Menggapai Sepucuk Surat

Monday, July 28, 2014


Tepat sekali hari ini, hari yang sama. Surat itu datang, tanpa nama pengirim dan tergeletak begitu saja di teras rumah. Tak terlihat pak pos apalagi kurir, surat itu mungkin datang dengan sendirinya.
Surat. Surat. Surat. Benarkah ini surat?
Sepucuk surat itu, kini kugenggam. Menghela napas yang begitu panjang, “sudah lama aku tak merasakan betapa bahagianya menggenggam sepucuk surat dengan sejuta pesan yang mungkin hendak disampaikan” ucapku lirih.
Rupanya langit tak sebiru hari yang lalu, hanya ada awan putih, seputih sepucuk surat yang sedang kugenggam. Terkesan mendung, tapi tak ada angin hanya terasa cukup dingin. Bersama suasana inilah surat itu datang menghampiriku.
Sembari membuka surat itu, seketika senyum ini ingin merekah juga air mata tak bisa kucegah. Ada sesak dalam dada, ada kesal dalam hati, ada ego dalam diri yang tergumpal dalam buliran air mata juga senyum yang mengulum tak terasa.
Sepucuk surat ini ternyata berisi selembar kertas putih. Kosong tanpa tulisan.
Surat. Surat. Surat. Benarkah ini surat?
Kutatap terus surat ini hingga mataku berair. Bertahun-tahun yang lalu, tak pernah kumengerti makna dibalik sepucuk surat yang berisi selembar kertas putih ini. Tapi, hari ini aku mulai mengerti.
Begitukah rasanya? Semakin lama tinggal di dunia ini terasa semakin banyak rasa salah. Daun-daun kesalahan itu seakan berguguran perlahan terhapus oleh cucuran air mata yang tak terasa mengalir begitu melihat wajah mereka yang tak lagi muda, yang seakan menjadi saksi tumbuhnya daun kesalahan itu. Tapi sesal masih ada, selagi air mata jua ada.
Ketika aku mulai belajar mengerti, bahwa air mata ibu tak lagi sendirian. Saat rasa heran itu semakin mengikis hingga tak tersisa, begitu melihat sang ayah meneteskan air matanya. Mereka sedang berjuang menggapai sepucuk surat itu.
Suatu hari dimana hampir semua orang menerima sepucuk surat itu. Saling berjabat tangan demi menggapai selembar kertas putih, kosong tanpa tulisan. Saat ratusan daun kesalahan itu semakin berwarna cokelat dan seketika air mata menghujaninya, perlahan akan gugur berserakan. Tapi, setiap senyuman yang saling bertemu itu saling membersihkan serakan daun itu.
Dan pada akhirnya, tinggalah batang pohon itu. Dikumpulkanlah getahnya hingga menjadi lembaran kertas yang putih. Lalu setiap satu kertas akan dimasukkan ke dalam amplop. Sepucuk surat siap diedarkan dan hampir setiap orang akan berusaha menggapainya. Tepat di hari yang sama, hari ini.
1 Syawal 1435 H
Terimakasih sudah membaca ^_^

No comments:

Powered by Blogger.