Kupu-Kupu
Tuhan... kulihat seekor kupu-kupu itu sungguh menyedihkan.
Teramat memilukan. Orang-orang memandangnya sebagai keindahan. Kecantikan yang
menempel dalam parasnya, membuat manusia mengulum senyum diwajahnya.
Mereka bahagia. Kupu-kupu terbang, mengepakkan sayapnya
yang rapuh. Oh Tuhan, bahkan mereka semakin bahagia menyaksikan kerapuhan dalam
kilauan nestapa.
Kupu-kupu kecil berwarna kuning. Sayap-sayapnya terus bergeming
meski rapuh dan begitu mungil.
Dan hujan pun berjatuhan, kupu-kupu kian berteduh bersama
tetumbuhan. Sayap rapuhnya basah, tak ada pilihan selain berlabuh.
Kini, hujan juga turun di wajahku. Menyaksikan kupu-kupu
kuning menerjang gerombolan hujan, aku mulai mengambil tisu di dalam tasku. Dan
kulihat sayap kuningnya menghilang. Entah saking rapuhnya atau sengaja ia
copot. Kupu-kupu itu terbang tanpa sayap, entah beranjak untuk kembali atau
pergi. Aku bergegas mencari sayapnya yang hilang. Sayap-sayap kuning dan
mungil.
Tak peduli hujan semakin deras. Tak peduli semua berkas di
dalam tasku akan hancur karena basah. Takkan kuhiraukan segala yang mengancamku
asal kutemukan sayapnya yang rapuh.
***
Tuhan, waktuku pulang suatu sore tiga hari yang lalu, aku
tersenyum untuk kali pertama di hari itu. Kulihat kupu-kupu kecil berwarna
kuning itu terbang ke sana ke mari, tanpa sayap. Tubuhnya yang kecil, mungil,
dan berwarna kuning itu tanpa ragu berusaha dikepakkan menggantikan
sayap-sayapnya yang hilang.
.***
Dan saat hujan mulai reda, aku telah berlari mengejar
kupu-kupu tanpa sayap itu. Aku tak sanggup meraihnya, dengan terpaksa aku
kembali ke tempat semula, taman kecil di sudut halte bus, tempat favoritku menghabiskaan
waktu menunggu setelah pulang beraktivitas. Aku duduk menekuk lutut dalam
kondisi basah kuyup. Sejenak kemudian kutatap bunga melati disampingku, tempat
singgah kupu-kupu itu.
***
Selama seminggu setelah mengejar kupu-kupu, aku
terkena demam. Hanya istirahat, tujuh hari mendekap di rumah. Orang bilang, aku
tak beraktivitas, tapi kurasa aku banyak melakukan sesuatu meski hanya berguna
untuk diriku sendiri. Tidur dan makan yang cukup sangat membantu proses
pemulihanku serta sebuah kisah dalam mimpiku.
***
Tuhan, aku
beruntung sekali pernah menyaksikan kisah unik. Karenanya, ada keyakinan yang
mulai tumbuh, ada juga harapan layu yang kembali segar serta ada cita yang
sudah gersang, dan kini kembali menghijau nian subur. Terima kasih, Tuhan…
meski hanya lewat sebuah mimpi.
***
Berjam-jam aku
duduk menekuk lutut dalam kondisi basah kuyup. Entah air mata, entah air hujan.
Sama saja. Berkali-kali kuperhatikan tangkai-tangkai bunga melati itu hingga ke
akar-akarnya, namun tak kunjung jua sayap rapuh itu kutemukan.Kupikir aku bisa
mempertemukan kembali antara kupu-kupu mungil itu dengan sayapnya. Jika
kutemukan satu saja, entah sayap – entah kupu-kupunya, maka setidaknya aku
punya harapan untuk bertemu keduanya. Atau setidaknya tempat ini akan menjadi
lebih favorit lagi bagiku karena bertambah satu alasan. Berharap bertemu
kupu-kupu itu dan mempertemukan sayap kuning nan mungil itu.
***
Tapi Tuhan,
mungkin aku yang memang tak siap menyatukan mereka. Tapi Tuhan, kenapa aku pula
yang harus memisahkan dan mengbancurkan hidup kupu-kupu itu. Malam ini setelah
sore diguyur hujan, bintang bermunculan dan bersinar tepat di jam 9. Dan aku
mulai sadar, bintang yang berkilau itu juga tak sanggup menelan pedihku. Tapi
aku berterima kasih padanya karena telah menjadi teman ngobrol yang paling
asyik sepanjang masa. Kami bertiga
merundingkan sesuatu. Aku, seekor kupu-kupu kuning yang telah mati terkubur
dalam toples dan bintang gemintang. Kita sepakat untuk berunding lagi, minggu
depan.
***
Aku pulang.
Pukul 19.05 aku sampai di rumah. Aku tak bisa mengutuk diriku setelah kejadian
dahsyat sore tadi. Basah kuyup, berusaha berjuang dan mungkin ingin menjadi
pahlawan. Tapi nyatanya, akulah sang penjahat itu. Aku terus menyalahkan diriku
sendiri. Setelah mandi dan hendak beranjak tidur, kupastikan sebuah toples baru
telah bersandar di tempat yang sangat mudah kuperhatikan. Ia penghuni baru di
dalam kamarku, bersandar pada tembok di sudut ruangan, sebelah pintu dan
mengarah langsung menatap kedua mataku sepanjang malam. Kupu-kupu kuning dan
sayap-sayapnya yang mungil, ada di dalam sana. Tapi sudah mati. Karena tubuhnya
terinjak olehku dan sayapnya yang rapuh, menempel pada rokku dimana berjam-jam
aku duduk menekuk lutut dan basah kuyup. Remuk sudah sayap itu.
***
Tuhan, hari ini
aku sungguh merindukan mimpiku empat hari yang lalu. Kupu-kupu itu terbang
tanpa sayap, lincah sekali. Dan aku tersenyum melihatnya menari-nari di taman
dekat halte bus. Aku mendekat, dan kupu-kupu itu menghilang. Aku mendadak
berpikir, mungkin aku telah menganggunya. Malam ini adalah minggu depan itu,
kembali duduk di balkon bertiga bersama bintang gemintang dan sebuah toples
berisi kupu-kupu mati dan sayap-sayapnya yang remuk. Aku minta maaf.
***
Apakah ada
kupu-kupu tanpa sayap yang bisa terbang? Saat dunia bilang tidak, mimpi kita
bilang iya. Apalah arti mimpi bila realita sudah jauh lebih liar dari mimpi.
Tapi Tuhan, aku beruntung sekali pernah menyaksikan kisah unik. Karenanya, ada
keyakinan yang mulai tumbuh, ada juga harapan layu yang kembali segar serta ada
cita yang sudah gersang, dan kini kembali menghijau nian subur. Terima kasih,
Tuhan… meski hanya lewat sebuah mimpi.
***
No comments: