“Biasa aja kok” Itu yang membuatnya Luar Biasa
Hari ini merupakan
hari yang sungguh aku tunggu, saking ditunggu tunggunya hari ini, aku sampai
berkhayal lalu bermimpi dan ujungnya aku justru bangun kesiangan hari ini. Jam
07.15 aku bergegas dari kamarku lalu mandi, batinku bergumam “nanti acara jam
08.00, tapi jam segini aku baru mandi”. Kegelisahanku mulai muncul. Aku
bertanya sama ibu, “bu, baiknya nanti aku dianter sama pak lek naik motor ato
naik angkot aja yaah?”, lalu ibuku menjawab “udah naik angkot aja, lha wong
deket kok, lagian belum ada duit buat beli bensin kalo mau naik motor”. Sambil
mandi aku terima saran ibuku. Langkahku masih belum terlalu gugup, buktinya
baru selesai mandi, jalanku masih santai kaya mau berangkat jam 9 aja, ditambah
lewat meja makan, kutuang segelas air, masih pakai handuk, diminumlah segelas
air itu. Ketika kuletakkan gelas itu dimeja, “krek” ketika itu pula mataku
melirik ke dinding dan kulihat jarum jam panjang tepat berada di angka 6 dan
jarum jam pendek di tengah angka 7 dan 8. “woooo, jam tengah
lapaaaaannnnnnnnnn”, teriakku. Aku masuk kamar, sesegera mungkin aku pakai baju
dan bersiap siap. Aku memastikan bukti pembayarannya aku masukkan dalam dompet,
dan dompet itu kupastikan telah masuk didalam tas kebanggaanku yang berwarna
cokelat bermotif batik itu. “Ouw satu lagi aku lupa, laptopku belum aku
charge!”, gumamku dalam hati. Ku ambil dari lemari my silver lepi dalam kondisi
off terpaksa karena tadi malam belum sempat aku shut down, aku angkat, aku
gotong bersama charger dan tempatnya lalu kutempatkan di meja depan tv tempat
biasa aku mencharge lepi. Duduk sebentar sambil memakai kaos kaki, tiba tiba
dari dapur saudaraku muncul, masih bayi, namanya dede Angga, ibunya berkata,
“itu miss Riyan udah rapi”. Sekejap aku tertegun mba Fajar, ibunya dede Angga
menyapaku dengan sebutan miss, mungkin karena majornya aku bahasa inggris kali
yaa, pikirku dalam hati. Dalam keterburu-buruannya kusempatkan cium dede Angga
di jidatnya, nggak tau kenapa, malah si dede nangis kenceng banget. Kembali
lagiiii, kalo si dede masih ada ibunya kok, lah ini akunya mau berangkat jam
berapa, aku protes dalam hati. “siip, lepi udah nyala”. Langkah pertama enter,
lagi nggak mau tau lah itu bunyinya apa tulisan pertama yang penting aku pencet
enter kaya biasanya. Sudah menyala winamp masih on, aku stop, lalu close. Satu
lagi klik kanan refresh dan pencet F5. Trus shut downnya kapan dong, hehehe, oh
iya, one more berarti, klik menu pilih shut down. Oke, lepi beres tinggal
waktunya kirim pesan ke ibu, “bu, nanti kalo udah ijo, tolong dicabut kabel
lepinya yaa bu” pintaku. “ lha ibu yaa gak tau udah ijo atau belum”sahut ibu. “
yaudah nanti jam 11, tolong dicabut yaa bu” jawabku dengan berusaha keras untuk
sabarrr. Begitulah keadaannya aku lahir dan dibesarkan dari keluarga yang
sederhana, tapi aku punya keinginan yang besar untuk mengubah kehidupan
keluargaku, dan mereka begitu mensupport aku. Karenanya, leptop bagi keluarga
kami merupakan benda yang begitu intelektual hingga harus begitu dijaga supaya
tidak rusak. Kalau rusak, nanti biaya perbaikinya kan mahal, dan itu nda ada
dalam perhitungan, buat sehari hari saja, kami harus berkeringat. Aku harus
senantiasa untuk sadar seperti itu supaya tidak terbawa arus. Kembali lagi
kapan aku berangkatnya, jam lapaaaan, “ibu, uang saku” aku langsung ambil dari
meja makan 2000an 2 seribuan 1 lalu kuraih tangan bapak yang kebetulan lagi
seruangan, “pak berangkat dulu assalamu’alaikum”,,,, ibu, kulihat masih sibuk
didepan meja makan menyiapkan sarapanku yang hendak tidak aku makan, “ibu
berangkat dulu, assalamu’alaikum………”sambil melangkah pergi.
Sebelah kanan
merupakan kebun singkok dan rerumputan liar sementara sebelah kiri adalah
bangunan bulog dan aku berjalan ditengah tengah, dengan sepatu biru dan segala
warna cokelat mulai dari kerudung, baju, rok, kecuali sabuk hitam kecilku ini
yang aku lilitkan diluar baju cokelatku. srek, srek, srek, mungkin seperti itu
bunyi antara rerumputan yang bergesek dengan sepatuku. Aku terus melangkah
dengan sigap menuju tempat berkumpulnya para angkot dan bus itu. Keluar dari
area kebun liar itu, kini aku berjalan dipinggir jalan raya dan tak lebih dari lima menit aku akan sampai di
terminal. Di lampu merah depan alfamart dan juga terminal, aku melihat bapak
setengah baya yang memiliki keterbatasan sedang menengadahkan tangan kepada
semua orang yang berkendaraaan yang berhenti. Aku masih memegang uang
ditanganku yang dari tadi memang kupersiapakan untuk naik angkot, aku masih
ingat ketika bosku di sebuah bimbingan belajar mengajarkanku untuk mulailah
harimu dengan kebaikan, aku meyabrang jalan sambil kuletakkan uang itu didalam
kotak yang kini berada digenggaman bapak didepan lampu merah tersebut. Aku
melangkah terus menuju halte angkot dan tak lama kemudian dia yang ditunggu
dating, sang angkot. Kini aku sedang duduk disebelah pintu kendaraan yang
berwarna orange, didepanku ada seorang bapak dan didepannya lagi ada sang sopir
dan disebelah sang sopir terlihat satu rombongan keluarga, ada anak, ibu dan
bapak. Kami melaju sesuai dengan rute angkot tersebut, aku berusaha untuk
menikmati perjalanan yang lumayan
panjang karena tempat tujuanku merupakan tempat terakhir nomor dua. Sambil
menikmati kota kelahiranku di minggu pagi hari, terlihat sedang ada jalan
sehat, ibu ibu baru pulang dari pengajian minggu pagi, atau para orang tua yang
hendak dan sudah dari pasar. Aku jarang sekali menikmati suasana dan aktivitas
seperti ini, padahal ini ada disekelilingku, lalu akupun mulai bertanya dalam
hati. Lalu apa sajakah yang selama ini aku kerjakan, hingga membuatku buta akan
rutinitas kebanyakan orang diminggu pagi. Sejenak aku mulai termenung, sungguh
ternyata selama ini aku hanya bisa menghabiskan waktuku hanya untuk diriku
sendiri, bingung dengan apa yang aku lakukan sementara diluar begitu banyak
orang yang membutuhkan informasi dan pengetahuan. Apa susahnya hadir untuk
mereka? Pertanyaan tersebut mengantarku hingga depan tempat acara tujuanku,
pukul 8 lebih 30 menit, aku turun dari angkot mulai berjalan dari pinggir jalan
raya menuju gedung yang belum pernah aku masuki tapi sering sekali aku
melihatnya. Melewati pintu gerbang, kulihat ada beberapa pemuda berboncengan
motor memakai seragam orange, sepertinya mereka dari group pecinta alam,
pikirku. Aku berusaha untuk tidak kagum karena disini tempat sebagian besar
pemuda menuntut ilmu, kubiarkan kagum dan kaget itu hilang ketika melihat
sekerumunan dari mereka. Sempat bertanya pada pak satpam untuk memastikan
dimana gedung yang akan dipakai untuk acara yang akan aku ikuti tersebut, dan
kudapati infonya. Menuju tempat tersebut dengan langkah yang pasti, tapi masih
dengan wajah yang sama, dimana wajahku mungkin terlihat begitu bingung.
Berjalan melangkah sendirian, tak ada seorangpun yang aku kenal, tapi aku ingin
sekali bertemu dengan penulis yang kukagumi itu. Tiba di form pendaftaran
kutulis namaku Riyanti, kuisi lengkap alamat, asal dan nomor handphone.
Layaknya seminar aku mendapatkan seminar kit, snack dan aku menuju lantai 3
tempat acara tersebut. Pintu masuk setelah pendaftaran aku disuguhi banyak
buku, mungkin orang yang melihatku bisa melihat jelas bagaimana mataku ketika
itu, sepertinya mataku adalah mata orang bingung dan kagum alias gumunan. Tapi
kudapati tak ada satupun buku dari penulis yang kukagumi itu, lantas membuatku
melangkah lebih cepat untuk naik ke lantai 2. Di lantai ini mataku kembali
bingung dan terkagum kagum, ada banyak buku dari penulis tersebut, tapi sudah
dibuka segelnya semuanya. Mungkin mata bingungku membuat salah satu panitia harus
bertanya padaku, “ gimana de, ada buku yang harus ditandatangani?” tanyanya. Aku
tak sadar, ternyata yang duduk didepan puluhan buku yang sudah dibuka segelnya
adalah sang penulis yang kukagumi. Dalam hati aku sibuk sendiri, ooh ternyata
dia orangnya yang membuatku ada disini sekarang. Ketika kutanyakan bisa beli
bukunya disini atau tidak, panitia tersebut menjawab sudah habis. Mungkin
memang seharusnya aku bisa mendapatkan buku tersebut lewat toko buku online
saja. Di toko tersebut, ada diskon dan juga sudah pasti mendapatkan tanda
tangan dari penulisnya. Pikiranku kembali tenang. Seperti masih tak sadar, aku
tiba tiba berada di lantai tiga dan panitia lagi yang mengarahkanku untuk masuk
disebuah ruangan yang mungkin tak bisa memuat 200orang, disitulah aku duduk dan
meletakkan seminar kit yang dari tadi aku bawa dari lantai 1. Tak sampai 5
menit, seseorang menghampiriku, meminta untuk berkenalan, yaa jelas saja aku
sangat senang sekali karena kebetulan aku juga dating sendirian. Aku dan dia
yang bernama Nisa, maju 2 line untuk memastikan berada di posisi yang nyaman
ketika menyaksikan penulis yang kukagumi itu memberikan pelajaran yang
bermanfaat. Aku menikmati obrolan baruku dengan teman yang juga baruku kenali,
tersadar aku seperti tak sadar berada di tempat ini sendirian seorang diri tapi
sekarang kudapati aku bersama teman baruku di sebuah acara yang begitu aku
inginkan.
Lelaki yang tampil
dengan pakaian simple itu kini ada dihadapan semua peserta yang hadir diacara
ini. Orang yang selama ini kukagumi begitu menginspirasi ternyata terlihat
begitu sederhana. Beliau bahkan tak mau diistimewakan karena hasil karyanya
atau karena namanya. Sosoknya tak begitu wow seperti yang aku bayangkan. Inilah
yang membuatku tersadar, tertegun, dan termenung. Betapa tak berpikir aku
selama ini hanya memberikan dan menginginka yang hanya covernya saja bukan dari
isinya. Aku tak bisa mengungkapkannya, sungguh beliau adalah pribadi yang bisa
membuatku tersadar bahwa hidup memang selayaknya hanya untuk memberikan manfaat
untuk orang lain. Lewat menulis, itu adalah jalan yang bisa dijadikan untuk
menebarkan kebaikan. Tulisan jika untuk kebanggaan saja, jika untuk komersial
saja, jika untuk untuk saja, maka apa lagi yang akan dicari. Hanya semu yang
akan didapat, lalu apa yang sebenarnya dicari, kosong. Mungkin justru itu yang
akan muncul. Lantas menulis adalah menebar kebaikan. Dari situlah sepertinya
motivasi itu kembali hadir lagi bagiku untuk kembali dijalan perjuangan yang
penuh dengan makna kehidupan.
No comments: