Hello, kecewa :)
Ingin sekali aku menangis untuk sesuatu yang tak
pernah aku pahami dan mengerti. Sepertinya hampa, sepertinya semu, bahkan aku
menjadi tak bisa mengenal diriku sendiri. Aku seperti garam yang larut didalam
air.
Ada dua jalan menuju tempat A, kebanyakan orang
memilih jalan yang pertama, mungkin sekitar setengah dari mereka sudah turun
lewat jalan yang pertama, karenanya jalan pertama begitu penuh, sementara jalan
kedua masih begitu lengang, hanya berbeda 3-4langkah lebih lama dari jalan
pertama, lalu dua orang memulai menggunakan jalan kedua, kemudian diikuti 3
orang berikutnya, 1 orang berikutnya, dan sisanya memilih jalan yang pertama
lagi. Memilih untuk berbeda bahkan sedikit lebih lelah merupakan sebuah
pilihan, untuk menjadi pribadi yang lain dari yang lain, selalu membutuhkan
mental yang kuat bukan lemah, sama belum tentu sama, sesuatu yang membanggakan
bukan sesuatu yang bisa diukur, jika memang iya maka kebanggaan itu hanyalah
semu sesaat, sebentar saja akan terlewati, terlewati, dan terlewati. Namun,
kebanggaan itu letaknya di jiwa, bagaiman jiwa kita bicara lewat relung hati
yang mungkin tak bisa terucap, tapi selalu tergerak untuk senantiasa
mengingatnya, dan hidup dalam waktu yang lama kemudian tetap hidup selamanya.
Aku masih terus melangkah, tapi aku berhenti
berlari mengejarnya, mengejar sesuatu yang tak bisa kuyakini, mengejar sesuatu
yang membuatku tak mengenal diriku, mengejar sesuatu yang tak hidup di jiwa
ini, dan mulai berhenti untuk mengejarnya. Aku hanya ingin menikmati bagaimana
mataku melihat, telingaku mendengar, hidungku bernafas, tangan dan kakiku
bergerak, dan segala yang bisa kurasakan dengan setetes embun pagi yang tak
pernah kulihat, dengan sejuta bintang di langit yang tak pernah bisa kuraih,
bahkan dengan sinar mentari yang tak sanggup aku bertahan dibawah teriknya.
Tapi aku terus melangkah karena aku bukan berada di sebuah sirkuit, aku hanya
sedang melangkah di hutan, bersahabat dengan alam, mengamati pohon besar,
menemukan tumbuhan kecil, memperhatikan binatang yang sebagian adalah buas. Aku
mencoba untuk merasa hilang sesaat, merasa tak terlihat meskipun nampak, aku
hanyalah berbeda dengan kalian, tapi aku terus melangkah disini mencari dan
terus mencari kehidupan yang tak pernah berakhir. Disini, semuanya terdengar
damai dan menenangkan, burung berkicau, angin terus berhembus, matahari sedikit
mengintip, bunyi bunyian alam yang tak pernah membosankan, dan langkah kakiku
yang terus kuhentakkan meskipun lelah sungguh terasa sekali melengkapi suara
suara itu. Terdiam hanya bisa terdiam, ingin sekali mulut ini berbicara seperti
orang orang di kota, tapi lagi lagi tak ada kata yang lebih baik untuk bisa
dirangkai menjadi sebuah bahan pembicaraan yang unik, seru bahkan mengasyikkan.
Cukup aku yang diam, cukup aku yang hilang, cukup aku dan biarkan aku menikmati
apa yang bisa aku nikmati dengan serangkaian keindahan alam yang membuatku
cukup dan lebih dari sekedar cukup untuk memiliki alasan kenapa aku diam. Hanya
pemahaman, hanya pengertian, dan hanya kedua duanya yang belum bisa kumiliki,
karenanya aku berada disini untuk mencari sesuatu yang membuatku hidup tiada
akhir.
Hingga pada akhirnya aku tahu, aku mengetahui
sesuatu, hidup bukanlah untuk sesuatu sesuatu yang hanya bisa diukur, tapi
hidup membiarkan ia hidup, membiarkan segala yang kita punya yang telah Tuhan
berikan, untuk hidup, lebih hidup, terus hidup, dan hidup selamanya.
Biarkanlah segalanya hidup.
Hidup itu indah seperti pelangi.
Ada mejikuhibiniu, merah, jingga, kuning, hijau,
biru, nila, ungu.
Begitu juga dengan manusia.
Ada melankolis,
sanguinis,
^chiliezst^
*chiliezst*
_chiliezst
No comments: