandiri.
Kemampuannya yang tak
diragukan lagi, kini ditularkan kepada generasi selanjutnya lewat paguyuban
ebeg yang dirintisnya. Dengan profesinya yang juga sebagai tukang parkir di
pasar Ajibarang Wetan ini, sang istri (50) yang juga seorang pedagang tempe,
tidak mengkhawatirkan tekadnya, ia justru terus memberikan dukungan tanpa
mematahkan semangatnya.
Ebeg Wahyu Mandiri
merupakan satu-satunya ebeg yang eksis di Ajibarang Wetan, sudah dikenal oleh
masyarakat luas hingga luar kota seperti Purbalingga, Banjarnegara bahkan
Pekalongan. Paguyuban ini juga mendapatkan dukungan pemerintah dan kabupaten
sekitar sehingga cukup memudahkan dalam menjaga keeksistensiannya. Dalam
seminggu saja undangan untuk tampil bisa sampai tiga kali dalam waktu-waktu
tertentu.
“Saya juga sering
diundang oleh kabupaten untuk menghadiri sebuah rapat bertemakan budaya
Banyumasan.” Pungkas seorang dukun ebeg wanita ini. Kiswen namanya.
Atas ajakan dari
Bapak Kirsam inilah, Ibu dari 3 anak yang sekarang menjadi dukun ebeg wanita,
mulai mengemban tugas estafet. Bahkan sudah 10 tahun menjadi dukun ebeg, lebih
lama 3 tahun dari berdirinya Paguyuban Ebeg Wahyu Mandiri. Usianya yang
menginjak 47 tahun, mengantarkannya pada hasil kerjanya yang tulus ikhlas
membangun dan mengokohkan nama Wahyu Mandiri.
Tanpa memiliki alasan
yang berbelit, ia dengan sigap menerima ajakan sebagai dukun ebeg dan
menjadikannya sebagai sumber rasa bahagia dan senang setelah bisa berkontribusi
dalam pelestarian budaya tempat ia dilahirkan itu. Namun badannya yang sudah
tak kuat sediakala, mengharuskan ia membutuhkan seorang wakil darinya. Inilah
bagaimana seharusnya tongkat estafet itu diberikan. Wakil dukun ebeg mulai
belajar darinya, dari merias seluruh pemain dan memperhatikannya apa yang Ibu
Kiswen lakukan sebagai dukun ebeg. Keluhan kakinya yang mulai merasa sakit dan
tanggapan dari anak-anaknya untuk tidak boleh terlalu lelah, harus ia
tangguhkan pada kinerjanya dalam berestafet melestarikan budaya.
Ibu Sartini, ialah
wakil dukun ebeg wanita yakni Ibu Kiswen. Wanita paruh baya yang 4 tahun lebih
muda dari Ibu Kiswen, memiliki tugas merias seluruh pemain. Tak ada alasan
selain menjadi bagian dari pelestarian budaya sebagai warisan nenek moyang selain menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Hal inipun tertanam kepada ketiga
wanita kakak beradik kandung ini. Mbah Darisem, Ibu Kiswen, Ibu Sartini,
mereka terlahir sebagai kakak beradik dan terlahir sebagai budayawan yang
memegang tongkat estafet.
Kebanggaanya akan
budaya daerah pun mengarahkannya akan sifat-sifat leluhur. Ketiganya dan juga
Bapak Kirsam tak pernah sekalipun terkesan angkuh ataupun terbawa arus globalisasi
yang dengan segan menggerus rasa bangga pada budaya bangsa sendiri. Sikapnya
yang mandiri, penuh dengan kesederhanaan membuat generasi muda tersentil akan
upayanya meregenerasi, melestarikan budaya lokal.
Bukanlah tak mudah, juga tak sedikit rintangan. Seorang dukun ebeg bersama sang perintis perlu
mengatur komunitas yang tak sedikit anggotanya itu. Sebuah pertunjukan akan
selalu terlihat apik karena sudah sering tampil, juga rajinnya latihan. Dengan latihan rutin
akan menciptakan penampilan yang sempurna. Begitupun halnya dengan pertunjukan
ebeg atau yang biasa pula disebut dengan kuda lumping ini.
Rumah pribadi Ibu
Kiswen kini telah merangkap menjadi tempat latihan para pemain. Setiap hari
rabu malam pukul 09.00 hingga 00.00, para pemain yang tergolong masih muda ini,
memadati halaman rumahnya. Mereka akan
berlatih guna mempersiapkan untuk pementasan nantinya.
Tak ayal seperti
halnya di sekolah, para pemain muda yang berkisar umur 19 hingga 22 tahun ini
diharuskan sudah mendapatkan izin dari orang tua terlebih dahulu sebelum
mengikuti latihan. Latihan rutin rabu malam ini bisa terdiri dari latihan
tari-tarian, juga beberapa kewajiban seperti tirakat, yang perlu dilakukan oleh
pemain sebelum pementasan.
Selain itu, rumah
seluas 5 x 10 meter untuk ruangan depan ini, juga berisi alat-alat musik yang digunakan
dalam sebuah pertuntukan ebeg. Bu Kiswen tak pernah sekalipun membatasi siapa yang
seharusnya menggunakan alat tersebut. Bahkan tak sedikit beberapa siswa mulai
dari SMP hingga SMA yang sengaja datang ke tempatnya, untuk mencoba memainkan alat-alat tersebut seperti gamelan, gong, ataupun
kenong.
“Saya berada di
antara kerumunan siswa-siswi itu, rasanya seperti lagi mengajar.” Ujarnya
menjelaskan pengalamannya.
Sudah tak diragukan
lagi, Wahyu Mandiri memiliki ciri khas tersendiri. Sudah pasti karena jerih
payah latihan yang selalu digemblengkan kepada seluruh anggotanya. Ternyata,
pertunjukan ebegnya pun terlihat lebih rapi dan berbeda. Unsur doa sangat
kental dengan mereka.
“Kalau pemain yang
wuru disembuhkannya tanpa baca doa, dia tak bisa sembuh.” Tegas Ibu Sartini.
Dalam sebuah pertunjukan
ebeg, sudah pasti akan ada wuru dari pemainnya. Wuru yaitu
masuknya indang atau arwah ke dalam tubuh sang pemain sehingga membuat pemain
kehilangan kesadaran. Apapaun yang diminta indang, harus dipenuhi. Biasanya
dalam urusan makanan saja, seperti halnya makan pecahan kaca, sabut kelapa,
atau anak ayam.
Di sinilah letak
utama perbedaannya. Indang yang dipakai oleh Wahyu Mandiri bukanlah sembarang
indang, melainkan indang yang sedang bertapa di gunung.
“Bukan asal ambil di
seberang jalan misalnya, bukan.” Jelas Bu Kiswen.
Sekiranya penghasilan
yang mereka terima mulai dari minimal dua juta rupiah sekali tampil, bukan
menjadi sebuah alasan utama dari keikutsertaan mereka dalam sebuah komunitas
ebeg ini. Bahkan sejumlah uang tersebut pun masih harus dibagi dalam 30
anggota. Sudah hal wajar jika nominal pembagian uang terkadang menyisakan
sedikit konflik. Tapi nampaknya solidaritas di antara mereka selalu lebih
unggul dibanding ego masing-masing. Cukup dengan rasa senang yang tiada
habisnya, mereka saling berdiri kokoh, saling mengaitkan tangan yang satu dengan
yang lainnya, dan selalu siap memberikan tongkat estafet kepada para generasi
baru. (Lilis Suryani / F0A011014)
No comments: