Menggapai Sepucuk Surat
Tepat
sekali hari ini, hari yang sama. Surat itu datang, tanpa nama pengirim dan
tergeletak begitu saja di teras rumah. Tak terlihat pak pos apalagi kurir,
surat itu mungkin datang dengan sendirinya.
Surat.
Surat. Surat. Benarkah ini surat?
Sepucuk
surat itu, kini kugenggam. Menghela napas yang begitu panjang, “sudah lama aku
tak merasakan betapa bahagianya menggenggam sepucuk surat dengan sejuta pesan yang
mungkin hendak disampaikan” ucapku lirih.
Rupanya
langit tak sebiru hari yang lalu, hanya ada awan putih, seputih sepucuk surat
yang sedang kugenggam. Terkesan mendung, tapi tak ada angin hanya terasa cukup
dingin. Bersama suasana inilah surat itu datang menghampiriku.
Sembari
membuka surat itu, seketika senyum ini ingin merekah juga air mata tak bisa
kucegah. Ada sesak dalam dada, ada kesal dalam hati, ada ego dalam diri yang
tergumpal dalam buliran air mata juga senyum yang mengulum tak terasa.
Sepucuk
surat ini ternyata berisi selembar kertas putih. Kosong tanpa tulisan.
Surat.
Surat. Surat. Benarkah ini surat?
Kutatap
terus surat ini hingga mataku berair. Bertahun-tahun yang lalu, tak pernah
kumengerti makna dibalik sepucuk surat yang berisi selembar kertas putih ini.
Tapi, hari ini aku mulai mengerti.
Begitukah
rasanya? Semakin lama tinggal di dunia ini terasa semakin banyak rasa salah.
Daun-daun kesalahan itu seakan berguguran perlahan terhapus oleh cucuran air
mata yang tak terasa mengalir begitu melihat wajah mereka yang tak lagi muda,
yang seakan menjadi saksi tumbuhnya daun kesalahan itu. Tapi sesal masih ada,
selagi air mata jua ada.
Ketika
aku mulai belajar mengerti, bahwa air mata ibu tak lagi sendirian. Saat rasa
heran itu semakin mengikis hingga tak tersisa, begitu melihat sang ayah
meneteskan air matanya. Mereka sedang berjuang menggapai sepucuk surat itu.
Suatu
hari dimana hampir semua orang menerima sepucuk surat itu. Saling berjabat
tangan demi menggapai selembar kertas putih, kosong tanpa tulisan. Saat ratusan
daun kesalahan itu semakin berwarna cokelat dan seketika air mata
menghujaninya, perlahan akan gugur berserakan. Tapi, setiap senyuman yang
saling bertemu itu saling membersihkan serakan daun itu.
Dan
pada akhirnya, tinggalah batang pohon itu. Dikumpulkanlah getahnya hingga
menjadi lembaran kertas yang putih. Lalu setiap satu kertas akan dimasukkan ke
dalam amplop. Sepucuk surat siap diedarkan dan hampir setiap orang akan
berusaha menggapainya. Tepat di hari yang sama, hari ini.
1 Syawal 1435 H
Terimakasih sudah membaca ^_^
No comments: