Review Tomodachi

Friday, March 20, 2015


Review Tomodachi
Winna Efendi


            Setiap orang punya mimpi, tak peduli akan terwujud atau hanya dibiarkan menjadi mimpi yang lambat laun kian memudar. Tapi, takdir dan nasib yang akan memainkan alur dan siklus mimpi yang telah diciptakan masing-masing orang.
            Sebaliknya, keyakinan itu akan muncul seiring dengan betapa dekatnya seseorang dengan mimpi. Karena mimpi bukan sebuah realita, pengorbanan harus muncul untuk mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan. Lalu, mengembangkan tunas-tunas mimpi yang baru lagi. Tak peduli arah angin akan mengantarkannya menjauhi mimpi, tak peduli banjir akan menenggelamkan seluruh raga mimpi bahkan tak akan acuh bila badai memporak-porandakan mimpi yang telah tercipta.
            Bukankah ketika mimpi itu memudar, maka artinya mimpi itu sebagian telah menjadi nyata? Seperti Tomomi bukan?

            Saat Tomomi berjuang mendapatkan Hasegawa, berusaha keras untuk bisa masuk di sekolah yang sama. Resmi menjadi junior Hasegawa senpai, dia terus mengikuti perkembangan kakak kelasnya di Katakura Gakuen itu.
            Tapi ternyata, bukankah sesuatu yang digapai dengan mudah itu, akan mudah dilepaskan juga?
            Tomomi mulai mengikuti kegiatan atletik lari, yang tanpa sengaja dia ikuti hanya untuk mengintai Hasegawa senpai. Nyatanya, sesuatu yang tak gampang dia raih, mulai dipelajarinya bersama Tomoki, teman sekelasnya yang pertama kali ditemuinya saat pertama kali masuk sekolah.
            Rupanya tiap-tiap orang sebenarnya menyukai tantangan. Pada dasarnya manusia itu tak pernah kehabisan rasa penasaran untuk menaklukan sesuatu. Apa yang disebut ambisi itu sudah melekat pada makhluk bernama manusia.
            Bukankah Tomomi sedang berjuang mendapatkan hati Hasegawa senpai?
            Memang benar. Lagi-lagi semakin mimpi itu dikejar, maka semakin memudarlah ia. Sebagian mungkin sudah terwujud, dan sebagiannya lagi diputuskan oleh si pemilik mimpi. Sudah seberapa dekatkah dia dengan mimpinya itu? Boleh digenggam erat mimpi itu, dengan konsekuensi akan tetap menjadi mimpi. Dan boleh dilepaskan mimpi itu, dengan membayarnya menjadi sebuah realita.
            Atau boleh jadi mimpi itu belum sempurna, dan harus dijadikan alat untuk menemukan dan mewujudkan mimpi yang sempurna. Lagi-lagi takdir dan nasib itu adalah sahabat yang tak pernah lepas. Tomodachi, seperti Tomomi, Tomoki, Chiyo, Ryuu, dan Tabi.
             Selalu ada mimpi didalam mimpi. Tak akan pernah ada rasa sesal, kecewa ataupun permusuhan bila segalanya didasari atas rasa saling percaya, jujur dan berani. Seperti Tabi yang tak pernah takut akan gosip yang dengan mudahnya beredar. Tabi yang berani.
            Kisah masa-masa SMA yang gokil, bandel, berprestasi dan juga patut dibanggakan dari setiap tokoh-tokoh yang muncul. Mimpi akan selalu membawa kita pada arah yang tidak selalu benar, tapi baik pada akhirnya. Jadikan mimpi dan perjuangan sebagai tomodachi.
            Novel dengan gaya bahasa lugas, dengan style Jepang, bisa juga dijadikan media pembelajaran untuk mengenal Cross Culture Understanding of Japan. Seperti menonton drama Jepang. Terima kasih Winna Efendi.


No comments:

Powered by Blogger.