Dunia Masih Punya Bulan ke 10, kuantar kau September, Kita jalan bersama Oktober

Tuesday, October 01, 2013


“Risaaa……., akhirnya kita bertemu lagiii, wohooooow” teriak Arsila. Aku masih termenung membaca novel galau yang baru saja kubeli kemaren, memikirkan si tokoh utama bagaimana menjalani hidupnya seorang diri karena sudah tak punya sanak saudara. Aku larut dalam khayalan itu. Ku bayangkan si tokoh utama bakalan menemukan dambatan hatinya lalu dalam kesepian yang nyata justru ia bisa menemukan kebahagiaanya kemudian happy ending. Wajahku tersenyum. “akhirnya, kamu tersenyum juga, seneeeng yaah aku datang lagi ke kosan kamu”, sahut Arsila. “ woiiii, dari kapan kamu sampai disini, tiba tiba nongol aja”, jawab risa dengan begitu polos, lugu, dengan pura pura atau emang lemot. “maaf deh, sil, kebiasaanku niih, baca novel nyampe kebawa larut gini”, Risa meyakinkan. Arsila, “ huuuuuu, temen dateng dicuekin deeeh,,, hahahaha yaudah kita makan yuuk, bawa nasi ayaam niih bikinan ibu”. Dengan lantang Risa pun menjawab, “ayooooo”.
Hari itu kami makan bersama di kosanku, disiang hari yang panas ditambah kosan sepi karena kebanyakan penghuninya lagi kerja di tempat kerja masing masing. Aku yang terlalu rajin hingga gak masuk kerja dihari ini, dan lebih tepatnya karena terlalu forsir kerja akhirnya beginilah jadinya, sakit maksudnya. Sahabatku, Arsila, siang hari bolong, dijam istirahat pula, dia begitu peduli dan perhatian banget sama aku ini, hingga rela berjalan kaki dari kantor hanya untuk makan bareng bersamaku dan mungkin sekaliyan menjengukku. Hampir tiap hari semenjak tiga hari yang lalu aku sakit, dia yang selalu mewarnai dengan sapanya lewat teriakan, atau dengan masakan ibunya yang membuatku sesekali teringat dengan keluargaku yang ada di Solo.
“Oke, banyak orang diluar sana yang membutuhkanku, aku harus berjuang demi mereka”, aku bergumam dalam hati. Hari ini hari jum’at lima hari tak berangkat ngantor membuatku seperti memiliki energy baru rupanya. Berkat masakan ibunya Arsila, dan perhatiannya aku pun strong lagi untuk bekerja. Aku memiliki masalah dengan ginjalku, dan sedikit tak ingin membahas penyakitku itu karena bagiku itu terlalu menyedihkan. Rambut panjangku sudah kusisir rapi, kubawa tas cokelat kesukaanku dan kumasukkan dompet specialku, tak luupa beberapa file penting aku tenteng begitu saja. Sedikit melirik ke kaca depan kosan, meyakinkan sudah rapi dan kece, aku pun melangkah dengan high heel dan berjalan dengan lumayan anggun menuju kantor yang kurang lebih 50m dari kosanku itu. Aku melangkah sendirian ditemani lalu lalang motor yang melintas digang rambutan ini, hatiku rupanya agak berdebar debar. Mungkin efek 5hari tak berangkat ngantor jadinya begini. Serasa mengulang perjalanan dulu sebelum jadi karyawan, deg degan gak karuan mau wawancara. Tak sadar aku ternyata sedang tersenyum sambil jalan, lalu didepanku kulihat sesosok pemuda yang memakai baju training, sepertinya ia baru saja jogging. Aku tak sedang tersenyum dengannya, pikirku dalam batin, tapi kenapa ia balik tersenyum denganku. Sungguh aneh, itulah kenapa aku terkadang illfeel dengan lelaki karena suka overpede.
Ada lampu merah di pertigaan kota Sleman yang aku tinggali ini tepatnya yang sedang aku pijak disini, aku menyabrang jalan, dan sesampainya aku pun sudah berada di gedung sebuah perusahaan swasta yang bergerak dibidang informasi di kota ini. Lebih tepatnya aku bekerja sebagai jurnalis, dan tugasku adalah mereport berita seputar ekonomi di kota ini tentunya, karena media cetaknya kebetulan setingkat local saja. Dari tadi aku belum melihat Arsila, kemana anak ini, ku bergumam dalam hati. Hampir sejak tadi pagi aku masuk ke ruangan meeting ini, banyak rekan kerja yang silih berganti menanyakan kondisiku. Padahal aku baik saja, tiap hari aku makan masakan enak dari ibunya Arsila, lalu pekerjaanku begitu menyenangkan dengan membaca novel galau hingga membuatku termenung seharian. Kau pikir aku sakit, lalu aku hanya bisa berdiam diri diatas kasur dan minum obat lalu tidur. Huuuh, itu nda ada dalam kamusku, gerutuku dalam hati karena begitu geram dengan masukan dan comment dari teman teman yang menyarankan aku supaya tidak over aktif. Aku tipe orang yang tak suka berdiam diri, mungkin itu jadi alasan utamaku hingga sampai saat ini aku tak bisa menggendutkan tubuhku ini meskipun sudah makan banyak. Aku suka berpetualang dan aku suka berjalan serta aku suka beraktifitas ditengah masyarakat.”Risaaa…….”, teriak sahabatku yang sangat aku kenali suaranya, ternyata kini muncul juga Arsila. “nice to meet you”, jawabku. Arsila menanggapiku, “gaya nih, sok ngginggris kamu, hehehe, eh gimana udah baikan, kok udah berangkat sii?”. Lalu kujawab dengan begitu singkat, “ udah keburu kangen”. Aku melangkah lebih cepat menjauh Arsila. Diapun menanyaiku balik dengan penasaran dan agak kenceng karena aku sudah lumayan jauh darinya, “ Risaaa…..tauuu deeeh, tapiii siapaaa?”. Aku tersenyum mendengarnya karenaa aku berhasil membuatnya penasaran.
Jam 10 aku bersiap ke lapangan untuk mencari sumber informasi yang akurat untuk berita ekonomi sebagai bagian tanggung jawabku. Melangkah keluar, aku bersama temanku yang lain, karena Arsila sahabatku berada di bagian editing kali ini, dia dipindah kebagian itu karena memang system kami menggunakan rolling supaya tidak jenuh. Informasi yang akan kudapat hari ini adalah mengenai kenaikan harga sembako. Survey ke pasar untuk hari ini, ditemani 2 rekanku yang ganteng, karena kebetulan dua duanya cowok. Biarpun kami bertiga tapi pada dasarnya kami harus memiliki sumber berita masing masing sehingga berita kami lebih lengkap sumbernya.
Sebuah mobil telah dipersiapkan oleh kantor, dan salah satu rekanku menjadi sopir untuk kami berdua. Aku memang tak bisa menyetir, naik sepeda saja aku tak jago. Ternyata, jalanan begitu ramai, dan lebih parahnya lagi ada beberapa segerombolan orang yang sedang melakukan kampanye parpol. Ini menyebabkan jalanan macet dan akhirnya kami harus memutar balik mencari jalan alternative yang bisa dilalui dengan lebih gampang dan cepat. Sepanjang perjalanan kami isi dengan bahasan seputar parpol dan kami tak lupa diskusi tentang keadaan ekonomi masyarakat terutama masyarakat bawah didaerah ini. Pembicaraan kami semakin kental, hingga seorang teman kami yang sedang menyetir harus ekstra focus melihat jalan, tidak terus berdiskusi sambil menyetir. Sepuluh menit lagi kami sampai dan mendadak insiden itu terjadi, entah kenapa kami sekarang berada di puskesmas daerah disini.
Apakah aku kambuh lagi dengan ginjalnya, ataukah kenapa, aku bertanya Tanya dalam hati sendiri. Aku berada di ruangan kecil disampingku ada sesosok pemuda yang wajahnya taka sing bagiku, dia, dia, dia adalah lelaki yang tadi pagi jogging yang kutemui di gang jalan menuju kosanku. Kepalaku masih pusing, tapi aku masih bisa melihat jelas wajahnya dan dia sekarang tersenyum ramah denganku. Aku sungguh tak ingin melihatnya, lalu kupalingkan mukaku menghadap kea rah yang berlawanan. Tak taunya, infuse ditanganku terjepit, dan aku menahan rasa sakit. Lagi lagi aku harus berhadapan dengan wajah ramah itu yang kini menolongku merawat lukaku akibat mobil yang aku tumpangi menabrak pohon. Sambil tersipu malu, gara gara ulah konyolku melawan arah perhatiannya hingga infusku tak karuan begini, dan dia sedang memperbaikinya, aku dengan berani menanyakan dimana teman temanku yang lainnya. “ ehm, mas ical gak papa tadi tangannya udah diperban karena lecet sedikit dibagian siku, sekarang mungkin didepan lagi nunggu mas logi”. Aku langsung menjawab, “mas logi kenapa? Dia gak papa kan?”. “gak papa kok mba, dia lagi diinfus kaya mba y, di kamar depan karena ada luka dibagian kepalanya, tapi tenang mba, gak papa, kok, gak serius lukanya”, sosok pemuda itu menjawab dengan begitu runtut, teliti, dan penuh wibawa. “oke deh kalo begitu”, jawabku singkat.
Jam 4 sore aku ternyata sudah tertidur selama 3 jam dari tadi, aku belum sempat memberi kabar kepada Arsila. Tapi ku lihat disamping kasurku yang cukup kecil, kulihat sepertinya ada seseorang yang sedang menjengukku. Tapi ku tak melihat siapapun diruangan kecil ini selain diriku sendiri. Ingin sekali beranjak dari tempat tidur ini, tapi tubuhku terasa begitu lemas, dan tak berdaya. Tak sengaja saking aku berjuang untuk bisa melangkah dari tempat tidur ini, aku menjatuhkan sebuah gelas, pyaar. Kemudian dua orang dengan sesosok lelaki yang merawatku sedari tadi terlihat begitu rupawan ternyata, dan disebelahnya diikuti dengan sahabat karibku Alisa, hari ini dia memakai baju hitam dan rambutnya dikuncir sedikit mengingtkanku pada jaman kuliah kita dulu. Dengan segala kenangan yang masih tersimpan dihati ini, akan selalu kusimpan disini perasaan itu, sampai waktunya tiba entah kapan kepada orang yang tak pernah kutahu pasti siapa dia.Yang jelas dia adalah lelaki yang selalu kuharapkan bisa kulihat di kampus dan memberiku sedikit inspirasi dan semangat untuk selalu hadir ke kampus.
“hey, Sa,,,,,baru aja sembuh dari sakit, malah sekarang di puskesmas”, Tanya Arsila. “hehe, iyaa niih, rupanya kasurnya masih kangen sama aku kali yaa sil” jawabku lemas. Disitu sosok pemuda yang rupawan itu sedang membereskan pecahan gelas yang tadi kupecahkan secara tak sengaja. “maaf dok, aku tak sengaja tadi kesenggol terus jatuh dok, maaf yaa dok merepotkan lagi lagi”, aku mengeluh sama sesosok pemuda itu. Disampingku Arsila tersenyum menahan tawanya. Aku sungguh semakin tak mengerti dengan tawanya. “sil, kamu kenapa, kok malah ketawa”, tanyaku polos. “gak papa, nanti dikosan aku ceritakan deh kenapa aku bisa ketawa begini”, jawab Arsila. Aku terdiam seperti tak mengerti apa apa, dan rupanya sesosok pemuda rupawan it agak menyimpan senyum yang tersembunyi dan aku menangkapnya. Sedikit melupakan kejanggalan dan keanehan dua orang tersebut, aku pulang jam tengah 6 petang, seharusnya aku berada di rumah sakit sekarang, tapi aku menolaknya mentah mentah, puskesmas yang tadi aku singgahi tidak bisa menampungku hingga menginap karena bukan jam kerja lagi, dan itu sudah menjadi pilihan untuk dipindah ke rumah sakit atau tergantung si pasiennya. Aku memilih untuk pulang kekosan saja, kemudian aku hanya dibantu oleh sesosok pemuda yang kutemui tadi pagi dan sekarang kupanggil dokter itu. Penampilannya memang dokter banget, makanya aku berani mamanggilnya dokter, rasanya males banget menanyakan nama atau apa seputar dokter itu. Arsila pulang duluan, jadi dengan canggung dan berusaha untuk berani aku harus ramah dengannya. Sudah menjadi prinsip kami para jurnalis untuk selalu ramah dengan siapapun. Sepanjang perjalanan menuju kosan dengan mobil khas puskesmas itu, aku berusaha untuk ngobrol dengannya, dan ternyata dia pun termasuk orang yang humoris dan sudah ku ceritakan semuanya sampai tadi pagi kenapa aku tersenyum karena bukan maksud untuk tersenyum padanya, tapi memang aku sedang memikirkan hal lain. Intinya, aku ingin memberanikan diri mengungkapkan hal memalukan itu, yaitu senyum itu. Tapi dia ternyata sungguh ramah sekali, dia sama sekali tak memiliki pikiran negative tentang diriku tidak seperti diriku yang selalu negative thinking terus sama dia.
Jam delapan malam, aku sudah berada dikosan dan didalam sudah ada Arsila yang menunggu. Aku sungguh senang sekali, sahabatku selalu menemaniku. Sampai dia menceritakan semuanya kepadaku bahwa sosok pemuda itu yang bernama Nirta adalah saudaranya tepatnya saudara sepupu. Dia dulu satu kampus bersama kita, dan bodohnya diriku tak bisa mengenali jika dialah orang yang selama ini aku pendam perasaan suka itu, dialah orangnya ada dihadapanku yang juga sama sama memiliki perasaan yang sama. Sejak hari itu aku justru mulai menjauh darinya, aku menjauh dari keduanya, baik Arsila maupun Nirta. Entah kenapa perasaan yang duluu begitu kuat ternyata setelah dekat dengannya aku seperti tak bisa menerimanya, aku sungguh malu dengan diriku sendiri bersikap tidak ramah dengannya, meskipun dirinya tak pernah menganggapnya sebagai masalah. Sebenarnya satu hal yang membuatku tak ingin berada didekatnya, yaitu perasaan ini, aku tak bisa membohonginya jika aku terlalu mencintainya hingga apapun akan terasa sulit untuk diungkapkan. Dan sepertinya terlalu memendam lama aku membutuhkan proses penyesuaian diri yang cukup lama, dari mulai kupikir dia seperti ini, tapi ternyata justru 180 derajat berbeda. Ditambah lagi aku sakit sakitan terus hingga aku harus pulang dirawat di kampong halamanku bersama keluargaku tercinta. Aku pulang kampong dulu untuk sementara. Aku ambil cuti 1 setengah bulan, dan di hari itu diakhir bulan September dia mengantarku ke kereta, matanya terus memandangku sampai kereta melaju tak terlihat, dia berdiri tak beranjak dari tempatnya sebelum kereta yang kutumpangi melaju dengan kencang. Aku masih melihat matanya yang tak bisa melawan perasaan ini. Begitu nyata dan jelas, tapi hati ini belum siap untuk mengatakan iya. Arsila sebagai saudaranya sudah mengetahui semuanya sejak lama, dan dia begitu mendukungku, dia juga yang memberitahuku bahwa dulu diapun pernah hendak memberiku surat cinta ketika dikampus, tapi dia urungkan niat. Oooh ternyata perasaan tak pernah bisa membohongi hidup. Biarkan aku berjalan bersama Oktober dahulu, akan aku simpan rapi perasaan ini.

No comments:

Powered by Blogger.