Kupu-Kupu

Wednesday, December 31, 2014





Tuhan... kulihat seekor kupu-kupu itu sungguh menyedihkan. Teramat memilukan. Orang-orang memandangnya sebagai keindahan. Kecantikan yang menempel dalam parasnya, membuat manusia mengulum senyum diwajahnya.

Mereka bahagia. Kupu-kupu terbang, mengepakkan sayapnya yang rapuh. Oh Tuhan, bahkan mereka semakin bahagia menyaksikan kerapuhan dalam kilauan nestapa.

Kupu-kupu kecil berwarna kuning. Sayap-sayapnya terus bergeming meski rapuh dan begitu mungil. 


Dan hujan pun berjatuhan, kupu-kupu kian berteduh bersama tetumbuhan. Sayap rapuhnya basah, tak ada pilihan selain berlabuh. 

Kini, hujan juga turun di wajahku. Menyaksikan kupu-kupu kuning menerjang gerombolan hujan, aku mulai mengambil tisu di dalam tasku. Dan kulihat sayap kuningnya menghilang. Entah saking rapuhnya atau sengaja ia copot. Kupu-kupu itu terbang tanpa sayap, entah beranjak untuk kembali atau pergi. Aku bergegas mencari sayapnya yang hilang. Sayap-sayap kuning dan mungil. 

Tak peduli hujan semakin deras. Tak peduli semua berkas di dalam tasku akan hancur karena basah. Takkan kuhiraukan segala yang mengancamku asal kutemukan sayapnya yang rapuh.

***
Tuhan, waktuku pulang suatu sore tiga hari yang lalu, aku tersenyum untuk kali pertama di hari itu. Kulihat kupu-kupu kecil berwarna kuning itu terbang ke sana ke mari, tanpa sayap. Tubuhnya yang kecil, mungil, dan berwarna kuning itu tanpa ragu berusaha dikepakkan menggantikan sayap-sayapnya yang hilang.

.***
Dan saat hujan mulai reda, aku telah berlari mengejar kupu-kupu tanpa sayap itu. Aku tak sanggup meraihnya, dengan terpaksa aku kembali ke tempat semula, taman kecil di sudut halte bus, tempat favoritku menghabiskaan waktu menunggu setelah pulang beraktivitas. Aku duduk menekuk lutut dalam kondisi basah kuyup. Sejenak kemudian kutatap bunga melati disampingku, tempat singgah kupu-kupu itu.

***
Selama seminggu setelah mengejar kupu-kupu, aku terkena demam. Hanya istirahat, tujuh hari mendekap di rumah. Orang bilang, aku tak beraktivitas, tapi kurasa aku banyak melakukan sesuatu meski hanya berguna untuk diriku sendiri. Tidur dan makan yang cukup sangat membantu proses pemulihanku serta sebuah kisah dalam mimpiku.

***
       Tuhan, aku beruntung sekali pernah menyaksikan kisah unik. Karenanya, ada keyakinan yang mulai tumbuh, ada juga harapan layu yang kembali segar serta ada cita yang sudah gersang, dan kini kembali menghijau nian subur. Terima kasih, Tuhan… meski hanya lewat sebuah mimpi.

***
       Berjam-jam aku duduk menekuk lutut dalam kondisi basah kuyup. Entah air mata, entah air hujan. Sama saja. Berkali-kali kuperhatikan tangkai-tangkai bunga melati itu hingga ke akar-akarnya, namun tak kunjung jua sayap rapuh itu kutemukan.Kupikir aku bisa mempertemukan kembali antara kupu-kupu mungil itu dengan sayapnya. Jika kutemukan satu saja, entah sayap – entah kupu-kupunya, maka setidaknya aku punya harapan untuk bertemu keduanya. Atau setidaknya tempat ini akan menjadi lebih favorit lagi bagiku karena bertambah satu alasan. Berharap bertemu kupu-kupu itu dan mempertemukan sayap kuning nan mungil itu.

***
       Tapi Tuhan, mungkin aku yang memang tak siap menyatukan mereka. Tapi Tuhan, kenapa aku pula yang harus memisahkan dan mengbancurkan hidup kupu-kupu itu. Malam ini setelah sore diguyur hujan, bintang bermunculan dan bersinar tepat di jam 9. Dan aku mulai sadar, bintang yang berkilau itu juga tak sanggup menelan pedihku. Tapi aku berterima kasih padanya karena telah menjadi teman ngobrol yang paling asyik  sepanjang masa. Kami bertiga merundingkan sesuatu. Aku, seekor kupu-kupu kuning yang telah mati terkubur dalam toples dan bintang gemintang. Kita sepakat untuk berunding lagi, minggu depan.

***
       Aku pulang. Pukul 19.05 aku sampai di rumah. Aku tak bisa mengutuk diriku setelah kejadian dahsyat sore tadi. Basah kuyup, berusaha berjuang dan mungkin ingin menjadi pahlawan. Tapi nyatanya, akulah sang penjahat itu. Aku terus menyalahkan diriku sendiri. Setelah mandi dan hendak beranjak tidur, kupastikan sebuah toples baru telah bersandar di tempat yang sangat mudah kuperhatikan. Ia penghuni baru di dalam kamarku, bersandar pada tembok di sudut ruangan, sebelah pintu dan mengarah langsung menatap kedua mataku sepanjang malam. Kupu-kupu kuning dan sayap-sayapnya yang mungil, ada di dalam sana. Tapi sudah mati. Karena tubuhnya terinjak olehku dan sayapnya yang rapuh, menempel pada rokku dimana berjam-jam aku duduk menekuk lutut dan basah kuyup. Remuk sudah sayap itu.

***
       Tuhan, hari ini aku sungguh merindukan mimpiku empat hari yang lalu. Kupu-kupu itu terbang tanpa sayap, lincah sekali. Dan aku tersenyum melihatnya menari-nari di taman dekat halte bus. Aku mendekat, dan kupu-kupu itu menghilang. Aku mendadak berpikir, mungkin aku telah menganggunya. Malam ini adalah minggu depan itu, kembali duduk di balkon bertiga bersama bintang gemintang dan sebuah toples berisi kupu-kupu mati dan sayap-sayapnya yang remuk. Aku minta maaf.

***
       Apakah ada kupu-kupu tanpa sayap yang bisa terbang? Saat dunia bilang tidak, mimpi kita bilang iya. Apalah arti mimpi bila realita sudah jauh lebih liar dari mimpi. Tapi Tuhan, aku beruntung sekali pernah menyaksikan kisah unik. Karenanya, ada keyakinan yang mulai tumbuh, ada juga harapan layu yang kembali segar serta ada cita yang sudah gersang, dan kini kembali menghijau nian subur. Terima kasih, Tuhan… meski hanya lewat sebuah mimpi.
***

No comments:

Powered by Blogger.