Entah hujan, entah gerimis
Kemarin aku melihat hujan. Hari ini aku melihat gerimis. Entah hujan, entah gerimis, keduanya tak pernah kukenal, tapi aku cukup memahami mereka. Bedanya, mereka kurang bisa memahamiku apalagi untuk bisa mengenalku. Awalnya, begitulah entah hujan, entah gerimis.
Pernah suatu hari, aku bertemu hujan
di jalan. Awalnya mata kami tak pernah berujung di titik yang sama, karena kami
berjalan searah dan beriringan. Entah alasan apa, tiba-tiba ia mengeroyokku
dari belakang bersama kawanannya. Bukan kepalang, mataku langsung melirik sinis
padanya. Aku berlari dan menghentakkan kaki padanya. Genangan air yang kupijak,
ternyata muncrat kemana-mana. Seorang bapak dengan kemeja biru muda polos
terkena cipratannya. Alamak, seketika aku langsung menundukkan pandangan
sembari memberi perhitungan pada hujan. Saat itu hujan menertawaiku. Sejak
itulah aku mulai memikirkan hujan. Ternyata senyumnya telah membasahi oase
hatiku. Percikan air itu jatuh begitu hebatnya, tepat di oase hatiku. Pluk!
Awas kau, tunggu pembalasanku. Tak
pernah saling melontarkan kata, hanya lewat obrolan batin. Kami saling mendengarkan
satu sama lain. Tak pernah berkenalan, dan aku selalu menunggu kami bertengkar.
Tak pernah saling mengerti, tapi kami saling membutuhkan.
Hingga aku mulai merindukan hujan
begitu berhari-hari tak pernah berjumpa. Langit mendung siang itu, hatiku dag
dig dug tak karuan. Hujan pasti datang. Aku duduk menekuk lutut, menunggu di
teras ditemani sehelai kertas lipat yang telah kusulap menjadi angsa. Begitu
menghela napas panjang, aku mulai meluruskan lututku lalu mengambil angsa
kertas dan bersiap berdiri didepan hujan yang sedang kutungu. Sial, ini bukan
hujan, hanya gerimis.
Siang itu aku meralat semua rinduku
pada hujan. Aku gagal membuat angsa kertasku berenang dan tiba-tiba sekali
gerimis menyulurkan tangannya padaku. Ia mulai memperkenalkan dirinya. Kami
saling berkenalan, aku dan gerimis. Awan hitam bergerumul di sana, sepertinya
hujan kalang kabut ingin datang. Tapi matahari masih bersinar terang. Hanya aku
dan gerimis di siang itu, saling bertanya, saling ingin mengerti satu sama
lain.
Bruk! Hujan datang tepat
dihadapanku, mengusir gerimis, membuat rusuh perbincangan hangat kami. Entah.
Aku melihat senyumnya kembali. Entah. Aku melihat senyum hujan dalam parasnya
yang galak dan suka seenaknya sendiri. Ia langsung merebut angsa kertasku. Lalu
membiarkannya berenang melintasi genangan air. Sampai angsaku meleleh karena
basah terguyur
hujan, aku diam menyaksikannya. Hujan membuat angsaku berenang, pikirku dalam
batin. Tak sadar, ternyata aku sedang mengambil angsa kertasku yang mulai robek
tertelan hujan yang semakin deras. Aku basah kuyup, dan hujan kembali
menertawakanku hingga terpingkal-pingkal. Awas kau, hujaaaaan. Gertakku dalam
batin.
Memang aku tak bisa terus-terusan
menunggu dan bersama hujan. Seminggu badan meriyang dan hidung terkena flu. Aku
mengurung di dalam rumah, tak pernah mau bertemu hujan. Tapi, sesekali pergi ke
luar rumah, sangat dan sangat berharap ingin bertemu hujan, ingin melihat
senyumnya. Kami tak pernah saling mengenal, memahami apalagi mengerti.
Hari inilah aku bertemu kembali
dengan gerimis. Suaranya masih hangat seperti waktu pertama kali berkenalan.
Meski kami tak ngobrol banyak, diam menambah suasana menjadi begitu romantis.
Gerimis mencoba mengerti dan mulai memahami diriku. Ia membimbingku berjalan,
menyusuri jalanan yang bertaburan daun berserakan. Gerimis bisa, tapi hujan tak
bisa. Kuucapkan terima kasih sebagai tanda perpisahan kami. Gerimis menyaksikan
aku masuk ke dalam rumah, lalu bergegas pulang kembali.
Entah hujan, entah gerimis,
sepertinya aku tak ingin bertemu lagi. Jika rindu itu tiba-tiba datang, aku tak
ingin menemuinya. Aku akan membiarkan pertemuan yang mempertemukan kita.
Entah hujan, entah gerimis, keduanya
sama-sama mengesankan. Tapi cara mengesankan kalian sungguh-sungguh berbeda.
Entah hujan, entah gerimis,
bagaimanapun juga akan selalu kuucapkan terima kasih untuk kalian dalam setiap
perjumpaan kita. Terima kasih.
No comments: