Sirine
Sudah kututup telingaku. Suara sirine itu terus
meraung-raung, menghantui diriku ini.
Setelah memarkir sepeda bututku itu, aku
berjalan memutari alun-alun. Berharap, suara sirine itu hilang dari lubang
pendengaranku.
Tapi gagal. Suara itu bertambah begitu
kencang. Sangat kencang. Bising.
Rasanya bising sekali hati ini. Berdegup
begitu kencang begitu aku melihatnya. Sosok yang hampir tak pernah alpa dalam
mimpiku. Rambut panjangnya digerai, sebahu. Dia semakin dekat.
“Hei.” Sapanya sembari tersenyum.
Sepertinya sirine itu sudah aus. Sirine itu
membisingkan detak jantungku. Sementara jantungku oleng karenanya.
“Hei.” Jawabku begitu pelan. Sirine itu diam
sejenak. Diam lagi. Sirine itu mati.
Hei, dia berjalan digandeng lelaki bersepatu converse,
mamakai ransel kidrock, juga bercelana jins denim.
Kuputari alun-alun sekali lagi. Mungkin
sirine itu masih bisa berbunyi lagi. Aku pun mengambil sepadaku, dan mulai
mengayuhnya begitu pelan, sangat cepat, begitu pelan, sangat cepat dan begitu
pelannya. Sangat pelan. Hingga tak bisa kugerakkan.
Mobil ambulance didepanku. Aku
menabrak-nabrak mobil ambulance yang sedang berhenti. Tanpa sadar, aku pungut
sirine itu. Aku punya sirine lagi. Hahaha. Tak satu orang pun kubiarkan
mendengarkan sirine ini. Tak satu pun.
No comments: