Dunia Masih Punya Bulan ke 10, kuantar kau September, Kita jalan bersama Oktober
“Risaaa……., akhirnya kita bertemu lagiii, wohooooow” teriak
Arsila. Aku masih termenung membaca novel galau yang baru saja kubeli kemaren,
memikirkan si tokoh utama bagaimana menjalani hidupnya seorang diri karena
sudah tak punya sanak saudara. Aku larut dalam khayalan itu. Ku bayangkan si
tokoh utama bakalan menemukan dambatan hatinya lalu dalam kesepian yang nyata
justru ia bisa menemukan kebahagiaanya kemudian happy ending. Wajahku
tersenyum. “akhirnya, kamu tersenyum juga, seneeeng yaah aku datang lagi ke
kosan kamu”, sahut Arsila. “ woiiii, dari kapan kamu sampai disini, tiba tiba
nongol aja”, jawab risa dengan begitu polos, lugu, dengan pura pura atau emang
lemot. “maaf deh, sil, kebiasaanku niih, baca novel nyampe kebawa larut gini”,
Risa meyakinkan. Arsila, “ huuuuuu, temen dateng dicuekin deeeh,,, hahahaha
yaudah kita makan yuuk, bawa nasi ayaam niih bikinan ibu”. Dengan lantang Risa
pun menjawab, “ayooooo”.
Hari itu kami makan bersama di kosanku, disiang hari yang panas
ditambah kosan sepi karena kebanyakan penghuninya lagi kerja di tempat kerja
masing masing. Aku yang terlalu rajin hingga gak masuk kerja dihari ini, dan
lebih tepatnya karena terlalu forsir kerja akhirnya beginilah jadinya, sakit
maksudnya. Sahabatku, Arsila, siang hari bolong, dijam istirahat pula, dia
begitu peduli dan perhatian banget sama aku ini, hingga rela berjalan kaki dari
kantor hanya untuk makan bareng bersamaku dan mungkin sekaliyan menjengukku.
Hampir tiap hari semenjak tiga hari yang lalu aku sakit, dia yang selalu
mewarnai dengan sapanya lewat teriakan, atau dengan masakan ibunya yang
membuatku sesekali teringat dengan keluargaku yang ada di Solo.
“Oke, banyak orang diluar sana yang membutuhkanku, aku harus
berjuang demi mereka”, aku bergumam dalam hati. Hari ini hari jum’at lima hari
tak berangkat ngantor membuatku seperti memiliki energy baru rupanya. Berkat
masakan ibunya Arsila, dan perhatiannya aku pun strong lagi untuk bekerja. Aku
memiliki masalah dengan ginjalku, dan sedikit tak ingin membahas penyakitku itu
karena bagiku itu terlalu menyedihkan. Rambut panjangku sudah kusisir rapi,
kubawa tas cokelat kesukaanku dan kumasukkan dompet specialku, tak luupa
beberapa file penting aku tenteng begitu saja. Sedikit melirik ke kaca depan
kosan, meyakinkan sudah rapi dan kece, aku pun melangkah dengan high heel dan
berjalan dengan lumayan anggun menuju kantor yang kurang lebih 50m dari kosanku
itu. Aku melangkah sendirian ditemani lalu lalang motor yang melintas digang
rambutan ini, hatiku rupanya agak berdebar debar. Mungkin efek 5hari tak
berangkat ngantor jadinya begini. Serasa mengulang perjalanan dulu sebelum jadi
karyawan, deg degan gak karuan mau wawancara. Tak sadar aku ternyata sedang
tersenyum sambil jalan, lalu didepanku kulihat sesosok pemuda yang memakai baju
training, sepertinya ia baru saja jogging. Aku tak sedang tersenyum dengannya,
pikirku dalam batin, tapi kenapa ia balik tersenyum denganku. Sungguh aneh,
itulah kenapa aku terkadang illfeel dengan lelaki karena suka overpede.
Ada lampu merah di pertigaan kota Sleman yang aku tinggali ini
tepatnya yang sedang aku pijak disini, aku menyabrang jalan, dan sesampainya
aku pun sudah berada di gedung sebuah perusahaan swasta yang bergerak dibidang
informasi di kota ini. Lebih tepatnya aku bekerja sebagai jurnalis, dan tugasku
adalah mereport berita seputar ekonomi di kota ini tentunya, karena media
cetaknya kebetulan setingkat local saja. Dari tadi aku belum melihat Arsila,
kemana anak ini, ku bergumam dalam hati. Hampir sejak tadi pagi aku masuk ke
ruangan meeting ini, banyak rekan kerja yang silih berganti menanyakan
kondisiku. Padahal aku baik saja, tiap hari aku makan masakan enak dari ibunya
Arsila, lalu pekerjaanku begitu menyenangkan dengan membaca novel galau hingga
membuatku termenung seharian. Kau pikir aku sakit, lalu aku hanya bisa berdiam
diri diatas kasur dan minum obat lalu tidur. Huuuh, itu nda ada dalam kamusku,
gerutuku dalam hati karena begitu geram dengan masukan dan comment dari teman
teman yang menyarankan aku supaya tidak over aktif. Aku tipe orang yang tak
suka berdiam diri, mungkin itu jadi alasan utamaku hingga sampai saat ini aku
tak bisa menggendutkan tubuhku ini meskipun sudah makan banyak. Aku suka berpetualang
dan aku suka berjalan serta aku suka beraktifitas ditengah
masyarakat.”Risaaa…….”, teriak sahabatku yang sangat aku kenali suaranya,
ternyata kini muncul juga Arsila. “nice to meet you”, jawabku. Arsila
menanggapiku, “gaya nih, sok ngginggris kamu, hehehe, eh gimana udah baikan,
kok udah berangkat sii?”. Lalu kujawab dengan begitu singkat, “ udah keburu
kangen”. Aku melangkah lebih cepat menjauh Arsila. Diapun menanyaiku balik
dengan penasaran dan agak kenceng karena aku sudah lumayan jauh darinya, “ Risaaa…..tauuu
deeeh, tapiii siapaaa?”. Aku tersenyum mendengarnya karenaa aku berhasil
membuatnya penasaran.
Jam 10 aku bersiap ke lapangan untuk mencari sumber informasi
yang akurat untuk berita ekonomi sebagai bagian tanggung jawabku. Melangkah
keluar, aku bersama temanku yang lain, karena Arsila sahabatku berada di bagian
editing kali ini, dia dipindah kebagian itu karena memang system kami
menggunakan rolling supaya tidak jenuh. Informasi yang akan kudapat hari ini
adalah mengenai kenaikan harga sembako. Survey ke pasar untuk hari ini,
ditemani 2 rekanku yang ganteng, karena kebetulan dua duanya cowok. Biarpun
kami bertiga tapi pada dasarnya kami harus memiliki sumber berita masing masing
sehingga berita kami lebih lengkap sumbernya.
Sebuah mobil telah dipersiapkan oleh kantor, dan salah satu
rekanku menjadi sopir untuk kami berdua. Aku memang tak bisa menyetir, naik
sepeda saja aku tak jago. Ternyata, jalanan begitu ramai, dan lebih parahnya
lagi ada beberapa segerombolan orang yang sedang melakukan kampanye parpol. Ini
menyebabkan jalanan macet dan akhirnya kami harus memutar balik mencari jalan
alternative yang bisa dilalui dengan lebih gampang dan cepat. Sepanjang
perjalanan kami isi dengan bahasan seputar parpol dan kami tak lupa diskusi
tentang keadaan ekonomi masyarakat terutama masyarakat bawah didaerah ini. Pembicaraan
kami semakin kental, hingga seorang teman kami yang sedang menyetir harus
ekstra focus melihat jalan, tidak terus berdiskusi sambil menyetir. Sepuluh
menit lagi kami sampai dan mendadak insiden itu terjadi, entah kenapa kami
sekarang berada di puskesmas daerah disini.
Apakah
aku kambuh lagi dengan ginjalnya, ataukah kenapa, aku bertanya Tanya dalam hati
sendiri. Aku berada di ruangan kecil disampingku ada sesosok pemuda yang
wajahnya taka sing bagiku, dia, dia, dia adalah lelaki yang tadi pagi jogging
yang kutemui di gang jalan menuju kosanku. Kepalaku masih pusing, tapi aku
masih bisa melihat jelas wajahnya dan dia sekarang tersenyum ramah denganku.
Aku sungguh tak ingin melihatnya, lalu kupalingkan mukaku menghadap kea rah
yang berlawanan. Tak taunya, infuse ditanganku terjepit, dan aku menahan rasa
sakit. Lagi lagi aku harus berhadapan dengan wajah ramah itu yang kini
menolongku merawat lukaku akibat mobil yang aku tumpangi menabrak pohon. Sambil
tersipu malu, gara gara ulah konyolku melawan arah perhatiannya hingga infusku
tak karuan begini, dan dia sedang memperbaikinya, aku dengan berani menanyakan
dimana teman temanku yang lainnya. “ ehm, mas ical gak papa tadi tangannya udah
diperban karena lecet sedikit dibagian siku, sekarang mungkin didepan lagi
nunggu mas logi”. Aku langsung menjawab, “mas logi kenapa? Dia gak papa kan?”.
“gak papa kok mba, dia lagi diinfus kaya mba y, di kamar depan karena ada luka
dibagian kepalanya, tapi tenang mba, gak papa, kok, gak serius lukanya”, sosok
pemuda itu menjawab dengan begitu runtut, teliti, dan penuh wibawa. “oke deh
kalo begitu”, jawabku singkat.
Jam 4 sore aku ternyata sudah tertidur selama 3 jam dari tadi,
aku belum sempat memberi kabar kepada Arsila. Tapi ku lihat disamping kasurku
yang cukup kecil, kulihat sepertinya ada seseorang yang sedang menjengukku.
Tapi ku tak melihat siapapun diruangan kecil ini selain diriku sendiri. Ingin
sekali beranjak dari tempat tidur ini, tapi tubuhku terasa begitu lemas, dan
tak berdaya. Tak sengaja saking aku berjuang untuk bisa melangkah dari tempat
tidur ini, aku menjatuhkan sebuah gelas, pyaar. Kemudian dua orang dengan
sesosok lelaki yang merawatku sedari tadi terlihat begitu rupawan ternyata, dan
disebelahnya diikuti dengan sahabat karibku Alisa, hari ini dia memakai baju
hitam dan rambutnya dikuncir sedikit mengingtkanku pada jaman kuliah kita dulu.
Dengan segala kenangan yang masih tersimpan dihati ini, akan selalu kusimpan
disini perasaan itu, sampai waktunya tiba entah kapan kepada orang yang tak
pernah kutahu pasti siapa dia.Yang jelas dia adalah lelaki yang selalu
kuharapkan bisa kulihat di kampus dan memberiku sedikit inspirasi dan semangat
untuk selalu hadir ke kampus.
“hey,
Sa,,,,,baru aja sembuh dari sakit, malah sekarang di puskesmas”, Tanya Arsila.
“hehe, iyaa niih, rupanya kasurnya masih kangen sama aku kali yaa sil” jawabku
lemas. Disitu sosok pemuda yang rupawan itu sedang membereskan pecahan gelas
yang tadi kupecahkan secara tak sengaja. “maaf dok, aku tak sengaja tadi
kesenggol terus jatuh dok, maaf yaa dok merepotkan lagi lagi”, aku mengeluh
sama sesosok pemuda itu. Disampingku Arsila tersenyum menahan tawanya. Aku
sungguh semakin tak mengerti dengan tawanya. “sil, kamu kenapa, kok malah
ketawa”, tanyaku polos. “gak papa, nanti dikosan aku ceritakan deh kenapa aku
bisa ketawa begini”, jawab Arsila. Aku terdiam seperti tak mengerti apa apa,
dan rupanya sesosok pemuda rupawan it agak menyimpan senyum yang tersembunyi
dan aku menangkapnya. Sedikit melupakan kejanggalan dan keanehan dua orang
tersebut, aku pulang jam tengah 6 petang, seharusnya aku berada di rumah sakit
sekarang, tapi aku menolaknya mentah mentah, puskesmas yang tadi aku singgahi
tidak bisa menampungku hingga menginap karena bukan jam kerja lagi, dan itu
sudah menjadi pilihan untuk dipindah ke rumah sakit atau tergantung si
pasiennya. Aku memilih untuk pulang kekosan saja, kemudian aku hanya dibantu
oleh sesosok pemuda yang kutemui tadi pagi dan sekarang kupanggil dokter itu.
Penampilannya memang dokter banget, makanya aku berani mamanggilnya dokter,
rasanya males banget menanyakan nama atau apa seputar dokter itu. Arsila pulang
duluan, jadi dengan canggung dan berusaha untuk berani aku harus ramah
dengannya. Sudah menjadi prinsip kami para jurnalis untuk selalu ramah dengan
siapapun. Sepanjang perjalanan menuju kosan dengan mobil khas puskesmas itu,
aku berusaha untuk ngobrol dengannya, dan ternyata dia pun termasuk orang yang
humoris dan sudah ku ceritakan semuanya sampai tadi pagi kenapa aku tersenyum
karena bukan maksud untuk tersenyum padanya, tapi memang aku sedang memikirkan
hal lain. Intinya, aku ingin memberanikan diri mengungkapkan hal memalukan itu,
yaitu senyum itu. Tapi dia ternyata sungguh ramah sekali, dia sama sekali tak
memiliki pikiran negative tentang diriku tidak seperti diriku yang selalu
negative thinking terus sama dia.
Jam delapan malam, aku sudah berada dikosan dan didalam sudah
ada Arsila yang menunggu. Aku sungguh senang sekali, sahabatku selalu menemaniku.
Sampai dia menceritakan semuanya kepadaku bahwa sosok pemuda itu yang bernama
Nirta adalah saudaranya tepatnya saudara sepupu. Dia dulu satu kampus bersama
kita, dan bodohnya diriku tak bisa mengenali jika dialah orang yang selama ini
aku pendam perasaan suka itu, dialah orangnya ada dihadapanku yang juga sama
sama memiliki perasaan yang sama. Sejak hari itu aku justru mulai menjauh
darinya, aku menjauh dari keduanya, baik Arsila maupun Nirta. Entah kenapa
perasaan yang duluu begitu kuat ternyata setelah dekat dengannya aku seperti
tak bisa menerimanya, aku sungguh malu dengan diriku sendiri bersikap tidak
ramah dengannya, meskipun dirinya tak pernah menganggapnya sebagai masalah.
Sebenarnya satu hal yang membuatku tak ingin berada didekatnya, yaitu perasaan
ini, aku tak bisa membohonginya jika aku terlalu mencintainya hingga apapun
akan terasa sulit untuk diungkapkan. Dan sepertinya terlalu memendam lama aku
membutuhkan proses penyesuaian diri yang cukup lama, dari mulai kupikir dia
seperti ini, tapi ternyata justru 180 derajat berbeda. Ditambah lagi aku sakit
sakitan terus hingga aku harus pulang dirawat di kampong halamanku bersama
keluargaku tercinta. Aku pulang kampong dulu untuk sementara. Aku ambil cuti 1
setengah bulan, dan di hari itu diakhir bulan September dia mengantarku ke
kereta, matanya terus memandangku sampai kereta melaju tak terlihat, dia
berdiri tak beranjak dari tempatnya sebelum kereta yang kutumpangi melaju
dengan kencang. Aku masih melihat matanya yang tak bisa melawan perasaan ini.
Begitu nyata dan jelas, tapi hati ini belum siap untuk mengatakan iya. Arsila
sebagai saudaranya sudah mengetahui semuanya sejak lama, dan dia begitu
mendukungku, dia juga yang memberitahuku bahwa dulu diapun pernah hendak
memberiku surat cinta ketika dikampus, tapi dia urungkan niat. Oooh ternyata
perasaan tak pernah bisa membohongi hidup. Biarkan aku berjalan bersama Oktober
dahulu, akan aku simpan rapi perasaan ini.
No comments: