Hello, kecewa :)

Saturday, October 19, 2013


Ingin sekali aku menangis untuk sesuatu yang tak pernah aku pahami dan mengerti. Sepertinya hampa, sepertinya semu, bahkan aku menjadi tak bisa mengenal diriku sendiri. Aku seperti garam yang larut didalam air.

Ada dua jalan menuju tempat A, kebanyakan orang memilih jalan yang pertama, mungkin sekitar setengah dari mereka sudah turun lewat jalan yang pertama, karenanya jalan pertama begitu penuh, sementara jalan kedua masih begitu lengang, hanya berbeda 3-4langkah lebih lama dari jalan pertama, lalu dua orang memulai menggunakan jalan kedua, kemudian diikuti 3 orang berikutnya, 1 orang berikutnya, dan sisanya memilih jalan yang pertama lagi. Memilih untuk berbeda bahkan sedikit lebih lelah merupakan sebuah pilihan, untuk menjadi pribadi yang lain dari yang lain, selalu membutuhkan mental yang kuat bukan lemah, sama belum tentu sama, sesuatu yang membanggakan bukan sesuatu yang bisa diukur, jika memang iya maka kebanggaan itu hanyalah semu sesaat, sebentar saja akan terlewati, terlewati, dan terlewati. Namun, kebanggaan itu letaknya di jiwa, bagaiman jiwa kita bicara lewat relung hati yang mungkin tak bisa terucap, tapi selalu tergerak untuk senantiasa mengingatnya, dan hidup dalam waktu yang lama kemudian tetap hidup selamanya.
Aku masih terus melangkah, tapi aku berhenti berlari mengejarnya, mengejar sesuatu yang tak bisa kuyakini, mengejar sesuatu yang membuatku tak mengenal diriku, mengejar sesuatu yang tak hidup di jiwa ini, dan mulai berhenti untuk mengejarnya. Aku hanya ingin menikmati bagaimana mataku melihat, telingaku mendengar, hidungku bernafas, tangan dan kakiku bergerak, dan segala yang bisa kurasakan dengan setetes embun pagi yang tak pernah kulihat, dengan sejuta bintang di langit yang tak pernah bisa kuraih, bahkan dengan sinar mentari yang tak sanggup aku bertahan dibawah teriknya. Tapi aku terus melangkah karena aku bukan berada di sebuah sirkuit, aku hanya sedang melangkah di hutan, bersahabat dengan alam, mengamati pohon besar, menemukan tumbuhan kecil, memperhatikan binatang yang sebagian adalah buas. Aku mencoba untuk merasa hilang sesaat, merasa tak terlihat meskipun nampak, aku hanyalah berbeda dengan kalian, tapi aku terus melangkah disini mencari dan terus mencari kehidupan yang tak pernah berakhir. Disini, semuanya terdengar damai dan menenangkan, burung berkicau, angin terus berhembus, matahari sedikit mengintip, bunyi bunyian alam yang tak pernah membosankan, dan langkah kakiku yang terus kuhentakkan meskipun lelah sungguh terasa sekali melengkapi suara suara itu. Terdiam hanya bisa terdiam, ingin sekali mulut ini berbicara seperti orang orang di kota, tapi lagi lagi tak ada kata yang lebih baik untuk bisa dirangkai menjadi sebuah bahan pembicaraan yang unik, seru bahkan mengasyikkan. Cukup aku yang diam, cukup aku yang hilang, cukup aku dan biarkan aku menikmati apa yang bisa aku nikmati dengan serangkaian keindahan alam yang membuatku cukup dan lebih dari sekedar cukup untuk memiliki alasan kenapa aku diam. Hanya pemahaman, hanya pengertian, dan hanya kedua duanya yang belum bisa kumiliki, karenanya aku berada disini untuk mencari sesuatu yang membuatku hidup tiada akhir.

Hingga pada akhirnya aku tahu, aku mengetahui sesuatu, hidup bukanlah untuk sesuatu sesuatu yang hanya bisa diukur, tapi hidup membiarkan ia hidup, membiarkan segala yang kita punya yang telah Tuhan berikan, untuk hidup, lebih hidup, terus hidup, dan hidup selamanya.
Biarkanlah segalanya hidup.


Hidup itu indah seperti pelangi.
Ada mejikuhibiniu, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu.
Begitu juga dengan manusia.
Ada melankolis, sanguinis,
^chiliezst^
*chiliezst*
_chiliezst

No comments:

Powered by Blogger.